Kamis, 28 Februari 2008

Pilkada dan proses transformasi demokrasi dari sudut pandang akademisi

Oleh : Dr. H. Aris Gumilar, MM

Disampaikan dalam acara seminar Evaluasi Pilkada Kabupaten Tangerang



1. Pendahuluan


Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung yang tengah berlangsung hampir di seluruh penjuru tanah air merupakan suatu langkah maju dalam berdemokrasi. Proses ini layak mendapat dukungan semua pihak terutama warga masyarakat sebagai yang memiliki kedaulatan sesungguhnya (lihat UUD 1945). Apapun hasilnya dan Bagaimanapun kualitasnya, sebagai bangsa yang masih belajar berdemokrasi (beginner in democracy
), harus diterima dengan penuh besar jiwa oleh semua komponen bangsa dengan tidak mengenyampingkan usaha-usaha perbaikan dan evaluasi untuk pelaksanaan PILKADA ke depan.


PILKADA adalah suatu bentuk perwujudan demokrasi langsung yang penerapannya baru terjadi sekarang ini di Indonesia. Salah satu filosofi dilaksanakannya PILKADA langsung adalah mengurangi subjektifitas keberpihakan anggota dewan. Di samping juga sebagai suatu usaha meminimalisir peluang terjadinya politik uang. Alhasil PILKADA ini merupakan suatu ide luhur yang harus disukseskan oleh semua pihak.


Satu lagi yang sangat bernilai dari PILKADA langsung ini adalah keinginan pemerintah dan kalangan legislatif untuk sunguh-sungguh menjungjung tinggi kadaulatan rakyat. Artinya dengan PILKADA ini peran rakyat lebih mengemuka dengan diberikannya keleluasaan bagi masyarakat yang telah memiliki hak suara untuk memilih calonnya secara langsung. Ini barangkali nilai lebih dari sistem pemilihan kepala daerah langsung kali ini.


2. Problem Pilkada Langsung


Satu hal yang selalu menjadi kehawatiran kita semua ketika melewati suatu proses demokrasi yang melibatkan warga masyarakat, apalagi proses tersebut adalah sesuatu yang baru, adalah konflik horisontal antar warga masyarakat yang memiliki perbedaan kepentingan politik.


Ke
khawatiran ini jelas sangat beralasan mengingat bangsa ini sangat rentan dengan kekerasan dan anarkisme akibat proses pendidikan politik yang mandeg. Mandeg secara pemikiran dan nalar, juga mandeg secara psikologis. Sehingga setiap kali terjadi gesekan yang diakibatkan perbedaan kepentingan politik praktis, setiap kali itu juga terjadi konflik antar pendukung tokoh yang yang didukungnya.


Lihat saja beberapa bukti di lapangan, bagaimana runyamnya konflik yang terjadi antara kubu yang didukung oleh partai yang berbeda. Konflik ini seolah menjadi cermin dari realitas sikap mental masyarakat kita yang sangat kekanak-kanakan dalam menyikapi problem konflik politik. Nalar, etika, dan nilai kebersamaan kita sebagai suatu bangsa seolah menjadi hilang tanpa kirana
ditelan kepentingan politik jangka pendek. Tentu bukan tempatnya di sini, mempersoalkan siapa yang benar di antara kedua belah pihak yang berseteru, namun yang perlu dipertanyakan adalah mengapa setiap perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan bangsa ini selalu berakhir dengan huru-hara yang melibatkan masyarakat dan massa ? mengapa nalar dan nilai kebersamaan kita tidak mampu menyelesaikan perbedaan dengan sebaik-baiknya ? Mengapa semuanya harus diakhiri dengan pertikaian, caci maki, permusuhan, bahkan pengrusakan ? mengapa?


Insiden-insiden tersebut entah berapa banyak kerugian materil dan nonmateril akibat ketidaksiapan kita menghadapi suatu proses demokrasi ini. Apalagi jika diingat bahwa dana yang dipergunakan untuk pelaksanaan PILKADA ini, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang nota benenya adalah milik rakyat yang seyogianya digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Demokrasi memang mahal. Namun tidak berarti gara-gara idealisme penegakkan cita-cita demokrasi, lantas rakyat yang dikorbankan. Mendingan kalau nantinya para pemimpin di daerah-daerah yang terpilih lewat PILKADA ini mampu melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik, kalau tidak, cost untuk PILKADA ini tentu tidak seimbang dengan cita-cita yang diharapkan.


Sesungguhnya bangsa ini telah merasa lelah dengan terus menerus didera konflik akibat tidak arifnya pemimpin menyikapi kekalahan. Semua konflik yang bernuansa politik itu semuanya melibatkan massa. Mengapa? pemimpin nya tidak arif.


Memang godaan kekuasaan begitu hebat. kekuasaan dapat mendatangkan jabatan dan jabatan bisa mendatangkan kekayaan. Itu sebabnya banyak di antara kita yang mengejar kekuasaan. Karena dalam kekuasaan itu, ada kekayaan. Entah apa yang akan terjadi jika kekuasaan tidak mendatangkan kekayaan. Sepertinya percaturan politik kita akan sepi pembeli. Dalam konteks ini, Nurcholis Majid pernah berujar bahwa sudah waktunya kita merasa terhormat menjadi oposisi. Menjadi oposisi berarti kita mulai mencoba membalikkan mainstrem pemikiran dan opini kita selama ini yang merasa terhormat menjadi pejabat publik.


Itulah gambaran atau potret kelam demokrasi kita. Demokrasi yang tertatih-tatih dikarenakan proses transformasi yang kurang berjalan mulus. Suatu proses yang gamang penuh trial dan error
. Pembelajaran dan pendidikan politik kita tidak matang dan terencana. Sumber daya manusia kita tidak mampu mentransformasi secara memadai konsep demokrasi untuk selanjutnya dimatangkan dan diaplikasikan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional dan daerah.


Di samping itu, kendala lemahnya integritas moral turut pula mendorong kehancuran sistem demokrasi kita. lihat saja bagaimana lembaga terhormat yang menjadi rumah dan dapurnya proses pemilihan kepemimpinan nasional pada pemilu 2004, amblas secara memalukan dikarenakan korupsi. ini adalah suatu tragedi kemanusiaan yang sangat ironi. Mengapa bisa terjadi demikian? lagi-lagi SDM kita yang rapuh. Rapuh dari semangat perjuangan dan idealisme. Idealisme berbangsa kita telah mati.

3. Membangun Demokrasi yang Sehat


melihat realitas sosio-politik seperti ini, apa yang mesti kita kedepankan sebagai solusi dini dan preventif untuk kemajuan demokrasi kita? Banyak hal yang harus dikerjakan. Satu yang terpenting adalah ubah orientasi kekuasan para pemimpin publik kita dari orientasi kepentingan politik sesaat menjadi orientasi kepentingan nasional yang lebih bernilai. Jika ini menjadi pijakan para pemimpin kita baik di daerah atau pun di pusat, niscaya proses transformasi demokrasi kita akan mulus. Jika tidak, maka malapetaka yang diakibatkan rendahnya kesadaran politik pemimpin ini akan melahirkan bencana demi bencana politik yang lebih menakutkan.


Penegakkan supremasi hukum, keadialan sosial, keadilan ekonomi, penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan budaya juga merupakan hal-hal yang harus menjadi pertimbangan kita semua ke depan.Bagaimana semua itu bisa menajadi pedoman dan perisai kita dalam melalui tahapan berdemokrasi yang sehat. Lihatlah bagaimana cara-cara pemimpin bangsa kita dahulu dalam berdemokrasi. Contohlah mereka. Contohlah Pak Syafruddin Prawiranegara yang rela menyerahkan kekuasaannya kepada Bung Karno dengan ikhlas dan tulus tanpa menyimpan dendam dan menyisakkan masalah untuk bangsa ini.


Apalagi jika kita merenungkan cost yang harus dikeluarkan untuk PILKADA ini. Uang rakyat ini seyogianya diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tentu dzalim sekali, jika dana yang sangat besar ini dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak melahirkan kemajuan di kemudian hari. Demokrasi memang mahal. Barang impor ini selalu mendatangkan keruwetan nasional. Tetapi mengapa kita masih mau juga menggunakannya?

4. Pilkada Kota Tangerang ; Secercah Harapan


Berbicara tentang Pemilihan kepala Daerah dalam konteks ke-
Tangerangan, tentu tidak akan lepas dari suasana perpolitikan dalam jagat Tangerang yang tak lama lagi akan digelar. Nama-nama bakal calon Walikota-pun mulai dibicarakan. Tentu ini suatu fenomena yang wajar dan sah sebagai suatu dinamika politik kedaerahan. Dukungan terhadap nama-nama bakal kandidat pun mulai mengalir deras dari komponen masyarakat. Sekali lagi, ini sangat lumrah sebagai suatu konstalasi politik sebagai resultante dibukanya kran demokrasi langsung di negara kita.


Namun, tentu saja iklim demokrasi yang sejauh ini, tampak semarak dan sehat, harus tetap menjunjung tinggi integritas nilai-nilai demokrasi, kebenaran, dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Hal ini adalah modal dasar yang akan membawa Banten ke suatu peradaban sesungguhnya sesuai dengan cita-cita demokrasi itu sendiri. Jika proses demokrasi ini tidak dibarengi dengan semangat nilai-nilai dan prinsip-prinsip universalitas tadi, maka dapat dipastikan bukan hanya kegagalan yang akan dituai, akan tetapi juga akan berpengaruh terhadap citra masyarakat Banten dalam perpolitikan nasional.


Oleh karena itu, kepada para bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang yang akan datang, silahkan bersaing secara elegan, sehat, sportif, dan siap menang-siap kalah. Ini perlu disampaikan sebagai suatu peringatan awal jika terjadi ketidakpuasan akan hasil perolehan suara nantinya. Niat baik juga perlu ditanamkan. Agar setiap bakal calon, memiliki visi dan persepsi yang sama akan makna pesta demokrasi ini, artinya bahwa pesta demokrasi yang akan diselenggarakan itu hendaknya ditempatkan sebagai suatu proses menuju kejayaan Kota Tangerang, dan bukan merupakan suatu tujuan akhir (ending point
). Kondisi ini akan membawa semua pihak, baik para bakal calon, atau pun masa pendukungnya pada suatu komitmen utuh, yaitu kejayaan Tangerang, siapa pun pemenangnya.


Inilah sebagian pokok-pokok pikiran yang bisa dikedepankan sebagai suatu renungan bagi segenap komponen masyarakat Kota Tangerang. Semoga kita semua dapat melalui tahapan proses transformasi berdemokrasi ini dengan aman, selamat dan melahirkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan masyarakat Tangerang khususnya, bangsa dan negara Indonesia pada umumnya.


*Wakil Rektor III UNIS Tangerang


Pilkada Tangerang


Minggu, 24 Februari 2008

SIKAP PEMIMPIN SEJATI

Oleh: Gatot Yan. S*


Bulan Januari 2008 mendatang masyarakat Kabupaten Tangerang akan melangsungkan hajatan besar, Pilkada Langsung. Hajatan ini pantas untuk dikatakan besar mengingat pasangan yang akan terpilih nanti pada kenyataannya akan mengatasnamakan rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib lebih dari 3 juta jiwa penduduk Tangerang.


Suka atau tidak suka, merekalah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah “Kota Sejuta Industri” ini. Mereka-mereka yang akan berlabelkan elit politik inilah yang nanti akan mendapat sebutan sebagai pimpinan rakyat, meskipun masih menjadi tanda besar apakah mereka mampu menjadi pemimpin yang sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat.


Masyarakat menaruh harapan besar ke pundak mereka. Harapan akan berakhirnya masa-masa penderitaan yang selalu dibebankan kepada rakyat nampak jelas tercermin dari besarnya keinginan untuk berubah dan tingginya animo mereka untuk berpartisipasi dalam perhelatan Pilkada mendatang.


Masyarakat tidak berharap apapun selain keinginan untuk bersama-sama menuju kehidupan yang adil dan sejahtera. Seluruh masyarakat telah dengan sabar menunaikan tugasnya untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan yang dibuat (termasuk taat dalam membayar pajak). Sekarang saatnya para pemimpin membuktikan bahwa dirinya memang pemimpim sejati yang layak terpilih untuk memimpin rakyat. Sikap pemimpin sejati yang diharapkan oleh rakyat antara lain adalah:


1. Berfikir dan Bertindak ilmiah.


Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini kita masih dikuasai tipe-tipe pemimpin yang bergerak berdasarkan feeling atau pemikiran sesaatnya. Tidak heran jika pertarungan gagasan di level elit politik termasuk hal yang tidak mudah kita temui. Para pemimpin kita saat ini, hampir di semua level lebih menyukai pertarungan retorika, pilihan kata, media dan bahkan pertarungan massa. Lobi politik jauh lebih penting ketimbang mempertajam gagasan yang akan diusung.


Sejatinya, calon pemimpin harus menghargai rakyat yang akan memilihnya dengan tidak sekedar memberi janji dan simpati, tetapi lebih jauh mampu memberikan gambaran kepada masyarakat ke mana arah pembangunan ini akan digerakkan. Dengan pola politik seperti ini maka rakyat tidak akan salah pilih hanya karena sosok luar seorang calon pemimpin tetapi memang seluruh pola pikir yang ada pada dirinya akan bisa ditangkap. Cukuplah pembodohan kepada rakyat diakhiri sampai disini, marilah kita nilai bersama-sama siapa diantara elit politik yang ada saat ini yang berani mengambil political style by content, dan tidak sekedar political style by money and lobby.


2. Memiliki sikap empati dan sensitivitas terhadap rakyatnya.


Inilah modal dasar yang penting bagi seorang pemimpin sejati. Seorang pemimpin di level manapun mustahil memahami dengan baik rakyat yang dipimpinnya ketika mereka belum merasakan langsung kondisi rakyatnya. Tengok saja model pemimpin zaman era pertama Islam Umar bin Khatab yang saat membuka pintu Yerusalem memilih menaiki keledai kecil dan dengan pakaian ala kadarnya membuat posisinya tampak berada di bawah sang jendral penakluk kota tersebut.


Atau juga tengok Bapak Koperasi kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang selain karena intelektualitasnya juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Semua bentuk empati dan simpatinya itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat menjadi elit politik.


3. Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya.


Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa sensitivitas yang baik pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi yang baik kepada rakyatnya bukanlah sekedar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampuan memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta waktu yang tepat dalam melemparkannya. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang dibutuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya.


4. Berani menuangkan gagasannya pada ruang publik.


Inilah karakter berikutnya yang akan lahir dari seorang pemimpin ketika dia memiliki ketiga karakter sebelumnya. Meskipun begitu, realitas yang kita lihat saat ini sangat jauh dari harapan. Perbedaan yang ada dari para elit politik lebih pada masalah yang tidak substansial seputar perebutan kursi atau ‘rejeki’ lainnya yang menyebabkan tidak ada dialektika ilmiah yang argumentatif yang bisa dinikmati oleh rakyat.


Memang ini bukan suatu keharusan, tapi dari situ kita bisa menilai bahwa elit politik kita memang tidak terbiasa mengajak publik untuk terlibat dalam pengambilan keputusannya. Karakter otoriter dalam berfikir masih sangat dominan yang membuat dirinya sulit bersikap transparan bahkan untuk sebuah pemikirannya.


5. Memiliki kredibilitas moral yang teruji.


Inilah kelengkapan akhir dari karakter pemimpin yang membuat seorang pemimpin menjadi sempurna. Ketika seluruh karakter di atas bisa dimiliki oleh seorang pemimpin maka namanya akan dikenang melampaui usianya. Meskipun begitu, karakter terakhir inilah yang akan menentukan apakah dirinya akan dikenang dengan harum atau sebaliknya. Kredibilitas moral baru benar-benar akan menjadi karakter pada diri seseorang manakala sifat ini telah teruji.


Itulah berbagai harapan yang saat ini sedang dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat Tangerang. Pemimpin sejati semodel Gandhi, Bung Hatta, Umar Bin Khatab, dan lainnya saat ini sedang ditunggu kehadirannya. Bahkan siapapun yang berkarakter seperti yang disebutkan di atas, bukannya tidak mungkin akan lebih dikenang sebagai pemimpin oleh masyarakat meskipun mereka bukanlah bagian dari elit politik formal. Seseorang yang berkarakter pemimpin sejati akan mampu menembus sekat-sekat kursi struktural sebagaimana seorang Gandhi yang senantiasa dikenang sebagai pemimpin India meskipun dia bukan presiden India.


Siapapun yang memenangkan Pilkada nanti, secara formal merekalah para pemimpin Tangerang ini. Tetapi sejarah yang akan menunjukkan kepada kita siapa diantara mereka yang memang pemimpin sejati. Selamat bertarung, kami menanti kiprah anda, dan jangan khawatir, kami siap untuk tidak memilih anda 5 tahun lagi jika anda menghianati amanat rakyat !!


*Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau JANGKAR PILKADA,


Pilkada Tangerang


Pilkada Dalam Kerangka Reformasi Birokrasi

Oleh : Gatot Yan. S*


Dalam sebuah kesempatan kampanye pada pilkada Banten tahun lalu, seorang kandidat pernah melontarkan janji untuk mengubah mesin birokrasi yang selama ini lambat dan tidak efisien. Sayangnya, dia tidak menjelaskan lebih jauh tentang strategi membangun birokrasi yang profesional, target yang harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detil (action plan) dari program reformasi birokrasi tersebut. Hampir disetiap momen kampanye, isu pembenahan administrasi publik nampaknya terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pendidikan dan pengangguran, serta masalah pemulihan stabilitas ekonomi makro.

Namun sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi tidak kalah mendesak dibanding dengan pembenahan di bidang lainnya. Beberapa alasan yang mendasari perlunya dilakukan reformasi birokrasi secara segera, antara lain adalah tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara. Bahkan hasil survei Transparency International Indonesia menyatakan bahwa parlemen kita (DPR & DPRD), merupakan lembaga terkorup pada 2006. Dalam skala indeks korupsi itu, parlemen mendapatkan nilai tertinggi, yakni 4,2 dari indeks 1 sampai 5.

Gambaran umum tersebut berakar dari permasalahan yang menjadi titik sentral yaitu antara lain masih sangat lemahnya fungsi penyelenggara pemerintahan baik di fungsi Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, yang pada gilirannya telah menyebabkan tidak mampunya daerah menyelenggarakan suatu kepemerintahan yang baik. Secara langsung maupun tidak langsung, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi dan kualitas SDM Aparatur yang rendah.

Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat proses pembangunan. Dengan kata lain, dalam kinerja mikro pembangunan daerah yang memprihatinkan tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi birokrasi secara menyeluruh.

Good governance di tingkat daerah dapat terlaksana bukan melalui peraturan yang bertele-tele dan perencanaan yang sulit, tetapi melalui keteladanan dan adanya pemimpin yang berani melakukan terobosan. Untuk dapat berlari jauh, kita harus mulai dari satu langkah. Itulah tindakan nyata yang dilakukan oleh para gubernur, bupati dan walikota yang berhasil membangun daerah dan menyejahterakan rakyatnya.

Pemberlakukan aturan pilkada langsung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memang termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebenarnya bukan hanya akan mengeleminir konspirasi-konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah, namun juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi.

Namun, pemberlakukan itu belum tentu bisa menjamin akan mampu menjaring kepala daerah berkualitas dan mendorong terjadinya reformasi di tingkat birokrasi. Kenapa demikian? Karena masih ada beberapa kendala krusial yang bisa menghambat terwujudkan pilkada langsung demokratis. Kendala krusial itu antara lain adalah;

1.Lembaga Demokrasi Belum Menjadi Alat Demokrasi yang Baik

Terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas selama masa transisi ini belum menunjukkan adanya kerangka kuat untuk mewujudkan kemapanan budaya demokrasi. Tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi ternyata belum bisa membangkitkan pilar-pilar demokrasi yang kokoh. Artinya, lembaga-lembaga demokrasi yang ada belum bisa menjadi alat demokrasi yang baik.

Perlu dicatat bahwa yang mendorong pembangunan politik bukanlah banyaknya jumlah partai politik yang muncul, melainkan tergantung kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian dalam menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Tapi, jika melihat sepak terjang aktor-aktor keterwakilan dalam lembaga parlemen dan partai politik selama masa transisi ini, terkesan masih carut marut serta mengalami ketimpangan dan cenderung menegasikan aspirasi publik.

Ketika pemerintah pusat sudah mulai membagikan kewenangannya kepada pemerintah daerah melalui pelaksanaan Otonomi, partai politik justru masih bersifat sentralistik hingga para pengurus partai di tingkat lokal tetap terhegemoni oleh kepentingan sempit pengurus partai di tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya, kemungkinan terjadinya tarik-menarik kepentingan di tingkatan internal partai politik bisa menciptakan kerawanan akan terjadi konflik yang dapat menimbulkan kekerasan di tingkat massa pendukung partai.

2.Sifat Partisipasi Politik Masyarakat Masih Tradisional

Pemerintahan sentralistik-militeristik dan kebijakan massa mengambang yang diterapkan Orde Baru selama 32 tahun rupanya benar-benar telah melumpuhkan wacana demokrasi dalam kehidupan masyarakat hingga menyingkirkan praktik-praktik seleksi kepemimpinan secara fair yang berdasarkan kompetensi, kapabilitas, dan integritas individu. Sementara pendidikan kewarganegaraan (civic education) selama masa transisi demokrasi ini belum diikuti peningkatan partisipasi politik masyarakat yang cukup signifikan dalam mendorong terwujudnya Good Governance di pemerintahan lokal.

Pengaruh budaya sungkan dalam mengeluarkan pendapat atau kritik, dan rendahnya tingkat pendidikan serta kondisi perokonomian masyarakat masih menjadi penghambat upaya pembangunan kekuatan civil society sebagai pilar demokrasi. Padahal, tingkat partisipasi politik masyarakat yang benar-benar belum otonom hanya akan mewujudkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dimobilisasi. Hal ini jelas sangat berpotensi menjadi sasaran manipulasi atau rekayasa pihak tertentu yang bisa menimbulkan konflik horisontal antar kelompok politik.

3.Aturan Hukum Pilkada Langsung Masih Lemah

Proses penyusunan aturan hukum pilkada langsung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang kurang transparan dan tidak melibatkan publik secara luas, sempat dipertanyakan berbagai pihak. Sementara aturan yang terkandung di dalamnya ternyata dianggap masih menyimpan banyak kekurangan. Mengenai pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD (Pasal 57) misalnya, tidak ada penjelasan lebih jauh soal ruang lingkup pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD.

Meskipun KPUD masih memiliki hak membuat Keputusan untuk menjalankan hal-hal strategis dalam pelaksanaan Pilkada, namun substansi, tahapan, persyaratan dan hal-hal teknis lainnya telah diatur secara amat rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang dari 64 pasal dialokasikan untuk mengatur masalah pemilihan Kepala Daerah. Padahal, aturan-aturan teknis penyelenggaraan pilkada langsung ini semestinya dilakukan oleh (diserahkan kepada) KPUD. Dengan kata lain, UU Pemda ini secara dini telah membatasi discretionary of power dari KPUD.

Di sisi lain, kewenangan DPRD dalam melakukan pengawasan kepada semua tahapan pilkada dan membentuk panwas pilkada juga memunculkan kekhawatiran adanya tekanan politik (political pressure) dari parpol di DPRD kepada KPUD. Pasalnya, DPRD adalah kumpulan Partai Politik yang mengusulkan calon Kepala Daerah dan sudah barang tentu punya kepentingan besar dalam memenangkan calonnya tersebut.

Pendek kata, ketiga permasalahan di atas berpotensi menimbulkan benturan-benturan kepentingan antar massa pendukung calon kepala daerah. Di sisi lain, peluang terjadinya praktik money politics dalam pilkada juga masih tetap terbuka lebar, ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada, dan ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa kepala daerah yang terpilih secara demokratis, akan lebih berkonsentrasi pada pengembalian modal/pinjaman ketimbang membangun daerah yang diwakilinya.

Persoalannya adalah; Sanggupkah semua elemen demokrasi di tingkat lokal siap menata diri dan menghilangkan perilaku-perilaku anti-demokrasi guna membangun semangat democratic civility (keadaban demokrasi) untuk mewujudkan pilkada demokratis guna menjaring kepala daerah berkualitas dalam rangka melanjutkan Governance Reform?

Dalam konteks ini, peran LSM/NGO menjadi teramat penting, para aktivis NGO perlu memperkuat jaringan dan kapasitasnya dalam mendorong terselenggaranya Pilkada Langsung yang demokratis untuk menjaring Kepala Daerah berkualitas. Artinya, para aktivis NGO harus memperkuat posisi politik dan jaringannya sebagai kekuatan tanding dalam memantau Pilkada agar berlangsung demokratis. Para aktivis NGO juga perlu meningkatkan sinergisitasnya dengan media massa/jurnalis guna melakukan Voter Education bagi masyarakat pemilih yang tradisional.

Dalam hal ini, Pemantau Pilkada setidaknya punya tangung jawab untuk memperkuat posisi civil society, khususnya dalam meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat Tangerang yang kini baru merangkak belajar demokrasi. Singkat kata, selama partisipasi politik masyarakat tidak diperbaiki dan hanya selalu menjadi obyek mobilisasi bagi para elit, Pembaharuan, Perubahan, Kemajuan, atau apapun namanya hanya akan menjadi mimpi belaka. Apalagi, jika Civilian Supremacy hanya dijadikan basa-basi politik, mau tak mau, kelak akan ada bom waktu sosial-lagi yang meledak. Bagaimana?


* Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik (LANSKAP).


Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Merupakan Bagian Dari Pemilihan Umum

Oleh: Ramlan Surbakti*


Pemerintah dan DPR baru saja menyepakati Pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan sudah disahkan oleh Presiden menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Sebagian isi UU yang baru ini (Pasal 56 s/d Pasal 119) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Baik Pasal 22E UUD 1945 maupun UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sama sekali tidak dijadikan sebagai rujukan (konsideran). Yang digunakan sebagai rujukan utama adalah Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah.


Dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa Depdagri dan Pansus DPR menempatkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada kerangka Pasal 18, 18A dan 18B, bukan dalam kerangka Pasal 22E, karena RUU yang dibahas tersebut berisi tentang pemerintahan daerah. Karena menyangkut pemerintahan daerah, maka yang dijadikan rujukan adalah pasal yang mengatakan kepala daerah dipilih secara demokratik. Karena itu dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini, pemilihan kepala daerah tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum. Daripada membentuk lembaga penyelenggara baru, maka demi efisiensi, KPU Daerah yang sudah dibentuk berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 diberi kewenangan khusus untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.


Kewenangan yang diberikan kepada KPUD tidak saja merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tetapi juga diberi kewenangan menyusun semua tata cara yang berkaitan dengan tahap persiapan dan pelaksanaan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Akan tetapi pemberian kewenangan khusus kepada KPUD sama sekali tidak dikaitkan dengan KPU yang menjadi induk KPUD tersebut. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini sama sekali tidak ada peran yang diberikan kepada KPU untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tersebut.


Rujukan


Apakah rujukan dan jalan pikiran pembuat undang-undang seperti ini tepat, baik dari segi konstitusi dan undang-undang maupun dari upaya pelembagaan sistem penyelenggaraan pemilihan umum para penjabat Negara dan penjabat Daerah dan realitas lapangan? Untuk menjawab pertanyaan ini harus ada rujukan yang dijadikan parameter.


Sebagai penjabaran asas kerakyatan, UUD 1945 menetapkan para penjabat Negara dari lembaga legislatif maupun eksekutif, baik tingkat nasional maupun daerah, dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 6A mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 18 ayat (3) mengatur pemilihan anggota DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 19 ayat (1) mengatur pemilihan anggota DPR oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 22C ayat (1) mengatur pemiluihan anggota DPD oleh rakyat melalui pemilihan umum. Hanya pemilihan kepala daerah yang belum dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum melainkan dipilih secara demokratik (Pasal 18 ayat (4)).


Menurut Pasal 22E UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pemilihan kepala daerah tidak dimasukkan kedalam Pasal 22E karena pemilihan kepala daerah sudah diatur lebih dahulu dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: kepala daerah dipilih secara demokratik. Pasal 18 merupakan hasil perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000, sedangkan Pasal 22E merupakan hasil perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 9 Nopember 2001.


Pada saat perubahan kedua dilakukan belum ada kejelasan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sehingga rumusan yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah masih bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratik. Pada saat perubahan ketiga dilakukan, semua fraksi di MPR sepakat membiarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) hasil perubahan kedua tersebut dijabarkan dengan undang-undang. UUD juga sudah menetapkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum.


Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E tersebut telah dibuat UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6A dan 22E telah pula dibuat UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pembuat UU juga sudah menjabarkan ketentuan Pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi dalam wujud UU No. 24 Tahun 2003. Agar lebih konsisten dengan ketentuan ayat (1) Pasal 6A UUD, khususnya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dengan ketentuan ayat (3) Pasal 18 UUD yang mengharuskan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka pembuat undang-undang menjabarkan ketentuan ayat (4) Pasal 18 UUD menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR dan DPD, dan pemilihan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dikategorikan sebagai pemilihan umum, dan oleh karena itu ditempatkan dan dikaitkan dengan Pasal 22E UUD, mengapa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum?


Tidak Taat-Asas


Berdasarkan rujukan dan parameter tersebut, tampaknya rujukan dan jalan pikiran pembuat undang-undang tersebut tidak taat asas dengan UUD dan UU lainnya. Pertama, bila pemilihan kepala daerah merujuk pada pasal tentang pemerintahan daerah, maka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya konsisten dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD. Pasal 18 ayat (3) UUD mengharuskan pemilihan anggota DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui pemilihan umum. Bukankah pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan pemerintah daerah (kepala daerah dan perangkat daerah)? Dengan tidak menempatkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagai pemilihan umum (kedalam ketentuan Pasal 22E), maka sebagian unsur pemerintahan daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dengan merujuk pada Pasal 22E, sebagian unsur lainnya dipilih secara langsung oleh rakyat dengan tidak merujuk pada Pasal 22E. Bila alasan untuk tidak merujuk Pasal 22E adalah karena pemilihan kepala daerah adalah soal lokal, maka alasan ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (2) yang mengharuskan pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU beserta aparatnya di daerah. Bukankah pemilihan anggota DPRD juga soal lokal?


Kedua, dari segi definisi, pemilihan kepala daerah tidak dirumuskan secara tersurat sebagai pemilihan umum tetapi secara substansi seluruh asas dan proses penyelenggaran kepala daerah adalah pemilihan umum. Substansi pemilihan umum, asas dan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003 diadopsi seluruhnya dalam UU No. 32 Tahun 2004. Proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk asas-asas dan tahapannya sama seluruhnya dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan presiden dan wakil presiden. UU yang tidak mendefinisikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum jelas tidak taat asas dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. Pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah tidak melalui pemilihan umum tetapi asas dan tahapannya sama saja dengan pemilihan umum. Jelas hal ini merupakan hasil kerancuan berpikir hanya agar KPU dan Mahkamah Konstitusi tidak terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.


Ketiga, bila penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diserahkan kepada komisi pemilihan umum daerah (KPUD), maka KPUD terikat pada karakteristik bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pasal-pasal tentang pemilihan kepala daerah (Pasal 56 sampai dengan Pasal 119) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut sama sekali tidak merujuk pada sifat nasional, dan mandiri. KPU bersifat nasional berarti KPU menjadi penyelenggara pemilihan umum untuk seluruh wilayah Negara kesatuan RI, sedangkan KPUD adalah aparatnya di daerah. UU No. 32 Tahun 2004 ini sama sekali tidak mengatur hubungan KPUD dengan KPU. KPU, dan karena itu KPUD, bersifat mandiri berarti dalam melaksanakan pemilihan umum tidak berada atau dibawah pengaruh seseorang, kelompok, golongan ataupun pemerintah melainkan semata-mata berdasarkan undang-undang. Pengganti UU No. 22 Tahun 1999 ini justeru mengharuskan KPUD membuat tata cara pelaksanaan semua tahap persiapan dan semua tahap pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Keempat, penyerahan kewenangan membuat pedoman penyusunan semua tata cara tahap persiapan dan semua tata cara tahap pelaksanaan pemilihan umum kepada Pemerintah (dengan PP) juga tidak sejalan dengan jalan pikiran pembuat undang-undang ketika merumuskan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003 yang menyerahkan sepenuhnya pembuatan tata cara Pemilu kepada KPU. Dasar pemikirannya: Pemerintah sebagai hasil pemilihan umum adalah peserta pemilihan umum. Karena itu demi menjamin netralitas dan imparsialitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum, pemerintah (baca: salah satu peserta Pemilu) tidak diberi kewenangan membuat peraturan pelaksanaan. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan diserahkan kepada lembaga yang tidak berafiliasi dengan peserta pemilihan umum, yaitu KPU.


Dan kelima, penyerahan kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepada Pengadilan yang berujung pada Mahkamah Agung juga tidak konsisten dengan Pasal 24C ayat (1) UUD dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemilihan kepala daerah memang tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum tetapi bahwa asas dan tahapannya merupakan pemilihan umum tidak ada yang dapat membantah. Proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum jelas tidak sama dengan proses penyelesaian perkara pidana biasa. Karena dari segi apapun pemilihan kepala daerah merupakan pemilihan umum, maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah seharusnya diselesaikan menurut UUD, yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.


UUD sudah membangun sistem rekrutmen penyelenggara Negara baik di pusat maupun daerah: semua penjabat Negara dalam lembaga legislatif, tingkat nasional dan daerah, dan penjabat Negara dalam lembaga eksekutif dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Perselisihan hasil pemilihan umum diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Mengapa pembuat UU, membuat undang-undang pemerintahan daerah, khususnya tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tidak konsisten dengan tatanan yang sudah diletakkan dalam UUD?


Akibatnya


Pengaturan pemilihan kepala daerah yang tidak taat-asas dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 khususnya dengan Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 22E, Pasal 24C ayat (1) dan dengan undang-undang khususnya dengan UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 23 Tahun 2003, dan UU No. 24 Tahun 2003 akan menimbulkan sejumlah akibat. Pertama, bangsa Indonesia akan memiliki dua sistem penyelenggaraan pemilihan umum dalam satu Negara yang sama sekali tidak mempunyai hubungan struktural, setidak-tidaknya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hal seperti ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada Negara yang menganut bentuk-susunan Negara Federal. Kalau dalam Negara Kesatuan hanya ada satu penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai aparat di daerah, maka dalam Negara Federal terdapat dua penyelenggara pemilihan umum yang tidak memiliki hubungan fungsional ataupun struktural, yaitu penyelenggara pemilu penjabat Negara Federal dan penyelenggara pemilu penjabat Negara Bagian.


Pada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan kewenangan Pusat yang setelah berdasarkan Pasal 22E UUD 1945 dilimpahkan kepada KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini tidak ada rumusan yang menyatakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan daerah otonom sehingga dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tetap merupakan kewenangan Pusat yang berdasarkan Pasal 22E UUD seharusnya dilimpahkan kepada KPU beserta aparatnya di daerah. Bila mengikuti jalan pikiran ini, maka muncul pertanyaan mengapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diserahkan kepada KPUD sedangkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD menurut UUD diserahkan kepada KPU beserta aparatnya di daerah? Apakah pembuat undang-undang secara sengaja hendak menciptakan dua penyelenggara pemilihan umum seperti yang dipraktekkan Negara Federal?


Kedua, tata cara teknis seluruh tahap proses penyelenggaraan pemilihan umum yang selama ini sudah mulai dipahami dan dilaksanakan dengan standar yang sama oleh KPUD seluruh Indonesia, oleh peserta pemilihan umum, dan oleh para pemilih terancam berantakan berkeping-keping karena setiap daerah akan membuat tata cara sendiri. Dengan sistem yang berlaku sekarang saja , pelaksanaan tata cara yang dibuat KPU bervariasi dari satu daerah ke daerah lain apalagi bila pembuatan tata caranya sendiri diserahkan kepada KPUD masing-masing. Bangsa ini akan kehilangan kesempatan melembagakan tata cara proses penyelenggaraan pemilihan umum yang LUBER-JURDIL dan Akontabel apabila sistem yang satu belum melembaga sudah diciptakan sistem lain. Jangan sampai karena personil KPU tidak disukai, atau karena kebijakan yang ditempuh dalam penyelenggaraan Pemilu 2004 tidak disukai, atau hasil kerja MK tidak disukai, sistemnya kemudian diganti dengan sistem lain yang belum teruji.


Ketiga, sesuai dengan bangunan kewenangan KPU sebagai penyelenggara dan yang bertanggungjawab atas pemilihan umum berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, KPU telah membangun dan melembagakan format pembuatan keputusan KPU dan KPUD. Keputusan KPU dapat berupa pengaturan (seperti tata cara teknis berbagai tahapan pemilihan umum) dan penetapan (seperti penetapan hasil pemilihan umum, penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPD), sedangkan keputusan KPU Propinsi atau KPU Kabupaten/Kota hanya berupa penetapan, seperti penetapan daftar calon anggota DPRD Propinsi atau penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota. Format keputusan seperti ini sudah dilembagakan selama penyelenggaraan tiga kali pemilihan umum pada tahun 2004. Ketentuan yang terkandung dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang memberi kewenangan pengaturan tentang tata cara teknis pemilihan umum kepada KPUD jelas merusak tatanan yang sudah dibangun dan dilembagakan oleh KPU.


Keempat, KPUD belum memiliki pengalaman membuat perencanaan teknis pelaksanaan pemilihan umum, seperti perencanaan tahapan pemilihan umum, dan pembuatan surat suara. KPUD sudah memiliki pengalaman melaksanakannya. Karena itu, membiarkan KPUD sendiri tanpa supervisi dari KPU akan menyebabkan paling tidak sebagian KPUD akan mengalami kesukaran. Apabila supervisi diberikan oleh Pemerintah ataupun Pemda, maka tindakan seperti ini bertentangan dengan karakteristik KPUD yang berada dibawah KPU yang bersifat mandiri.


Kelima, kemandirian KPUD dipertaruhkan tidak saja karena KPUD diberi kewenangan membuat tata cara pemilihan kepala daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah, pertanggungjawaban kepada Pemda dan DPRD, dan pembentukan Panwas oleh DPRD, tetapi juga karena kerentanan KPUD terhadap pengaruh dan intervensi elit lokal yang berkompetisi menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kerentanan para anggota KPUD, terutama KPU Kabupaten/Kota, timbul karena elite lokal yang bersaing memiliki sumberdaya kekuasaan yang jauh lebih besar daripada yang dimiliki oleh para anggota KPUD. Pengaruh dan intervensi elit lokal dapat terjadi karena faktor hubungan keluarga (yang relatif masih kental pada tingkat kabupaten), faktor uang (money politics), tekanan mental ataupun ancaman pisik. Akan tetapi bila KPUD sebagai aparat KPU seperti yang terjadi selama ini, maka KPUD dapat mengandalkan KPU sebagai sumberdaya pengaruh untuk mengimbangi elit lokal sehingga penyelenggaraan Pemilu LUBER dan JURDIL dapat ditegakkan.

Jalan Keluar


Sekurang-kurangnya tiga alternatif langkah yang dapat diambil oleh KPU. Pertama, mengajukan permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi, atau setidak-tidaknya mendorong Pemerintah, DPD dan DPR merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Dasar pertimbangan mengajukan permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi adalah UU No. 32 Tahun 2004: (a) bertentangan dengan atau sekurang-kurangnya tidak sejalan dengan Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), Pasal 6A dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 mengenai pemilihan anggota DPRD, DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum; (b) bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan Pasal 22E ayat (1) mengenai asas-asas pemilihan umum; (c) bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan Pasal 22E ayat (5) mengenai pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri; (d) bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003; dan bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan Pasal 24C ayat (1). Tujuan uji materil ialah agar Indonesia sebagai Negara kesatuan memiliki satu sistem rekrutmen, dan sistem penyelenggaraan pemilihan umum untuk semua penjabat politik tingkat nasional dan tingkat daerah yang menurut undang-undang dasar dipilih melalui pemilihan umum.


Uji Materil tentu belum dapat menyelesaikan semua persoalan karena uji materil oleh MK hanya mengatakan Pasal dan ayat tertentu bertentangan dengan UUD. Yang diperlukan adalah pengaturan yang sesuai dengan UUD. Karena itu, perubahan UU No. 32 Tahun 2004 ini merupakan solusi yang paling tepat. Bila pemerintah yang baru, DPR yang baru dan DPD menyepakati pentingnya perubahan tersebut, maka yang paling utama ditegaskan secara tersurat dalam perubahan UU tersebut adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bagian dari pemilihan umum. Karena merupakan pemilihan umum tingkat lokal, maka seperti dalam pemilihan anggota DPRD, pengaturan teknis dan supervisi berada di tangan KPU sedangkan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian semua tahapan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dipegang oleh KPUD. Karena merupakan bagian dari pemilihan umum, maka perselisihan hasil pemilihan umum diselesaikan oleh MK. KPU meminta kepada pemerintah, DPR dan DPD untuk mempertimbangkan usul perubahan terhadap UU tersebut.


Kedua, meminta kepada Pemerintah yang baru untuk mendelegasikan pembuatan Peraturan Pemerintah tentang pedoman penyusunan tata cara semua tahapan Pemilu kepada KPU, atau setidak-tidaknya melibatkan KPU dalam pembuatan PP tersebut; memberikan supervisi kepada KPUD dalam pelaksanaan tugasnya menyelenggarakan Pilkada, dan mendukung KPUD dalam menghadapi kemungkinan intervensi elit lokal. Apabila Presiden melalui PP menugaskan KPU membuat peraturan pelaksanaan, maka aplikasi asas-asas pemilihan umum yang demokratik, yaitu LUBER, JURDIL dan Akontabilitas akan seragam seluruh Indonesia. Keterlibatan KPU dalam pembuatan Peraturan Pemerintah mengenai pedoman pembuatan tata cara semua tahapan pemilihan umum akan lebih menjamin adanya satu standar yang sama tentang ukuran pemilihan umum yang bebas dan adil. Pemberian supervisi kepada KPUD dan pemberian dukungan kepada KPUD tidak hanya sejalan dengan kebutuhan dan permintaan KPUD kepada KPU tetapi juga sejalan dengan upaya pembangunan institusi KPU. Kekuatan KPU dan KPUD bukan terletak pada kemampuan individual anggotanya tetapi terletak pada sistem yang sudah mulai terbentuk. Untuk melaksanakan langkah kedua ini diperlukan entry-point bagi keterlibatan KPU dengan mencari celah-celah dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang memungkinkan KPU melaksanakan langkah kedua dan/atau pernyataan tertulis dalam DPR/Komisi II dan Pemerintah yang membenarkan keterlibatan KPU.


Dan ketiga, langkah tidak melakukan tindakan apapun karena tidak ada satu pasal dan ayatpun yang menyebutkan peran KPU dalam pemilihan kepala daerah. Langkah ketiga ini mungkin pilihan yang paling menyenangkan secara pribadi karena KPU tidak perlu mengerjakan apapun sehingga dapat sepenuhnya berkonsentrasi pada tugas lain dari KPU. Akan tetapi langkah ini tampaknya bukan sikap yang bertanggungjawab karena dari awal anda sudah mengetahui adanya persoalan serius dalam pelaksanaan pemilihan umum tetapi anda tidak melakukan tindakan apapun. Semua hasil kerja positif KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2004 mungkin akan sirna dan ternoda karena pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang tidak sesuai dengan asas-asas pemilihan umum demokratik.


Karena itu, apabila pemerintah, DPR dan DPD belum dapat mengadakan merepon usul alternatif pertama, maka sesuai dengan permintaan KPU Propinsi, KPU kemungkinan besar akan mengambil langkah alternatif kedua sepanjang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan.


*Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum.
Sumber: www.kpu.go.id


Pilkada Tangerang


Netralitas Pendidik Dipertaruhkan (menyoal keberpihakan guru dalam pilkada)

Oleh: Hamdan Baschara*


Deklarasi dukungan terhadap, salah satu Calon Bupati Tangerang oleh kalangan Pendidikan adalah menandai masih kuatnya tangan - tangan kekuasaan dalam upayanya mempertahankan status quo dan kekuasaannya ( Politisasi Guru ) seperti halnya apa yang telah di lakukan oleh Rezim Orde baru. Ada hal yang menarik menghadapi Pilkada di kabupaten Tangerang, kalau di Banyumas dan Daerah lainnya para guru Bersatu melawan arogansi Rezim Kekuasaan, lain hal nya di Kabupaten Tangerang guru beramai ramai mendekati kekuasaan,

Terlepas di politisir atau pun tidak, terlahirnya Pena Ungu yang di bidani oleh para Guru PNS, Guru Bantu dan Sukarelawan yang nota bene termasuk juga Organ pendukung atau Tim Sukses calon Bupati yang berkuasa ( Incumbent ). Hal tersebut mungkin saja artikulasi politik para pendidik di kabupaten Tangerang, namun apakah kawan - kawan yang tergabung dalam Pena Ungu atau organ lainnya merupakan representasi politik para pendidik atau bukan !!

GURU CORONG PERUBAHAN

Guru atau pendidik memiliki peran strategis dalam mengkampanyekan agenda agenda perubahan yang mendasar dalam upaya membangun Bangsa yang bermartabat. Perubahan bukan hanya sekedar mengganti Seorang Pemimpin atau Kepala Daerah saja ( Suksesi kepemimpinan ) akan tetapi perubahan itu lebih menyentuh pada bagaimana Pelayanan Publik ( Pendidikan dan Kesehatan ) terlayani dengan baik.

Hal tersebut adalah sebuah kebutuhan yang tak bisa di tunda - tunda lagi, mengingat sudah terlalu lama dan capek warga masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan saja harus ke wilayah Kota Tangerang, maka dalam hal ini Guru ( pendidik ) harus berani melakukan preseure group terhadap para Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tangerang untuk juga mengagendakan program prioritasnya memindahkan SKPD-SKPD yang ada di wilayah Kota Tangerang.

Sebagai Insan politik yang mempunyai kedaulatan untuk berserikat atau memilih hal aspirasi politik atau Apresiasi Politik terhadap Incumbent adalah hal yang wajar dalam proses Demokratisasi, namun menjadi ketidakwajaran jika hal tersebut di bangun atas dasar kepentingan Pragmatis saja yang justru menodai dan keluar dari khitoh perjuangan Guru yang Tut Wuri handayani Ing ngarso sang Tulodo. Ada dua hal yang patut di renungkan oleh kawan - kawan Guru yang terlibat dalam Politik Praktis ;

Pertama Guru sudah tidak lagi terjaga independensi / Netralitasnya dalam melakukan proses kegiatan Belajar Mengajar sebagai salah satu upaya gerakan perubahan sejak dini terhadap tata Nilai Kehidupan yang Materialistik, ketika guru sudah terkontaminasi oleh Kepentingan Politik Penguasa, alih - alih yang terjadi adalah Conflick of Interest di kalangan Civitas Pendidikan.

Kedua ; Guru harus di gugu dan di tiru, lantas bagaimanakah dengan anak didik dan warga masyarakat ( Wali Murid ) ketika guru sudah melakukan Kampanye terhadap salah satu pasangan calon Bupati dan wakil Bupati yang oleh para anak didik atau pun wali murid bukan Pilihan yang ideal. Sadarkah guru bahwa sejak Rezim Orde baru hingga saat ini, dalam perjalanan politik Nasional atau pun lokal Peran pendidik selalu termarginalkan dan menjadi corong Politik dari kepentingan Pemerintah dengan memantau pergerakan Pendidik melalui organisasi yang bernama PGRI untuk mempertahankan status quo atau kekuasaannya.

Dalam kondisi tersebut seharusnya Guru dapat mengambil peran perubahan yang substantif dan sistemik dalam Pilkada mendatang, jadikan Pilkada sebagai momentum perubahan terhadap Sistem Birokrasi pendidikan dengan mengawal proses Pilkada melalui Pendidikan Poilitik kepada pemilih pemula dan warga masyarakat sehingga Pilkada bejalan secara bersih , jujur dan niscaya akan lahir pemimpin yang bersih, jujur serta amanah.

NETRALITAS GURU

Dalam Pasal 9 Recommendation Concerning The Status of Teachers oleh UNESCO dan ILO ( Organisasi Buruh Sedunia ) bersama pemerintah termasuk Indonesia (tanggal 5 Oktober 1966) bahwa organisasi Guru hendaklah di akui sebagai suatu kekuatan yang dapat memberikan sumbangan besar dalam kemajuan pendidikan, karena itu guru harus di ikut sertakan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Hasil rekomendasi tersebut membuat Guru dan Organisasinya memiliki Posisi tawar secara politis dalam penentuan kebijakan.

Bagaimana hal nya di Kabupaten Tangerang, sudahkah Pemerintah Daerah dan Guru duduk satu meja merumuskan Kebijakan Pendidikan di Kabupaten Tangerang! Jauh api dari panggang ketika melihat fenomena politik dalam menghadapi Pilkada dari kalangan Guru sudah mulai kehilangan Jatidiri sebagai Pendidik, yang semestinya mendidik kita untuk memilih Pemimpin yang Jujur, Bersih dan Amanah dari semua Kandidat yang muncul (Uji Publik terhadap para kandidat). Lantas bagaimanakah Permasalahan Pendidikan di Kabupaten Tangerang yang patut kita telaah kembali di antaranya:

Pertama, Permasalahan Infrastruktur Pendidikan, yang menurut informasi salah satu anggota DPRD Kabupetan Tangerang terdapat 500 ruang belajar yang tidak layak pakai. Kedua, Rendahnya Aksesibility Pelayanan Pendidikan berdasarkan hasil penilitian yang di lakukan oleh kawan kawan ICW dan Serikat Guru Tangerang mengenai pelayanan Pendidikan bahwa hampir sebagian besar masyarakat tidak tahu akan keberadaan dana BOS ( Bantuan Dana Operasional Sekolah ) dan BOS Buku sehingga karena ketidaktahuan masyarakat tak sedikit sekolah melakukan pungutan Biaya Sekolah. Ketiga rendahnya tingkat Kesejahteraan Guru terutama Guru Sukarelawan dan Guru Bantu. Dari Permasalahan tersebut sudahkah guru menjadikan hal tersebut menadikan agenda utama perjuangannya dalam melakukan bargaining politik terhadap sernua para kandidat.

Dalam kapasitasnya sebagai guru bangsa, pendidik harus menempatkan dirinya sebagai pioneer perubahan dalam mensosialisasikan dan memberikan pendidikan politik dengan tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati. Seperti halnya Aristoteles dan Tan Malaka bahwa tugas seorang Guru adalah melayani dan menemani murid dalam merumuskan pertanyaan - pertanyaan mendasar. Peran Guru dalam melatih kematangan berpikir dan kedewasaan bertindak dalam merumuskan konsep - konsep dasar nilai dan Pranata sosial kehidupan bermasyarakat.

Lantas, apakah jadinya jika guru sudah tidak netral. Di sinilah pentingnya netralitas pendidik dan lembaga pendidikannya sehingga out put dari didikannya melahirkan generasi yang kritis dan dinamis terhadap perubahan peradaban zaman. Maka oleh karena itu guru harus cermat dalam menilai komitmen para kandidat dalam memajukan Pendidikan bukan malah sebaliknya lebih bersikap Oportunis dan Hipokrit. Bukankah Kehidupan Politik hanyalah terfokus pada rente rente ekonomi dan bukan pada kegiatan Produktif, ( Diamond, 1997 ).


* Deputi Jaringan & Pemantauan JANGKAR PILKADA dan Akfivis Serikat Guru Tangerang (SGT).


Incumbent dan Pilkada

KEPALA daerah yang tengah memerintah (incumbent) masih mempunyai peluang lebih besar dalam memenangkan Pilkada. Dari pelaksanaan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 62.2% kepala daerah incumbent yang maju dalam Pilkada berhasil menang. Posisi incumbent, menguntungkan bagi kandidat. Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas.

Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk mengenalkan diri kepada masyarakat.

Upaya membuat Pilkada lebih fair dan calon yang bertarung bisa berkopetisi secara lebih berimbang, selama ini kurang menyentuh hal-hal yang substansial, seperti larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial. Misalnya dengan memberi ruang sebesar-besarnya bagi setiap orang agar mempunyai kesempatan bertarung dalam Pilkada.

Banyak orang berharap ketika kepala daerah dipilih secara langsung, Juni 2005. Salah satu harapan itu adalah terjadinya rotasi kekuasaan. Orang-orang terbaik di daerah diharapkan dapat mengisi jabatan kepala daerah. Kesempatan itu dinilai lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Maklum, sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka yang akhirnya terpilih sebagai kepala daerah dinilai sebagai hasil dari lobi politik dan politik uang (money politics) daripada upaya yang sungguh-sungguh untuk memilih orang terbaik di daerah.

Dari Juni 2005 - Desember 2006, Pilkada telah dilangsungkan di 296 wilayah di seluruh Indonesia. Dari Pilkada yang telah lewat itu, kita bisa mengevaluasi apakah harapan terjadinya rotasi kekuasaan itu terwujud ataukah tidak. Atau sebaliknya, Pilkada tetap dikuasai oleh pemain dan tokoh politik lama.

Incumbent Kepala Daerah

Pelaksanaan Pilkada selama ini diramaikan dengan tampilnya kembali incumbent kepala daerah (pejabat yang tengah memerintah). Dari wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 230 orang kepala daerah incumbent (78.77%) maju kembali mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Hanya 62 orang (21.23%) yang tidak maju sebagai calon.

Seberapa besar peluang kepala daerah incumbent terpilih kembali? Peluang kepala daerah incumbent ternyata sangat besar. Dari 230 kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai calon kepala daerah, sebanyak 143 orang (62.17%) menang dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Sisanya, sebanyak 87 orang (37.83%) kalah dari lawan lain.

Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung.
Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Popularitas adalah modal utama bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung seperti Pilkada.

Pemilih
pertama-tama akan memilih kandidat yang dikenal, paling tidak pernah didengar. Sebagus apapun kualitas dari kandidat tidak akan banyak membantu jikalau kandidat tidak dikenal oleh pemilih. Aspek popularitas ini dengan mudah bisa didapat oleh kepala daerah incumbent. Foto-foto kepala daerah biasa ditempel di kantor-kantor kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Nama kepala daerah juga tiap hari muncul di media lokal.Pelaksanaan

Pilkada hingga Desember 2006, menunjukkan
beberapa hal yang menarik. Kerap kali kepala daerah incumbent diserang dengan berbagai isu (misalnya korupsi) tetapi ternyata tidak menghalangi kemenangan kembali kepala daerah. Bahkan di sejumlah wilayah ada kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, ternyata tetap bisa melenggang kembali sebagai kepala daerah. Ada juga kandidat kepala daerah yang secara jelas melakukan kesalahan (seperti melakukan pemalsuan ijazah, pelecehan seksual belum lagi yang didera isu penodaan agama, ternyata tetap bisa memenangkan Pilkada dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Bahkan kerap kali kepala daerah yang tersangkut berbagai isu dan masalah, memenangkan Pilkada dengan kemenangan telak.

Fakta ini kemungkinan menunjukkan, kepala daerah incumbent satu-satunya tokoh yang cukup kuat (terutama dari segi popularitas) di daerah tersebut. Berbagai serangan tidak cukup menyurutkan pemilih untuk kembali memilih kepala daerah incumbent. Karena tidak ada tokoh alternatif lain yang sekuat kepala daerah incumbent. Hal ini menyebabkan banyak kepala daerah yang sebenarnya kualitasnya tidak bagus (kinerja selama memerintah buruk atau tersangkut dengan berbagai kasus) ternyata tetap bisa terpilih kembali sebagai kepala daerah.

Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala
daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Semuanya itu bisa dilakukan secara legal dan tanpa perlu mengeluarkan uang. Kunjungan dinas ke daerah-daerah bisa menggunakan uang dari pemerintah daerah. Staf dan karyawan juga bisa didayagunakan untuk membantu kemenangan kandidat. Kepala daerah incumbent yang “kreatif” bisa merancang berbagai program (terutama menjelang pemilihan) yang bisa mengesankan dirinya sebagai kepala daerah yang berhasil dan peduli dengan rakyat. Misalnya dengan merancang berbagai program yang populis seperti pembagian sembako gratis, bantuan pembangunan rumah ibadah dan sebagainya.


Berdasar perolehan suara yang didapat dalam Pilkada, kita bisa membagi kekuatan kepala daerah incumbent itu ke dalam tiga bagian. Pertama, kepala daerah dengan kekuatan sangat kuat. Ini ditandai dengan perolehan suara sangat besar (di atas 75%). Lebih dari ¾ pemilih memilih kepala daerah incumbent.

Kepala daerah yang kuat ini tampak memili
ki ciri-ciri yang sama. Mereka mempunyai dominasi yang kuat di daerah, bukan hanya politik tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya. Dominasi di bidang politik umumnya ditandai dengan jabatan kepala daerah yang merangkap sebagai ketua partai politik di daerah. Ini juga ditambah dengan kekuatan penunjang lain, misalnya tokoh masyarakat (ulama), anak dari tokoh terkenal di daerah dan sebagainya.

Dominasi
yang kuat ini menyebabkan tidak ada tokoh alternatif yang kuat atau paling tidak bisa mengimbangi tokoh-tokoh tersebut. Yang tidak bisa dilupakan, kepala daerah yang kuat ini juga mempunyai prestasi yang baik di mata masyarakat. Karena posisi yang kuat, kandidat kepala daerah ini sukar mencari tandingan.

Kedua, kepala daerah kuat. Kepala daerah ini memang memenangkan Pilkada di wilayah masing-masing, tetapi dengan perolehan suara yang tidak telak. Ketiga, kepala daerah lemah. Ini ditandai dengan perolehan suara yang kecil. Ada kepala daerah incumbent yang akhirnya menang, tetapi selisih dengan calon lain sangat kecil (di bawah 5%). Jika kepala daerah incumbent ini masih tetap bisa memenangkan Pilkada, kemungkinan karena strategi yang baik. Atau karena tidak ada calon alternatif lain yang lebih baik. Tetapi jika ada calon alternatif lain di daerah itu (misalnya tokoh agama, tokoh politik lokal yang kuat), kemungkinan besar kepala daerah incumbent akan kalah.


Kampanye Permanen

Fenomena terpilihnya kembali pejabat yang tengah memerintah untuk periode berikutnya, bukanlah khas Indonesia. Di Amerika misalnya, tingkat keberhasilan pejabat yang tengah memerintah untuk terpilih kembali juga sangat tinggi. Misalnya untuk legislator. Rata-rata Sekitar 90% anggota dewan (house of representatives) dan 80% senator terpilih kembali untuk periode berikutnya (Wayne P. Steger, 2001). Sama dengan di Indonesia, pejabat yang tengah memerintah mempunyai keuntungan lebih yang tidak dipunyai oleh orang baru.


Pertama, keuntungan finansial. Sejumlah keperluan (seperti biaya komunikasi dengan konstituen, perjalanan, biaya kantor, dsb) bisa ditutupi dengan memakai anggaran yang telah disediakan oleh negara sebagai legislator.
Legislator yang tengah menjabat (incumbent) ini juga bisa mendayagunakan fasilitas yang dipunyai seperti staf ahli, administrasi, dan fasilitas penunjang kantor lain. Dengan kemudahan dalam hal finansial dan perlengkapan itu, legislator yang tengah memerintah punya kesempatan melakukan kampanye secara terus menerus sepanjang waktu.


Kedua, dengan posisinya sebagai legislator yang tengah memerintah, ia punya akses lebih besar dalam mendapatkan sumber dana. Sebab penyumbang yang potensial lebih suka mendonasikan uangnya untuk legislator yang tengah memerintah dibandingkan dengan calon anggota legislator. Di luar itu, anggota legislator (di Amerika) juga melakukan kampanye secara terus menerus. Anggota legislator menjalankan perannya memperjuangkan aspirasi pemilih, dan sekaligus berkampanye untuk dirinya sendiri guna menghadapi pemilihan periode selanjutnya.


Fenomena pejabat incumbent yang maju kembali dalam
pemilihan ini, telah menjadi salah satu bidang garapan dan kajian yang menarik oleh para ahli. Para ahli pemasaran politik menyebut pola pemasaran politik bagi pejabat yang tengah memerintah ini sebagai kampanye permanen atau the permanent campaign (lihat misalnya Dan Nimmo, 2001; Darren G. Lilleker dan Jannifer Lees-Marshment, 2005). Disebut kampanye permanen karena, semua aktivitas pejabat yang tengah memerintah (incumbent) pada dasarnya adalah kampanye.


Mereka menjalankan tugasnya
sebagai pejabat dan pada saat bersamaan, secara tidak langsung juga melakukan kampanye. Mengunjungi masyarakat, memberikan informasi dan menyajikan tanggapan atas pertanyaan masyarakat, meresmikan sebuah proyek adalah bagian dari tugas seorang pejabat. Aktivitas tersebut secara bersamaan juga bisa dikemas untuk menjual diri kandidat. Pendeknya, jika kandidat lain hanya berkampanye menjelang pemilihan, pejabat yang tengah memerintah ( disadari atau tidak) telah berkampanye selama 5 tahun menjabat. Tidak mengherankan jikalau potensi kemenangan dari incumbent ini jauh lebih besar dibandingkan dengan orang baru.


Fenomena ini memang kerap dikritik. Wayne P. Steger (2001) misalnya menyatakan banyaknya incumbent yang terus menerus terpilih kembali ini sebagai gejala tidak sehatnya demokrasi di Amerika. Tetapi itulah kenyataannya. Karena itu, ada berbagai upaya yang dilakukan agar orang-orang baru ( yang mungkin lebih baik) tetap mendapat kesempatan. Arena seperti konvensi yang rutin dilakukan oleh partai-partai politik di Amerika adalah salah satu upaya untuk menyediakan panggung agar pemilihan tidak hanya didominasi oleh orang-orang lama.


Di Indonesia, fenomena incumbent dalam Pilkada ini juga banyak digugat dan dipertanyakan. Banyak ahli yang menyatakan, adanya incumbent membuat kompetisi pemilihan kepala daerah berlangsung secara tidak imbang dan tidak fair. Sayangnya, berbagai upaya untuk membuat pemilihan kepala daerah yang lebih fair, lebih berimbang, selama ini masih masih berkutat pada hal yang kurang substansial. Sebut misalnya, soal larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah.


Larangan ini memang bertujuan agar pemilihan kepala daerah bisa berlangsung secara adil. Masing-masing kandidat mendapat perlakuan yang sama. Tetapi seperti disinggung di depan, kampanye incumbent pada dasarnya bersifat permanen ( the permanent campaign). Jadi upaya membuat perlakuan yang sama antar kandidat adalah tidak logis, karena incumbent sebenarnya mempunyai kesempatan melakukan kampanye sepanjang pemerintahannya.


Jika kita ingin membuat kompetisi lebih fair (yang nanti pada gilirannya akan menghasilkan pemimpin terbaik), upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial. Misalnya dengan memberi ruang sebesar-besarnya bagi setiap orang agar mempunyai kesempatan bertarung dalam Pilkada, seperti diperbolehkannya calon independen--calon di luar partai politik. Selama ini, pencalonan dilakukan lewat partai politik dan dalam banyak kasus menyulitkan bagi orang yang ingin ikut bertarung dalam Pilkada.


Kekuasaan terbesar dari pejabat yang tengah memerintah (incumbent) justru pada tahap pencalonan ini. Kepala daerah umumnya menguasai basis politik lokal (misalnya dengan menjadi ketua umum dari partai politik di tingkat lokal). Dengan posisi seperti ini, tokoh-tokoh yang maju dalam Pilkada adalah tokoh atau pejabat lama di pemerintahan daerah.


Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang membolehkan adanya calon independen (calon di luar partai politik) adalah salah satu kasus yang menarik. Pemilihan berlangsung secara berimbang, dan setiap tokoh bisa mempunyai kesempatan untuk menguji dukungan pemilih lewat Pilkada. Cukup banyak kepala daerah incumbent yang kalah dari calon-calon dari independen ini.


Hukuman dan Ganjaran dari Pemilih?


Ada kepala daerah yang tengah memerintah (incumbent) terpilih kembali dalam Pilkada. Tetapi ada juga kepala daerah yang gagal terpilih ketika maju dalam Pilkada. Idealnya, pemilih memberikan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) pada incumbent. Jika seorang pemilih merasa bahwa incumbent itu telah bekerja dengan baik dan memenuhi harapan (kebutuhan) pemilih, ia akan memilih incumbent kembali. Sebaliknya jika dirasa incumbent gagal dalam memenuhi harapan dan pada saat bersamaan ada kandidat lain yang dipandang lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan itu, pemilih tidak akan memilih kembali incumbent.


Dari wilayah yang dianalisis, terlihat ada variasi. Ada daerah di mana pemilih yang menilai incumbent gagal, memberikan hukuman dengan tidak memilih incumbent itu dan sebaliknya memberikan ganjaran kepada incumbent yang berhasil. Tetapi ada wilayah di mana aspek ini belum menjadi perhatian pemilih. Kepala daerah yang dinilai kinerjanya belum atau tidak memuaskan, masih diberi kesempatan untuk memimpin kembali.


Pemilihan umum (termasuk Pilkada) adalah sarana evaluasi bagi pemilih. Lewat Pilkada, pemilih mempunyai kesempatan untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah. Pemilih juga dapat memberikan hukuman bagi pemimpin yang dipandang gagal dengan jalan tidak memilihnya kembali sebagai kepala daerah. Sebaliknya bagi pemimpin yang berhasil, pemilih dapat memberikan ganjaran (reward) berupa dukungan bagi pemimpin itu agar memimpin daerah lima tahun ke depan. Lewat mekanisme ini, kepala daerah dituntut untuk meningkatkan kinerja jikalau ingin terpilih kembali. Hakim tertinggi dari semua proses ini adalah rakyat pemilih.


Mekanisme di atas adalah mekanisme yang ideal, dan dikenal sebagai pendekatan ekonomi politik dalam studi perilaku pemilih. Seseorang memilih kandidat dalam Pilkada misalnya, tidak didasarkan pada kesamaan primordialisme, tetapi didasarkan pada evaluasi terhadap kandidat dan isu yang ditawarkan. Berkaitan dengan incumbent, pendekatan ini menekankan bahwa pemilih akan melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan kandidat kepala daerah incumbent, dan pada saat bersamaan akan mengevaluasi kandidat lain.


Jika seorang pemilih merasa bahwa incumbent itu telah bekerja dengan baik dan memenuhi harapan (kebutuhan) pemilih, ia akan memilih incumbent kembali. Sebaliknya jika dirasa incumbent gagal dalam memenuhi harapan dan pada saat bersamaan ada kandidat lain yang dipandang lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan itu, pemilih tidak akan memilih kembali incumbent.


Secara umum, bagi pemilih di Indonesia posisi sebagai kepala daerah incumbent masih dipandang mempunyai nilai lebih. Survei nasional yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan sebanyak 35.4% responden lebih suka memilih kandidat yang pernah menjadi pejabat. Survei yang sama dengan populasi provinsi Kepulauan Riau menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Alasan yang dikemukakan oleh responden sebagaian besar karena kandidat yang pernah menjadi pejabat mempunyai pengalaman lebih banyak dibandingkan dengan kandidat yang bukan berasal dari pejabat pemerintah.


Potensi Incumbent


Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh kepala daerah incumbent adalah popularitas. Incumbent dikenal oleh pemilih di atas 80 persen. Jika dibandingkan antara popularitas incumbent dengan lawan terkuat (urutan perolehan suara nomor dua dalam Pilkada), incumbent tampak lebih unggul. Tetapi popularitas hanyalah potensi yang harus diolah oleh incumbent. Jika pengenalan pemilih (popularitas) ini bisa dikelola dengan baik, akan menghasilkan tingkat kesukaan yang tinggi dari pemilih.


Tidak semua kandidat incumbent yang dikenal otomatis disukai oleh pemilih. Di Natuna Misalnya. Meskipun incumbent ( Hamid Rizal) dikenal oleh 83.6% pemilih, ternyata hanya 44.5% saja dari pemilih yang suka dengan Hamid Rizal. Demikian juga dengan kandidat incumbent di Sulawesi Utara (Adolf Jouke Sondakh). Meski Sondakh dikenal oleh 86.2% pemilih, ternyata dari mereka yang mengenal (pernah mendengar) AJ Sondakh hanya 53.7% saja yang menyukainya.


Incumbent yang menang dalam Pilkada umumnya mempunyai pola yang mirip, yakni mereka dikenal dan pada saat bersamaan dalam jumlah besar disukai oleh pemilih. Pada akhirnya, pemilih juga akan memberikan preferensi pada kandidat incumbent. Sebaliknya terjadi pada incumbent yang kalah. Meski popularitas kandidat tinggi, tidak diimbangi dengan kesukaan pemilih yang tinggi pula. Sebaliknya, pemilih justru lebih suka pada lawan.


Ekonomi Politik


Jika popularitas dan kesukaan tampak ada pola antara incumbent yang menang dan gagal, tidak demikian dengan aspek penilaian terhadap kinerja incumbent. Secara teoritis, incumbent yang berhasil menang dalam Pilkada dinilai kinerjanya berhasil. Pemilih puas dengan kerja incumbent dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada di daerah. di daerah-daerah di mana incumbent menang, umumnya memang ditandai dengan kepuasan pemilih yang tinggi terhadap kerja incumbent.


Hal yang sama jika kita lihat pada penilaian pemilih terhadap kondisi daerah. Kondisi daerah mencerminkan penilaian pemilih terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh seorang kepala daerah. Penilaian atas kondisi ekonomi, politik, keamanan dan hukum yang baik mencerminkan penilaian pemilih terhadap keberhasilan incumbent.


Dari semua wilayah yang dianalisis, terdapat karakteristik yang sama. Incumbent yang menang selalu ditandai dengan keinginan pemilih untuk dipimpin kembali oleh kepala daerah. Sebaliknya incumbent yang gagal selalu ditandai dengan prosentase pemilih yang menginginkan incumbent menjadi kepala daerah kembali, kecil. Perlu dicatat, analisis dalam tulisan ini masih sederhana dan baru tarap permulaan. Perlu penelitian yang lebih mendalam untuk bisa menjelaskan secara lebih pasti faktor-faktor apa yang menyebabkan keberhasilan dan kegagalan incumbent dalam Pilkada.


Sumber: Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Edisi 02 – Juni 2007.


Pilkada Tangerang