Minggu, 19 Oktober 2008

Artis, Tokoh Lokal, atau Wajah Lama di Banten I

Penulis : Kennorton Hutasoit


DI daerah pemilihan Banten I, 38 parpol peserta pemilu memperebutkan sekitar 1,5 juta suara pemilih yang tersebar di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang untuk 6 kursi DPR.

Daerah pemilihan Banten I menjadi arena pertarungan sejumlah artis, tokoh intelektual, dan tokoh lokal yang diajukan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR oleh partai politik.

Ada perbedaan daerah pemilihan bila dibandingkan dengan Pemilu 2004. Pada waktu itu, Provinsi Banten terbagi menjadi dua daerah pemilihan. Banten 1 yang meliputi Serang, Pandeglang, dan Lebak memperebutkan 11 kursi. Sedangkan pada Pemilu 2009, Banten terbagi menjadi tiga daerah pemilihan.

PDI Perjuangan mengandalkan pelawak TB Dedi Suwandi Gumelar atau yang akrab dipanggil Miing di nomor urut 1. Sosok artis juga dijagokan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengajukan penyanyi Ahmad Zulfikar Fawzi yang lebih dikenal dengan nama Ikang Fawzi di nomor urut 1. Partai Demokrat menempatkan artis sinetron Jane Shalimar di nomor urut 6.

Penempatan artis tidak diikuti Partai Golkar di daerah itu. Partai berlambang beringin itu menjagokan tokoh lokal dan tokoh intelektual sebagai caleg. Di daerah tersebut, Golkar mengusung Ketua DPD Golkar Provinsi Banten Mamat Rahayu Abdullah di nomor urut 1. Mamat sudah teruji pada Pemilu 2004 dengan berhasil menjadi anggota DPR dari daerah Banten 1. Golkar juga mengajukan Ketua DPD Golkar Kabupaten Lebak Herry Djuhaeri sebagai caleg nomor urut 4.

Selain tokoh lokal, Golkar juga mengajukan peneliti Indonesian Institute for Civil Society (Incis) Tubagus Ace Hasan Syadzily sebagai tokoh intelektual dengan nomor urut 2.

Staf ahli Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Entjeng Shobirin maju sebagai caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan nomor urut 2. Partai berlambang Kabah itu juga menjagokan Bupati Pandeglang Achmad Dimyati Natakusuma di nomor urut 6.

Sejumlah wajah lama yang sudah menjadi anggota DPR juga masih diajukan sebagai caleg dari daerah pemilihan itu.

Ikang Fawzi berkeyakinan bisa meraup suara signifikan. Sebab, ia sudah berkeliling ke daerah untuk menghibur masyarakat. "Saya mendatangi masyarakat ke desa-desa sambil menghibur dengan gitar. Rakyat kan sudah susah, jadi mereka harus dihibur. Ini bentuk kepedulian saya kepada masyarakat sebagai artis, politisi, sekaligus putra daerah," katanya di Jakarta, kemarin.
Ikang juga sudah melakukan kalkulasi politik dan mempelajari peta politik di Banten I. "Setiap parpol punya pemikiran dan strategi. Saya putra daerah nomor 1 dari PAN. Saudara saya di sana banyak. Saya melakukan pola yang berbeda dengan parpol lain. Saya memperkuat hubungan interpersonal," katanya.

Sedangkan mengenai kehadiran Miing, menurut dia, tidak masalah. "Saya akan bertarung dengan artis lain di sana seperti Mas Miing. Tapi kami akan bertarung sehat, karena selama ini sesama artis memiliki hubungan baik," katanya.

Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Rully Chairul Azwar menjelaskan partainya lebih memilih kader dan intelektual sebagai caleg di Banten I. Menurutnya, Golkar sudah cukup dikenal, jadi tidak perlu menggunakan figur terkenal seperti artis.

"Kalau mengambil figur dari luar, berarti partai gagal melakukan kaderisasi. Kami yakin mempertahankan bahkan menambah perolehan kursi dengan menempatkan kader senior yang memiliki kedekatan dengan Banten I seperti Mamat Rahayu," katanya.

Sementara itu, Entjeng Shobirin mengaku tidak terlalu ngotot dalam berkampanye. Pasalnya, PPP tidak menerapkan sistem pemeringkatan perolehan suara dalam penentuan caleg terpilih.
"Karena masih pakai sistem nomor urut, tidak usah ngoyo karena nomor urut teratas yang menikmati. Kalau sistem suara terbanyak, orang harus bekerja keras untuk menguji akseptabilitas dirinya di masyarakat," katanya.(P-1)

ken@mediaindonesia.com

PEMILU 2009




Kesimpulan, Pemilu 2009 & Demokrasi

Menjadi sebuah pertanyaan yang cukup mendasar, apakah reformasi yang telah kita jalani selama kurang lebih 10 tahun terakhir adalah sesuatu yang telah gagal. Reformasi, yang tadinya dibangga-banggakan sebagai jalan terang dan pintu masuk kepada era baru pemerintahan yang mengutamakan rakyat dan mau mendengar segala keluhannya melalui lonceng pagi parlemen ternyata, menurut banyak orang adalah sistem yang gagal. Demokrasi itu mahal, Demokrasi itu bodoh, Demokrasi itu terlalu bebas, terlalu liar! Kata orang. Kembali menjadi satu pertanyaan, benarkah tuduhan akan keberhasilan Demokrasi di Indonesia ini benar adanya? Tergantung dari sudut pandang dalam memandang permasalahan, jawaban dari pertanyaan diatas bisa benar atau salah. Tapi apa sebenarnya dasar dari kesimpulan bahwa reformasi yang menghasilkan Demokrasi dan membebaskan rakyat dari rezim otoriter Soeharto telah dan hanya menghasilkan kegagalan?


Well, salah satu dasar yang jelas atas opini ini adalah banyaknya koruptor yang tertangkap. Menurut banyak orang, jaman Soeharto damai, kriminalitas lebih terkontrol, koruptor yang keluar masuk penjara hampir tidak ada, bisa dibilang setiap harinya televisi hanya mengabarkan berita yang menciptakan opini di luar negeri sedang terjadi keributan dengan skala massal sementara di Indonesia semuanya adem ayem. Gemah ripah loh jinawi, seperti senyum sang Smiling General Soeharto. Ada lagi yang mendasarkan kesimpulannya bahwa Demokrasi telah gagal ke mahalnya harga sembilan bahan pokok atau sembako. BBM, yang dalam 5 tahun terakhir telah naik tidak kurang dari dua kali dan seringnya terjadi kelangkaan keperluan dasar membuktikan bahwa pemerintah saat ini telah gagal dalam menjalankan fungsi micro-managementnya. Mereka tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tidak seperti Soeharto, yang tiap minggunya rajin menyapa kaum menengah kebawah lewat acara Dari desa ke Desa dan pidatonya di Istana yang bisa serentak memberhentikan seluruh tayangan televisi. Kaget, mereka bahwa pemerintah kini hanya muncul di TV untuk mengomentari isu-isu negatif dan isu positif yang pada akhirnya akan dikomentari negatif juga. Jujur, kadang kita kelewat cepat menelan mentah-mentah air rangkuman yang setiap harinya dikabarkan di televisi. Kalau TV dengan tendensinya menciptakan suatu isu sebagai sesuatu yang negatif, maka ya, ia adalah jelas negatif. Kalau TV melakukan pemberitaan yang sifatnya netral atau positif maka ia bisa berarti positif atau negatif. Jarang dapat kita temukan komentar yang muncul di TV dari rakyat lewat hubungan hotline sebagai komentar yang dalam, penuh pemikiran dan kebijaksanaan. Kebanyakan adalah ungkapan emosi, tumpahan masalah dan perkiraan atau interpretasi yang berlebihan. Semakin sering seseorang muncul di TV dengan imej positif, maka ia adalah seorang yang positif.


Contoh yang paling jelas bisa kita lihat dari iklan salah satu kandidat Capres dari satu partai politik yang menayangkan iklan berkali-kali dalam sehari dengan teks penuh retorika yang sangat jelas adalah hapalan. Lucunya, retorika ini betul-betul mentah, apalagi ditambah dengan kehadiran sang pengisi suara yang membisikkan nama partai berkali-kali ditengah kalimat, seakan ingin menciptakan kesan magis. Sepertinya saking inginnya si kandidat menjadi Presiden, ia memenuhi satu spot iklan itu dengan list issue yang akan ia selesaikan saat ia menjadi Presiden. Pembahasannya pendek dan cepat, walau sama sekali tidak padat. Karakternya muncul justru seperti pengemis setengah gila dengan safari berharga jutaan rupiah yang muncul tiba-tiba berteriak kalau ia bisa membuat orang terbang dalam sekejap tanpa menjelaskan caranya. Wow. Bayangkan bagaimana excitednya para penonton yang memang mendambakan agar bisa terbang selama bertahun-tahun. Mereka sekejap percaya. Padahal belum dijelaskan caranya. Mereka juga tidak ingin tahu apa saja yang sebenarnya sudah dilakukan si kandidat di pengalaman masa lalunya. Apa memang di masa lalu ia mamnpu menerbangkan orang ke angkasa atau mengirim darah muda masa depan ke alam baka?


Cerita mudahnya rakyat kita dibohongi oleh penampilan dan retorika memang bukan barang baru. Bahkan Presiden pun, dalam langkahnya untuk mendapat popularitas dan “pengalaman” untuk memenangkan pemilu berikutnya, bisa dibohongi oleh “penemu” jadi-jadian yang ternyata memang cuma jadi-jadian. Dan woop, secepat kilat Presiden disalahkan, semua orang disalahkan, minta ganti rugi, padahal sendirinya sudah gagal mempelajari dan menciptakan kesimpulan yang benar. Salah duga, salah kata, kena tipu. Bukan maksud untuk menyalahkan petani yang mungkin dalam kenyataan tekhnisnya memang sudah rumit hidupnya dengan kesulitan hingga menginginkan sesuatu yang cepat dan mudah, tapi kadang kita harus bertanggung jawab atas keputusan kita sendiri. SBY-JK kini disumpah-sumpah bagai kambing bau yang berlari ditengah barisan massa, lalu kenapa mereka mendapat suara mayoritas saat pemilu kemarin? Bukankah kita semua harusnya sudah tahu bahwa dua orang ini di masa lalu bukanlah orang yang memprioritaskan rakyat sebagai segalanya? Media pun sepertinya tidak pernah mau memasuki sisi rumit dari mempelajari masa lalu seorang kandidat. Mungkin karena takut kehilangan penonton yang malas melihat kerumitan ditengah hidup yang sudah penuh kerumitan, tapi memberitakan salah satu kandidat tidur dirumah nelayan tidak akan membantu rakyat untuk menciptakan penilaian yang fair. Ia hanya menimbulkan simpati, meminta darah popularitas untuk diminum! Ini membuat kampanye pemilu 2009 seperti ajang pencarian idola yang tidak mementingkan isu, hanya menarik simpati rakyat. Jelas, bahwa kita semua selalu terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan berdasarkan emosi dan simpati, bukan berdasarkan logika dan data. Padahal yang kita akan pilih disini bukan sarung guling, tapi Presiden.


sumber: setengahmateng.com

PEMILU 2009


Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.


Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.


Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.


Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.


Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.


Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.


Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.


Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.


Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.


Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.


Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.


Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!


PEMILU 2009




Membaca Potensi Golput pada Pemilu 2009

Pengantar

Dari hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) diketahui tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih atau lazim disebut golongan putih (golput) semakin banyak, bahkan melampaui perolehan suara pemenang pilkada. Wartawan SP Alex Madji, Kiblat Said, dan Aries Sudiono, menuliskan laporan seputar fenomena golput menjelang Pemilu 2009.


Pilkada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sudah digelar. Meskipun, pilkada Jawa Timur terpaksa harus melalui dua putaran karena tidak ada satu pun pasangan calon yang meraih suara minimal 30 persen untuk menjadi pemenang, seperti disyaratkan undang-undang. Tetapi yang menarik dari pilkada-pilkada itu, juga di daerah-daerah lain, adalah bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. Bahkan, persentase masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih atau golput lebih tinggi dari pasangan calon terpilih.


Contoh paling anyar adalah pilkada Jawa Timur. Pada putaran pertama angka golputnya mencapai 39,20 persen. Sedangkan, pasangan peraih suara terbanyak, berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga, yakni pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf hanya berkisar 25-26 persen. Sedangkan urutan keduanya Khofifah Indarparawansa-Mudjiono hanya 25 persen. Keduanya diprediksi maju pada putaran kedua.


Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Sementara itu, pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dipilih 43,44 persen pemilih.


Dalam pilkada Jawa Barat, angka golput mencapai 9.130.604 suara. Sementara Ahmad Heriawan-Dede Yusuf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dua pasangan lainnya, Agum Gumelar-H Nu'man Abdul Hakim (Aman) meraih 6.217.557 suara (34,55 persen) dan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da'i) memperoleh 4.490.901 suara (24,95 persen).


Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Fauzi Bowo-Prijanto yang dicalonkan oleh banyak partai politik, termasuk Partai Golkar dan PDI-P, hanya meraih 2.010.545 atau 35,1 persen suara. Sedangkan pesaingnya yang dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun dan Dani Anwar hanya meraih 1.467.737 atau 25,7 persen suara.


Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 persen. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho (Syampurno) yang menjadi pemenang hanya meraup 28, 31 persen suara. Sedangkan pasangan peraih suara terbanyak kedua, yakni pasangan yang diusung PDI-P Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben) meraih 21,97 persen suara.


Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. Pilkada NTT dimenangi Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay, pilkada Bali dimenangi Made Mangku Pastika-Anak Agung Ngurah Puspayoga, dan pilkada Maluku dimenangi mutlak oleh pasangan Karel Albert Ralahalu-Said Assagaff


Amburadul


Tingginya angka golput dalam pilkada itu disebabkan oleh macam-macam faktor. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominan adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Persoalan dasarnya ada pada data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang dibuat pemerintah. DP4 itu diserahkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota memverifikasi data itu, kemudian menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Ternyata, banyak DP4 yang diserahkan itu tidak valid. Berkali-kali, data itu dikembalikan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tetapi tidak ada perbaikan signifikan.


Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen.


Jeirry mencontohkan dalam pilkada Jawa Timur, berdasarkan pemantauan JPPR di Kabupaten Banyuwangi, ada sebuah TPS yang seluruh pemilihnya fiktif. Orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata sudah lama pindah, ada yang sudah meninggal, dan sedang ke luar kota. Akibatnya, tidak satu pun pemilih yang memberikan suara di TPS itu. Yang memilih di situ hanya petugas TPS.


Contoh lain, dalam pilkada di Sumatera Utara. Jeirry menemukan tumpukan kartu pemilih yang tidak terbagi. "Artinya kan orang-orang itu tidak mungkin memilih," ujarnya.


Jeirry yakin, bila data awalnya akurat, maka DPS dan DPT juga akan akurat. Pada akhirnya, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga akan tinggi.


Meski demikian, dia juga mengakui adanya faktor apatisme dari masyarakat terhadap pilkada. Tetapi, menurut dia, persentasenya sangat kecil.


Kesaksian yang sama juga disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Berdasarkan pembicaraannya dengan sejumlah anggota KPU provinsi, disimpulkan bahwa tingginya angka golput dalam pilkada karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Dan itu semua berawal dari data yang diserahkan pemerintah ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.


Apalagi, metode pendaftarannya menggunakan sistem daftar pemilih aktif, di mana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, bila belum tercantum dalam DPS. Sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu.


Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh, masa bodoh, dan apatis, dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.


Sedangkan, HM Darwis, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyatakan seseorang yang tak menggunakan hak suara, tidak selalu berarti golput. Penyebabnya, justru bersumber dari kelalaian pemerintah saat melakukan pendataan pemilih.


"Ada orang mau memilih tetapi namanya tak terdaftar, ada yang namanya terdaftar tetapi orangnya tidak ada, bahkan ada yang sudah meninggal. Semua itu bersumber dari ketidakakuratan data dari Dinas Kependudukan kabupaten dan kota," ujarnya.


Pemilu 2009


Tingginya angka golput pada hampir seluruh pilkada di Indonesia itu, potensial terjadi lagi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden 2009. Jeirry melihat, proses pendaftaran pemilih untuk pemilu 2009 tidak beda dengan proses pendataan pemilih dalam pilkada di berbagai daerah itu. KPU mendasarkan diri pada data yang diserahkan pemerintah. Sementara data itu tidak valid. Padahal, data pemerintah itu menjadi penentu valid-tidaknya data pemilih sementara dan pemilih tetap yang akan dibuat KPU.


"Kalau kita tanya ke KPU, mereka bilang data yang diterima dari Depdagri tidak valid. Tetapi kan KPU kita ini tidak mau ngomong itu ke publik," kata Jeirry.


Belum lagi sosialisasi KPU tentang pendaftaran pemilih, sampai saat ini masih sangat sepi. Tidak ada gaungnya sama sekali. Masyarakat tidak mendapat informasi sepotong pun tentang bagaimana, di mana, dan kapan masyarakat harus mendaftarkan diri sebagai pemilih untuk Pemilu 2009. Padahal, pengumunan DPS tidak lama lagi diumumkan. "Nah, coba kita tanya masyarakat, siapa yang tahu sedang melakukan pendataan pemilih, pasti tidak ada yang tahu. Apalagi sosialisasi KPU tidak ada sama sekali. Sementara waktu perbaikan DPS oleh masyarakat hanya satu minggu," tuturnya.


Dengan dua fakta itu saja, baik Jeirry maupun Mulyana, menyimpulkan bahwa angka golput pada pemilu 2009 akan sangat tinggi. Kecuali, kalau KPU cepat sadar dan segera membenahi sistem pendataan pemilih dan mengintensifkan sosialisasi. Bila masih seperti saat ini, kesimpulan seperti itu akan valid.


Senada dengan mereka, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Imam Suprayogo memprediksi golput akan mencapai lebih dari 35 persen pada Pemilu 2009, jika semua pihak tidak menyosialisasikan pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Sosialisasi itu bukan hanya dengan berpidato, namun dengan teladan. "Kalau mayoritas rakyat merasa pemilu itu memilih pejabat, dapat diprediksi golput akan menggelembung, karena mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih. Beda lho kalau rakyat diminta memilih pemimpin. Tanpa diminta, mereka pasti datang berbondong-bondong, karena mereka memang butuh pemimpin, bukan butuh pejabat," ujarnya.


Untuk menekan golput, semua pihak, baik pemerintah, KPU, partai politik, serta seluruh elemen masyarakat sipil, harus bekerja keras. KPU harus gencar melakukan sosialisasi dam memastikan bahwa semua pemilih sudah terdaftar dalam DPS. Karena itu, KPU jangan lagi menggunakan sistem daftar pemilih aktif. Sebab di tengah situasi rakyat yang mengalami kejenuhan politik, sistem seperti itu tidak berjalan. Petugas KPU harus aktif mendatangi masyarakat, kapan dan dimana pun mereka berada.


Selain itu, partai politik juga harus memobilisasi pendukungnya untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Partai politik harus memastikan konstituen dan masyarakat pada umumnya terdaftar sebagai pemilih. Apalagi, dalam undang-undang yang baru, diatur bahwa DPS sebelum ditetapkan sebagai DPT harus diserahkan ke partai politik peserta pemilu. Dengan aturan seperti itu diharapkan, bila dalam DPS ada konstituen partai yang belum terdaftar, partai politik bersangkutan segera melapor ke petugas KPU untuk kemudian didaftarkan sebagai pemilih. Apalagi, pengurus partai politik itu ada sampai tingkat kecamatan.


Hanya dengan memperbaiki DP4, sosialisasi yang gencar, mengubah sistem pendaftaran pemilih oleh KPU, pendidikan politik dan mobilisasi masyarakat dan konstituen oleh partai politik peserta pemilu serta oleh berbagai elemen masyarakat sipil lainnya agar terdaftar sebagai pemilih, maka partisipasi pemilih pada Pemilu 2009 bisa meningkat, dibanding pilkada-pilkada di seluruh Indonesia, terutama pilkada di Jawa. Usaha-usaha seperti itu diharapkan mampu menggairahkan masyarakat terlibat dalam pesta demokrasi paling akbar, sekaligus dapat menekan angka golput pada Pemilu 2009. Semoga. *


sumber: suarapembaruan.com

PEMILU 2009

Meragukan Kualitas Legislatif Hasil Pemilu 2009

“Tulisan ini bukan sebuah pengingkaran atas hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, namun lebih kepada pengkritisan atas inkonsistensi profesi, sekiranya politisi kita kategorikan sebagai profesi. Karena kami percaya profesi apapun selalu membutuhkan proses untuk melahirkan skil profesi yang matang. Karena sejujurnya hadirnya fenomena penyimpangan yang dilakukan partai politik dalam merekrut calon anggota legislatif, yang lebih mengutamakan popularitas ketimbang kualitas. Serta turut bersimpati kepada kawan-kawan aktivis, tokoh LSM, OKP dan Ormas yang telah berproses puluhan tahun karena tuntutan profesionalisme pilihan karir, namun pada akhirnya tidak terpakai dalam perekrutan calon politisi senayan atau diabaikan karena partai politik sedang latah untuk lebih memilih artis “pelawak dan pesohor sinetron.

Pemilu 2009, adalah pemilu yang diawal persiapan perhelatannya telah melahirkan banyak kontroversi, menarik perhatian publik, fenomena yang mengusik atau mungkin bisa dikatakan anomali. Mulai dari pra seleksi anggota KPU yang menendang figur-figur ternama dan bahkan anggota KPU incumbent, sampai muncul gugatan salah satu pengamat politik atas tidak transparannya pola seleksi calon anggota KPU. Lalu kita kembali dikejutkan dengan terpilihnya anggota KPU dan muncul persoalan terkait dengan penundaan pelantikan salah satu anggota KPU. Hingga kinerja KPU perlahan-lahan semakin diragukan bakalan bisa mulus mengawal pemilu, entah karena minim pengalaman pada level nasional atau memang lemah kinerjanya.

Tidak berhenti sampai disitu, produk calon legislatif yang dimunculkan dari tiap partai politik belakangan juga menuai banyak kritikan dan cercaan. Munculnya banyak kalangan artis yang tampil menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009, bagi banyak kalangan patut dipertanyaan kesiapan partai dalam mencetak kader-kader partai. Minimnya pengalaman berorganisasi dan pengalaman politik para artis yang banyak menempati nomor urut jadi dalam DCS anggota DPR RI pemilu 2009 melahirkan pesimisme baru akan produk legislatif 2009 yang bakalan diisi oleh kalangan pelawak, pesohor dan para pemain sinetron.

Fakta teranyar dan sungguh ironis merujuk pada hasil suvey LSI yang dikutip dari (RM dan Berpolitik.com) popularitas politisi ternyata masih jauh dibawah caleg artis yang nota bene adalah pelawak, pemain sinetron dan foto model. Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum misalnya, masih berada di bawah pelawak Eko Patrio.

Dari hasil survei tersebut, popularitas Eko yang jadi caleg dari PAN ini mengantongi 5,6 persen, Tifatul Sembiring 1,5 persen, dan Anas Urbaningrum 1,9 persen. Selebihnya, Ketua Umum PBB MS Kaban 1 persen, Pramono Anung 2,5 persen, Muhaimin Iskandar 2,9 persen. Sedangkan Ferry Mursidan Baldan menempati posisi buncit dengan tingkat popularitas 0,1 persen.

Sangat tragis nasib para aktivis kepemudaan, mahasiswa dan perempuan yang berproses begitu lama, melewati berbabagai tahapan proses, mempelajari kitab-kitab ideologi, stratag, metode persidangan, hingga menuju kematangan berpolitik dan menguasai berbagai persoalan dan dinamika kebangsaan, namun kalah bersaing karena popularitas bisa menjadi faktor yang lebih penting ketimbang kompentensi dalam mengarahkan perilaku pemilih.

Pada akhirnya Curiculum vitae menjadi tidak penting, rakyat sakit mata membaca kurikulum vitae, rakyat lebih suka melihat pelawak. Terbukti Anas Urbaninggrum mantan Ketua Umum PBHMI (periode 1997-1999) yang menjadi kebanggaan kader-kader HMI tidak populer dibanding eko Patrio-sang pelawak.

Kalau demikian situasinya kita pantas mempertanyakan kualitas produk pemilu legislatif 2009 yang meraup anggaran triliunan rupiah. Pesta rutin lima tahunan rakyat ini tidak menjanjikan harapan, justeru melahirkan pesimisme yang dalam. Kami meragukan kemampuan anggota ledislatif hasil pemilu 2009 untuk memikirkan nasib rakyat karena kualitas caleg yang tidak jelas latar belakang karir politiknya. Memang benar kata Rasulullah Muhammad SAW, jika sesuatu diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya. Dapat ditebak bahwa udah pasti legislatifnya bakalan amburadur, kalau gedung senayan isinya para pelawak dan pemain sinetron serta caleg dari latar belakangan lainnya yang selama ini tidak bersentuhan dengan substansi persoalan politik kebangsaan.

Coba kita simak petikan komentar Pakar komunikasi politik UI Effendi Ghazali mengatakan, jika ingin menjadi wakil rakyat, para politisi sekarang harus rajin mejeng di media massa, dan menjadi selebriti politik. "Selebriti politik itu artinya orang yang terus-menerus tampil di koran, televisi, dan media lainnya dengan menyuarakan isu tertentu yang menarik perhatian publik," katanya. Namun, Effendy khawatir dominasi kalangan artis dalam perolehan suara pada Pemilu 2009 ini dikhawatirkan akan membuat kualitas DPR menurun, meskipun ada caleg artis yang memiliki pendidikan tinggi.

Kalau sudah demikian faktanya, nampaknya semakin lama nasib bangsa ini semakin tidak jelas arahnya. (Allahu allam ………..)


Jay Paranddy
Aktivis Barisan Muda Merah Putih

PEMILU 2009



Kiat Sukses Menjadi Caleg 2009

JAKARTA, KAMIS - Para calon legislatif (caleg) harus mempunyai strategi baru dalam berkampanye dan dianjurkan untuk melakukan terobosan dalam berkomunikasi selama kampanye. Oleh karenanya, ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan para caleg agar para pemilih menangkap pesan inti yang disuarakan. Demikian diungkapkan Managing Partner Veloxxe Consulting, AM Putut Prabantoro, praktisi komunikasi dan konsultan PR, di Jakarta, Kamis (16/10).

Pernyataan Putut Prabantoro ini dilatarbelakangi oleh banyaknya partai, caleg, dan calon anggota DPD yang bertarung dalam Pemilu 2009. Pesta demokrasi Indonesia ketiga, katanya setelah Reformasi ini, katanya terhitung ada 44 partai, 10.073 caleg dan juga ditambah 1132 para calon anggota DPD.

"Dalam kondisi seperti ini, kesuksesan pemilu kali ini masih merupakan tanda tanya besar mengingat ancaman para pemilih Golput cukup banyak. Menurut data yang ada Golput dalam pilkada berkisar 25% hingga 45%. Bahkan menurut perkiraan Gus Dur dalam pernyataannya pekan lalu, Golput akan mencapai 70%," katanya.

Putut Prabantoro menjelaskan bahwa demokrasi di dunia itu menjiplak budaya demokrasi bangsa Romawi. Ada peribahasa bangsa Romawi yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana pemilu itu harus dilihat. “Humana vita est alea, in qua vincere tam fortuitum quam necesse perdere – hidup manusia itu seperti permainan dadu, di mana kemenangan merupakan suatu kebetulan dan kekalahan menjadi sebuah keharusan.”

Dengan jumlah partai dan para caleg peserta pemilu sedemikian besar, para calon harus berhitung seberapa besar peluang kemenangannya. Faktor pertama yang harus diketahui oleh para caleg sebelum berkampanye adalah sistem perhitungan suara yang digunakan partai yakni nomor urut atau suara terbanyak.

Jika nomor urut yang digunakan, sistem ini akan melemahkan semangat para caleg ketika harus bertempur untuk partainya. “Masukan yang saya dapatkan di lapangan adalah, para caleg tidak akan mengikuti pemilu jika nomor urut sebagai sistem perhitungan suara. Para caleg melihat nomor urut hanya menempatkan para caleg dengan nomor urut besar sebagai poin getter (pengumpul suara/nilai) bagi nomor urut kecil atau di atasnya,” jelas Putut Prabantoro.

Menurut mantan wartawan Surya Surabaya itu, faktor-faktor seperti branding partai - personal branding - kesesuaian antara daerah asal dan dapil - media komunikasi yang digunakan - profil pemilih (dan bukan profil caleg) merupakan tantangan bagi para caleg. "Personal branding adalah yang paling utama untuk dikerjakan. Pemetaan yang akurat terhadap faktor-faktor tersebut akan sangat membantu para caleg dalam sukses berkampanye," katanya. Ditambahkan, nomor urut pada sistem suara terbanyak, tidak memberi dampak yang cukup berarti karena semua caleg mempunyai kesulitan dan kans yang sama.

Visi dan Misi Nyaris Mirip

Target utama dalam berkampanye adalah bagaimana para calon pemilih mengingat nama caleg, nomor urut, dan nama partai. Sementara itu, slogan, visi, dan misi tidak perlu ditekankan karena para pemilih tidak akan memikirkan slogan yang dibuat para caleg yang hampir mirip semua. Oleh karena itu, menurut pengamatannya, dari keseluruhan faktor yang harus ditaklukan, cara dan jenis media berkomunikasi akan sangat menentukan pencapaian target dalam berkampanye.

Berdasar pengamatan di lapangan, para caleg masih menggunakan pola lama dalam berkomunikasi, seperti spanduk dan sms. Dengan perubahan peta jumlah partai peserta pemilu dan jumlah caleg seharusnya harus diubah pola dan media komunikasi yang digunakan.

“Para caleg harus pandai menentukan media komunikasi yang tepat untuk mengedukasi pemilih agar mengingat nama caleg, partai dan nomor urut. Untuk pemilu 2009, era spanduk sudah selesai. Spanduk hanya diingat sesaat dan tidak meninggalkan ingatan (memori) yang mendalam bagi para pembacanya yang sebagian besar adalah pelintas jalan dengan kendaraan bergerak. Pembaca tidak mungkin diedukasi untuk mengingat karena pemasang spanduk tidak sedikit dan para pembaca sebagian terkonsentrasi pada jalan,“ ujar Putut Prabantoro.

Hal yang sama juga terjadi pada alat komunikasi melalui Short Message Service (SMS), Putut Prabantoro menambahkan, juga tidak bisa digunakan sepenuhnya. Bagi para caleg yang tempat tinggal adalah sama dengan daerah pilihan (dapil), ada kemungkinan untuk menggunakan SMS. SMS itu hanya salah satu alternatif komunikasi yang bisa digunakan sebagai tambahan, namun bukan yang pokok. Jika memang dipilih untuk digunakan, SMS memiliki kelemahan karena nomor yang dituju adalah acak sehingga tidak terjamin keberhasilannya dan efektifitas media ini sangat kurang dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Pada pokoknya, strategi yang dipilih harus benar-benar tepat sasaran dan tidak dapat menggunakan benchmarking atau duplikasi pola komunikasi yang digunakan caleg lain. Masyarakat pemilih kota dan desa berbeda cara berkomunikasinya dan media yang digunakan.


ABI
Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network
sumber: kompas.com

PEMILU 2009




Menghapus Pilkada Langsung

Oleh : Eko Prasojo

Dikutip dari Kompas, Selasa, 5 Februari 2008

Polemik tentang pemilihan kepala daerah langsung muncul kembali.

Jika pada pembahasaan naskah akademik UU No 32 Tahun 2004, polemik terkait pertanyaan apakah pilkada langsung dapat meredam politik uang selama 2001-2004, kini debat terarah pada mahal dan rendahnya kualitas pilkada. Maka, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi mengusulkan agar pilkada dihapus (Kompas, 26/1/2008).

Demokrasi itu lokal

Pemilihan kepala daerah langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Apalagi, sebenarnya demokrasi bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah memperkuat legitimasi demokrasi.

Meski demikian, di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri. Ia ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi politik lokal yang amat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, jeleknya sistem pencatatan kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) sering menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung.

Manor dan Crook (1998) menyebutkan, dalam banyak hal pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan antara mayor (kepala daerah) dan counceilor (anggota DPRD) di negara berkembang menyebabkan praktik pemerintahan kian buruk. Faktor utamanya adalah karakter elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang rendah, dan tidak adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah.

Faktor-faktor itu terefleksi di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi. Akibatnya tidak jarang data kependudukan dimanipulasi, proses penyelenggaraan pilkada tidak obyektif dan tidak independen.

Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dari data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi pilkada menyebabkan praktik politik uang dalam pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem pilkada diperberat kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan betapa sulitnya menghasilkan pilkada berkualitas dan diterima semua pihak.

Demokrasi ”versus” efisiensi

Tuntutan untuk menghapus pilkada langsung bukan tanpa alasan. Di negara-negara demokrasi modern yang memiliki tradisi pemilihan langsung, penyelenggaraan pemilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkret, pilkada langsung di negara-negara itu dilakukan Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan memadai.

Dengan cara itu, ada dua manfaat efisiensi. Pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini kontradiktif terjadi di Indonesia, bahwa biaya KPUD menjadi amat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penetapan pemenang.

Kedua, pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk penyelenggaraan. Mahalnya pilkada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus, mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang berulang tiap pemilihan, sampai kampanye jorjoran yang dilakukan parpol dan calon. Dengan kata lain, pilkada adalah ”proyek besar”, harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada.

Logika berpikir proyek dalam pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran penyelenggara pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, birokrasi di pusat dan daerah, serta masyarakat pemilih. Proyek ini berlanjut sampai esensi dan tujuan kemenangan pilkada. Tidak heran jika partai politik dan aktor politik rela mengeluarkan miliaran rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi pilkada.

Uang ini digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Tentu saja tidak ada yang gratis dalam pesta akbar pilkada. Biaya yang dikeluarkan ini harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada. Jadi, apa yang dikhawatirkan banyak pihak tentang mahal pilkada mendekati kebenaran. Pilkada bukan hanya mahal dari sisi biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung APBD, tetapi juga mahal dari ongkos yang harus dibayar masyarakat dalam arisan proyek bagi investor politik. Cukup valid untuk mengatakan pilkada langsung memboroskan uang negara dan belum memberi hasil optimal.

Meski demikian, saya kurang sependapat jika pilkada langsung dihapus. Perubahan kebijakan yang radikal dapat menimbulkan situasi chaos. Yang harus dilakukan, mengubah cara pandang pilkada sebagai pesta biasa.

Untuk jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan penyelenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik, dan masyarakat pemilih.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)



Memahami Eksistensi Golput Dalam Demokrasi

Oleh: GANDUNG ISMANTO

Tertarik dengan judul berita “Ketua MUI Serang Haramkan Golput” sebagaimana diberitakan harian ini akhir Juli lalu (31/07), serta pernyataan serupa dari KH. Hasyim Muzadi saat kunjungannya ke Serang pada waktu yang berdekatan. Tanpa bermaksud ”menghakimi” pernyataan kedua Ulama yang saya cintai tersebut, penulis merasa perlu untuk menghadirkan perspektif lain guna memenuhi tanggung jawab untuk melakukan check and ballances dalam kehidupan politik dan demokrasi kita.

Perspektif Sejarah

”Tiada asap tanpa api”, demikian kira-kira pepatah yang tepat untuk memahami eksistensi golput. Golput tidak terjadi secara serta merta, tanpa ada penyebabnya. Inilah fakta empiris yang harusnya kita rujuk untuk melihat fenomena golput itu secara komprehensif, tanpa terjebak pada sikap salah-menyalahkan, apalagi haram-mengharamkan. Betapapun benar bahwa tindakan golput itu cenderung mubazir karena tidak akan menghasilkan perubahan apapun, namun eksistensinya yang kontekstual seiring dengan dinamika perjalanan sejarah anak bangsa itu tidak dapat dan tidak boleh digeneralisir sebagai salah keseluruhannya.

Golput telah ada sepanjang sejarah politik bangsa-bangsa, kendati dengan alasan dan konteks yang berbeda-beda. Dan karena perbedaan konteks inilah maka masyarakat harus jeli dan obyektif mensikapi fenomena golput, khususnya hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan golput di tiap periode Pemilu. Pada Pemilu 1955, di tengah maraknya kehidupan kepartaian di Indonesia, golput muncul karena didorong oleh perseteruan yang cenderung saling intimidatif antara kaum unitaris dan kaum federalis.

Sementara golput pada tahun 80-an hingga 90-an, lebih dilatarbelakangi karena adanya “paksaan” yang sistematis untuk memilih Golkar sebagai partai pemerintah. Akhirnya gerakan golput menjadi pilihan bagi orang-orang yang takut memilih partai lain di luar Golkar. Golput pada era ini lebih dimotivasi oleh semangat perlawanan terhadap rejim otoriter, yang tidak memberi ruang gerak bagi masyarakat untuk berekspresi, berpolitik dan bersikap beda. Dan semangat ini tetap mewarnai gerakan golput setidaknya hingga akhir era 90-an. Sedangkan, golput pada era pasca Orba cenderung bukan lagi disemangati oleh perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, melainkan oleh kekecewaan yang mendalam terhadap sikap para pemimpin pemerintahan, para elite politik dan partai yang dinilai mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Beberapa kasus “pembangkangan” dan eksodus kader partai tertentu ke partai lain atau membentuk partai baru – yang pada Pemilu 1999 mencapai 48 partai - dapat menjadi indikasi hal tersebut.

Demikian pula golput pada Pemilu 2004 yang secara umum lebih dipicu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah yang dianggap tidak mampu memperbaiki nasib rakyatnya. Di samping itu, terjadinya polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat pun mendorong terjadinya golput atas dasar simbiosis antara patron dan client-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Di samping itu, secara empirik terdapat pula fakta bahwa sebagian masyarakat kita sangat loyal pada partainya, hingga sukar beralih ke partai lain.

Kekecewaan kepada pemimpin dan elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan kalaupun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang bersifat laten. Budaya patron-client yang masih sangat kuat serta tipologi budaya politik karena ideologi “tidak memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Rasanya tidak sreg bagi orang PDI-P untuk memilih pindah ke Golkar. Bahkan di antara partai islam sekalipun, bagi orang PKB secara psikologis bukan persoalan mudah mau menyeberang ke PAN atau PPP. Begitu pula sebaliknya, sangat sulit orang yang darahnya PAN beralih ke PKB. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Di tengah fenomena inilah maka – di samping golput – muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging voters, yang beberapa diantaranya cenderung kritis, non-ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saatnya mereka tidak menemukan pilihan, mereka cenderung menjadi golput oleh sebab ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayainya untuk membawa perubahan.
Fenomena di atas tentu menjelaskan perilaku pemilih dalam konteks Parpol, yang tentu sangat berbeda dengan Pilkada yang lebih merupakan kontestasi figur daripada parpol. Itulah sebabnya kenapa pilihan pada parpol tertentu hampir selalu tidak berkorelasi dengan pilihan pada figur calon kepala daerah tertentu. Dan karena fakta inilah maka secara empiris golput dalam Pilkada seringkali unpredictable karena menyangkut apresiasi subyektif pemilih terhadap calon yang dikenal baik track record-nya.

Perspektif Teori

Dalam teori politik, golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Karena essensi filosofis inilah maka demokrasi – yang bersendi kedaulatan rakyat, dan yang setiap orang legally equal hak-hak politiknya – memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk memilih itu.

Dan karena demokrasi meng-agungkan vox populii sebagai vox Dei maka menjadi golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Ya, hanya gerakan moral, karena hanya itulah yang mampu dilakukan rakyat kebanyakan.

Dengan demikian, harusnya para pemimpin membuka mata hatinya manakala menemukan kenyataan golput, berapapun besarnya. Karena golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini: (1) perlawanan terhadap rejim; (2) ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada; (3) kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem; serta (4) putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka. Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.

Dalam konteks sosiologi politik, dijelaskan empat sebab sikap golput, yaitu: (1) apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya; (2) sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah, dsb., sehingga mereka cenderung hopeless; (3) alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa; dan (4) anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.

Tanpa bermaksud menafsirkan, penulis meyakini bahwa kisah yang diceritakan dalam Surah Al-Kahfi ayat 9-26, merupakan manifestasi dari keimanan dan kepasrahan total kepada Allah atas kesadaran akan ketidakmampuannya untuk melawan, mengubah, atau sekedar untuk hidup bersama sistem yang kufur dan dibawah pemerintahan yang korup dan dzalim. Dan di tengah kesadaran itu, mereka memilih ‘golput’ dengan cara menghindari dan menjauhi sistem dan kehidupan yang kufur itu.

Tak pelak lagi, kendati dengan konteks yang berbeda, menjadi golput itu sangat di-halal-kan, kendati tetap saja membutuhkan pemikiran mendalam guna dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan legal. Dengan kata lain, golput tidak boleh dilakukan karena dendam, kecewa, maupun alasan-alasan personal lainnya sehingga menjadi anarchy. Golput hanya boleh dilakukan di tengah ketiadaan celah untuk melakukan perubahan yang lebih baik, termasuk pula ketiadaan pilihan yang lebih baik kendati diantara alternatif pilihan yang buruk.

Dalam jangka pendek tindakan golput memang sia-sia karena tidak mengubah apapun, namun dalam jangka panjang justru menjadi bagian penting dari pendidikan politik menuju ke tingkat kematangan berpolitik dan berdemokrasi (maturity). Golput adalah salah satu instrumen gerakan moral rakyat yang dilakukan dengan cara mengekspresikan ekspresinya dengan tidak berekspresi (silent movement). Dan harusnya, tanpa harus menunggu menjadi silent majority, pemimpin dan elite politik harusnya mampu membuka mata, hati, dan telinganya untuk berintrospeksi guna memahami gejala public distrust dan mass disobedience ini guna lebih mengabdikan dirinya bagi sebesar-besar kemaslahatan rakyat. Kalaupun ini tidak terjadi, yakinlah bahwa golput tidak pernah menjadi sia-sia di mata Sang Maha Penguasa. (*)

Penulis, Dosen FISIK Untirta yang pemerhati sosial politik

Dicari Legislator Berkarakter

Oleh Bachtiar Aly

Masa kampanye pun telah dua minggu berlalu. Sebagian masyarakat keheranan karena ternyata kampanye tidak “semeriah” dulu. Mereka tahunya kampanye adalah ajang dangdutan dan hura-hura.

Sebagian lain acuh tak acuh dengan yang disampaikan. Sementara para pengamat sibuk berteriak tentang kekecewaannya atas ketidakmampuan partai politik (parpol) mengemas kampanye yang cerdas. Format kampanye berdasarkan UU No 10 Tahun 2008 sudah cukup menjelaskan bahwa kampanye Pemilu 2009 lebih memberi aksentuasi pada kampanye yang bersifat dialogis dengan khalayak yang terbatas, tapi dapat dilakukan berkali-kali.

Hadirnya 34 parpol lama dan baru telah menyemarakkan arena demokrasi kita. Harapan mempertunjukkan pertarungan yang sportif pun dibebankan di pundak mereka.Masyarakat tidak ingin parpol sikut-sikutan, apalagi membantai lawan politiknya dengan kampanye negatif.

Bagi pers yang meliput tentu harus jeli dan cerdik sehingga peliputannya jangan sampai menjadi alat politik kelompok tertentu yang dengan tangan pers melakukan pembunuhan karakter (character assassination). Di pihak lain pers tak dapat disalahkan apabila ia memberitakan ke publik tentang cela seorang tokoh yang tidak memiliki karakter terpuji.

Ajang Para Caleg

Kampanye pun bukan hanya gawean parpol. Calon anggota legislatif (caleg) mulai sibuk kasak-kusuk agar sukses dicoret (dulu dicoblos).Mereka menawarkan dirinya kepada masyarakat sebagai pemimpin yang dapat membawa suara mereka ke Senayan. Para caleg ini harus sadar benar bahwa seorang anggota legislatif–– posisi yang mereka impikan––adalah pemimpin.

Dia diharapkan memiliki integritas dan kompetensi. Dia adalah sosok yang patut menjadi teladan. Memiliki moral terpuji, sangat peka terhadap aspirasi rakyat, dan sepak terjangnya tidak grusa-grusu, tapi bersandarkan pada etika. Hari-hari ini petinggi parpol kita disibukkan dengan penentuan caleg.

Tiap parpol punya kriteria dan standar dalam memilih calon.Faktor loyalitas, kesetiaan, disiplin, tidak tercela, dan segudang prasyarat lain diberlakukan tidak lain untuk dapat menggaet calon yang paling ideal dan realistik. Menjadi calon legislatif periode ini tak mudah.

Begitu seseorang terindikasi melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) akan dikejar media dan diprotes masyarakat serta diincar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beban moralnya sungguh berat dan yang menderita adalah keluarga. Bahwa di negeri kita menghormati asas praduga tidak bersalah elok-elok saja.

Namun kalau sempat terlansir sang tokoh kecipratan dana siluman, wah repot juga menepisnya. Namun ini menjadi sarana pengingat juga bagi para caleg agar tak menyelewengkan kekuasaannya. Lagipula mereka tak perlu takut karena pers harus selalu menghormati asas praduga tidak bersalah.

Pers selalu didorong untuk tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat Kalau caleg kita sosok yang bersih, berintegritas, dan berkarakter, silakan melenggang terus dengan aman menghadang deburan ombak, berkeringat diterpa mentari, dan bersyahdu dengan sentuhan rembulan.

Anda sosok terpilih, jadilah pribadi yang memegang amanah. Berkarakter kata kuncinya. Bung Hattta sempat berujar,“ Seorang politikus itu harus punya karakter. Kalau tidak punya karakter berarti tidak punya pendirian.” (Pribadi Manusia Hatta,Seri Orang Besar Jiwa Besar,2002).

Bagi parpol baru tentu memerlukan kecermatan dalam menentukan figur caleg.Mengapa? Karena mitra atau pesaingnya parpol yang telah berjibaku pada pemilu sebelumnya tentu lebih berpengalaman dan relatif memiliki stok sumber daya manusia (SDM) yang telah punya jam terbang.

Namun, jangan risau, caleg parpol baru tentu mulai dengan spirit baru, visi, dan konsep baru. Masih segar bugar, belum terkontaminasi oleh angin puting beliung, bak kita menikmati roti fresh from the oven. Masalahnya harus memiliki kepercayaan diri untuk nantinya bertatap muka dengan calon khalayak pemilih pada acara kampanye yang bersifat dialogis.

Anda perlu menguasai materi diskusi dengan baik. Jangan anggap enteng. Masyarakat kita banyak yang sudah pandai dan kritis. Kita pun boleh bersyukur bahwa ini juga bagian dari keberhasilan pembangunan kita. Warga memiliki akses untuk menikmati berbagai fasilitas dan informasi.

Mungkin untuk mengantisipasi bola liar boleh pula caleg kita didampingi oleh staf ahli.Kalau kesulitan dana jangan pula berkecil hati, tawarkan saja kepada para ahli secara sukarela agar mereka ikut meramaikan kampanye dialogis. Percayalah, masih banyak orang Indonesia yang idealis. Jauh dari sikap matre, rakus materi. Para ahli ini akan membantu Anda. Namun Anda pun harus bekerja keras, jangan tak bergairah, berleha-leha belaka.

Persaingan yang Elegan

Dalam berbagai dialog dan diskusi perlu dibuat aturan main yang elegan. Jangan pula forum tersebut tempat sumpah serapah, carut-marut, dan tuding-menuding. Forum kampanye tentu akan mengupas tuntas permasalahan yang dibincangkan. Di sana akan terlihat apakah caleg ini sanggup berargumentasi dengan logis jauh dari sikap emosional. Jangan terpancing untuk marah-marah.

Caleg harus berjiwa besar dan sanggup menjadi pendengar yang baik. Kiatnya adalah teguh dalam pendirian,lincah dalam pendekatan. Perlu diingat, kritik jurnalis kawakan Mochtar Lubis yang sempat heboh dan menjadi polemik setelah berceramah di Taman Ismail Marzuki (6/4/77) dengan tajuk “Manusia Indonesia”.

Dia menengarai,”Manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa dan demi untuk ‘survive’, bersedia mengubah pendiriannya.”

Amatan ini tentu berguna bagi caleg kita dari parpol mana pun.Jangan mudah tergiur dengan godaan dunia.Jaga reputasi Anda, jangan kecewakan pemilih dan konstituen Anda. Bukankah kita juga dibekali nasihat nenek moyang: sekali lancung ke ujian,seumur hidup orang tak percaya? Begitu pun nobody is perfect. Harus terus belajar dan jangan mengulang kesalahan.

Pemilu kali ini kita harapkan akan berjalan aman dan damai, jauh dari kecurangan dan kekerasan. Syukurlah kita tidak menjadi seperti negara Taiwan yang menurut Prof Liao Da Chi dari Universitas Sun Yat-sen menghalalkan segala cara yang tidak demokratis untuk menjatuhkan seorang pemimpin atau seperti di Thailand yang menggunakan intervensi militer (Newsweek,14/7/08).

Masyarakat kita sudah sangat letih menyaksikan bentrok fisik yang menjadi perbuatan sia-sia.Kampanye dialogis yang terbatas salah satu cara mengantisipasi keributan itu. Pengerahan massa memang dibatasi. Masyarakat kita dengan format kampanye dialogis akan semakin lebih dewasa.

Mereka diajak untuk berdiskusi dengan berargumentasi sembari saling menghormati. Karena sesungguhnya ujung dari perjalanan kampanye ini kita akan sampai pada pilihan wakil-wakil rakyat yang mumpuni dan selalu setia dengan janjinya memperjuangkan aspirasi rakyat.

Bolehlah kita becermin pada ungkapan penyair Kahlil Gibran tentang manusia kemarin dan manusia hari esok.”Apakah kamu adalah seorang politisi yang berkata pada dirinya sendiri: aku akan menggunakan negaraku untuk keuntungan diriku sendiri? Jika demikian, kamu hanyalah sebuah duri yang hidup dalam daging orang lain.

Atau kamu adalah seorang patriot yang setia, yang membisiki telinga jiwanya sendiri: aku mencintai negaraku dan melayaninya. Aku mencoba menjadi seorang pelayan yang baik. Jika demikian, kamu adalah sebuah oasis di padang gersang yang siap melepaskan dahaga bagi para musafir.” Kalau demikian halnya, akankah kita menemukan calon legislatif berkarakter seperti itu? Semoga.

Prof. Bachtiar Aly, Pakar Komunikasi Politik. (Koran Sindo)


PEMILU 2009



Sabtu, 18 Oktober 2008

Program BOS Belum Mengenai Sasaran

Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sudah satu tahun terakhir digembar-gemborkan pemerintah, tampaknya belum memenuhi harapan masyarakat tentang pendidikan bermutu dan gratis. Pasalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan Yappika yang mencakup 15 Kabupaten di 8 Propinsi, sebanyak 62.20% dari 1031 responden mengatakan, keluarga mereka yang bersekolah di tingkat SD dan SMP masih dikenai berbagai biaya pendidikan. Terutama di wilayah Sumatra Barat, Banten, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan.


"Anak saya tahun ini masuk SD, untuk uang masuknya saja, saya sudah merogoh kocek sebesar 500 ribu",� ungkap Joko (29), salah seorang wali murid. Selain biaya pendidikan tersebut, orang tua murid juga dikenakan bermacam biaya, antara lain SPP, biaya ujian, pendaftaran ulang, uang seragam, pembangunan sekolah, dan uang bangku. Dari semua jenis biaya yang harus mereka tanggung, biaya pembelian buku dan seragam sekolah menempati tingkat teratas.


Dana BOS sedianya untuk membebaskan biaya pendidikan (baca: gratis), sebagaimana yang diiklankan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di berbagai media elektronik. Kenyataan yang ada, pendidikan malah semakin mahal dan memicu adanya dana-dana lain yang terbilang tidak murah. Hal ini menjadi indikasi lemahnya pengawasan layanan pendidikan di negara kita, karena masih banyak pungutan yang memberatkan masyarakat. Dalam hal ini, keberadaan dan fungsi komite sekolah yang seharusnya melakukan kontrol terhadap kebijakan sekolah patut dipertanyakan.


Program BOS merupakan realisasi dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang disahkan DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan ditandatangani Presiden pada tanggal 8 Juli 2003. Isi UUSPN sudah sesuai dengan Konvensi Internasional bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, 2000. Konvensi tersebut menyatakan bahwa semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya.


Salah satu butir UUSPN adalah "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun"� (Pasal 2 Ayat 1). Butir tersebut menyatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan setingkat SD sampai dengan SMP secara cuma-cuma, atau minimal murah (Kompas, 5/8/2004). Namun sampai saat ini, pemerintah belum berhasil menciptakan pendidikan gratis. Untuk pendidikan yang murah pun pemerintah belum mampu, sebagaimana hasil penelitian Yappika yang dilaksanakan awal tahun 2006 ini, sebanyak 54.10% responden menilai bahwa biaya pendidikan yang dipungut oleh sekolah terlalu mahal. Penilaian ini dinyatakan oleh masyarakat yang berpenghasilan di bawah 1 juta rupiah sampai 3 juta rupiah per bulan.


Oleh: Abdul Hamid, Relawan Yappika.


Setelah Sewindu Reformasi: Perjalanan (masih) Panjang menuju Masyarakat Sipil

Ringkasan ini menyajikan temuan-temuan pokok dan menggarisbawahi beberapa implikasi penting untuk agenda ke depan dari Indeks Masyarakat Sipil (IMS) proyek di Indonesia yang dilaksanakan oleh YAPPIKA; suatu Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi.


Selama hampir satu tahun, dari Oktober 2005 sampai dengan Agustus 2006, penyusunan IMS dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan masukan mengenai keadaan masyarakat sipil Indonesia dari kalangan tokoh masyarakat sipil sendiri, pejabat pemerintahan, anggota DPR, warganegara Indonesia biasa, para ahli dan peneliti. Data dikumpulkan dengan berbagai metodologi antara lain melalui community survey, regional stakeholder survey, media review, fact-finding & studi kasus serta data sekunder; kemudian disajikan ke dalam kerangka komperehensif berupa 74 indikator.


Berdasarkan data yang disajikan, National Advisory Group (NAG) yang terdiri dari 16 orang yang berasal daritokoh-tokoh masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya kemudian mendiskusikan, menilai dan memberikan skor untuk masing-masing 74 indikator tersebut. Penilaian tersebut diringkas ke dalam bentuk grafik visual berupa “Intan Masyarakat Sipilâ


IMS Republik Indonesia yang untuk pertama kalinya disajikan ini ternyata telah memberikan beberapa pengetahuan yang baru bagi kita mengenai masyarakat sipil Indonesia, yang sebagian diantaranya tampak menantang beberapa keyakinan tokoh-tokoh OMS selama ini.


Diagram intan di atas memberikan gambaran keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Tiga dari empat dimensi yang ada, yaitu lingkungan, struktur dan dampak masih menunjukkan kelemahan dengan keadaan yang hampir seimbang, dan masih jauh dari dari kondisi ideal (skor 3). Skor dimensi nilai yang mendekati 2 memberikan gambaran bahwa masyarakat sipil Indonesia cukup berhasil dalam mempraktekkan dan mempromosikan nilai-nilai yang dianutnya.


Beberapa temuan pokok dicoba diringkaskan di bawah ini:


1. Rakyat Indonesia itu dermawan (filantropis) dan aktif berorganisasi

Rakyat Indonesia sesungguhnya termasuk golongan yang menaruh kepedulian terhadap nasib orang lain dengan membantu berupa uang, barang atau tenaga. Empat dari lima orang Indonesia pernah memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang serta membantu warga masyarakat lain. Meskipun demikian, jumlah sumbangan yang diberikan dalam bentuk uang belum signifikan karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergolong miskin. Lebih dari separuh rakyat Indonesia pernah menjadi anggota suatu organisasi masyarakat sipil (OMS) dan satu dari tiga orang Indonesia pernah menjadi anggota lebih dari satu organisasi.


2. Sumberdaya masyarakat sipil sangat terbatas

Secara umum OMS Indonesia menghadapi masalah keterbatasan sumberdaya keuangan, SDM, teknologi dan prasarana. OMS pada umumnya belum mempunyai sumberdaya mandiri dan berkelanjutan yang memadai sehingga belum mampu mencapai tujuan yang sudah ditetapkan secara efektif. OMS juga kurang mampu menarik, mengkader dan mempertahankan SDM yang mereka butuhkan agar organisasi berfungsi secara efektif. Untuk organisasi yang berbasiskan keanggotaan, iuran anggota sudah lama tidak berjalan. Ornop Indonesia tergantung dari bantuan luar negeri. Dana domestik yang berasal dari publik, bantuan pemerintah dan sumbangan sektor swasta relatif masih kecil.


3. Lingkungan eksternal belum kondusif

Meskipun rakyat Indonesia sudah menikmati hak-hak politik serta kebebasan-kebebasan dasar lainnya, akan tetapi masih banyak faktor-faktor lainnya yang belum kondusif bagi perkembangan masyarakat sipil yang sehat dan kuat. Indonesia dewasa ini ditandai dengan lemahnya penegakan hukum. Hampir tidak ada kepercayaan rakyat Indonesia bahwa hukum telah ditegakkan secara adil dan semua pihak tunduk pada hukum; dan bahwa pengadilan telah mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan politik dan uang. Indonesia masih tetap salah satu negara terkorup di dunia dan itu mempengaruhi budaya dan nilai-nilai masyarakat. Selain itu satu dari empat orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan di beberapa daerah pernah terdapat konflik etnis dan agama yang berujung kekerasan.


4. Hubungan OMS-negara: Bagaimana meningkatkan dialog dan kerjasama

Meskipun era reformasi telah berlangsung delapan tahun namun hubungan antara negara-masyarakat sipil masih ditandai dengan iklim saling curiga. Negara masih dilihat sebagai musuh yang harus dilawan dan banyak taktik masyarakat sipil masih konfrontatif dan tidak mencari dasar-dasar untuk kompromi. Dialog yang murni antara negara dan masyarakat sipil masih terbatas, demikian pula halnya dukungan dan kerjasama negara dengan OMS.


5. Perlu ada insentif perpajakan untuk OMS sebagai sektor nirlaba

Sistem perpajakan di Indonesia belum membedakan dengan tegas antara sektor nirlaba dengan badan usaha. Belum ada ketentuan yang mengatur tentang pembebasan atau pengecualian (tax exemption) pajak penghasilan badan yang diberlakukan kepada sektor nirlaba yang semata-mata bekerja untuk kepentingan umum. Juga pengurangan pajak (tax deduction) untuk individu atau badan yang memberikan sumbangan kepada kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.


6. Sektor swasta masih kurang peduli dengan OMS

Meskipun sejumlah perusahaan besar nasional (konglomerat) dan perusahaan multinasional membantu/melakukan program CD (community development) atas nama tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) akan tetapi kalangan OMS pada umumnya berpendapat bahwa sektor swasta masih kurang peduli atau acuh tak acuh dengan OMS. Kalangan Ornop advokasi memandang bahwa perusahaan (swasta) masih tetap tidak transparan dan merusak lingkungan hidup.


7. Terdapat kekuatan-kekuatan yang tidak toleran, menggunakan kekerasan dan diskriminatif

Pada umumnya masyarakat sipil Indonesia menganut dan aktif mempromosikan nilai-nilai demokrasi, toleransi, tranparansi, anti-kekerasan, kesetaraan gender penanggulangan kemiskinan dan keberlanjutan lingkungan hidup. Akan tetapi dari survei komunitas yang dilakukan terungkap bahwa di dalam masyarakat sipil sendiri masih terdapat kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, tidak toleran, dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.


8. Kepercayaan terhadap LSM dan serikat buruh masih rendah

Rakyat Indonesia menaruh kepercayaan yang tinggi kepada organisasi sosial keagamaan. Lebih dari delapan puluh persen rakyat Indonesia menyatakan bahwa organisasi keagamaan (NU, Muhammamdiyah, organisasi yang bernaung di bawah gereja, dan lain-lain) adalah institusi yang sangat dipercaya. Akan tetapi sangat berbeda halnya dengan tingkat kepercayaan kepada LSM dan serikat buruh yang masih rendah. Hanya sekitar 37% rakyat Indonesia yang percaya kepada LSM dan 30% kepada serikat buruh. Namun LSM dan serikat buruh di Indonesia, bagaimana pun juga, masih merupakan fenomena masyarakat perkotaan sehingga tidak begitu dikenal oleh mayoritas rakyat Indonesia yang berdiam di daerah pedesaan. Sebanyak 35% rakyat Indonesia ternyata tidak tahu atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan tentang LSM dan 40% untuk serikat buruh.


9. Masyarakat sipil belum transparan dan tidak bebas dari korupsi

Informasi yang diberikan OMS kepada publik yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan, sumberdaya yang dimiliki, termasuk mekanisme untuk mengakses informasi tersebut masih sangat terbatas. Dalam bidang keuangan sedikit sekali OMS Indonesia yang memberikan informasinya kepada publik. Kerahasiaan masih merupakan “norma� baik itu dimaksudkan secara sengaja atau tidak. Sumber pendanaan, budget, upah, biaya administrasi dan keseluruhan informasi yang menunjukkan hubungan alokasi sumberdaya dengan misi organisasi biasanya tidak tersedia. Padahal budget, sumberdana dan seharusnya bersifat publik, jelas dan dapat diakses dengan mudah oleh semua pihak. OMS Indonesia mengalami defisit informasi dalam hubungannya dengan transparansi keuangan. Korupsi juga terdapat di kalangan OMS, walaupun diyakini tidaklah sebesar dan seluas yang terjadi pada birokrasi pemerintahan.


10. OMS Indonesia aktif dan sukses dalam mempromosikan demokrasi, HAM dan memberdayakan warga negara

OMS Indonesia mempunyai peran aktif dan berhasil dalam mempengaruhi kebijakan publik dalam bidang pengembangan demokrasi dan perlindungan HAM serta memberdayakan warganegara. Di pihak lain meskipun OMS aktif namun relatif belum begitu berhasil dalam mempengaruhi kebijakan publik dalam bidang penganggaran, membuat sektor swasta lebih akuntabel, menciptakan lapangan kerja serta memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok marginal.


Temuan-temuan di atas menyimpulkan bahwa, bagaimana pun juga, masyarakat sipil Indonesia mempunyai beberapa kekuatan seperti semangat filantropi, aktif berorganisasi, komunikasi dan kerjasama yang baik antar sesama OMS, menikmati berbagai kebebasan dan hak-hak politik, relatif otonom terhadap negara serta berhasil dalam mempromosikan demokrasi, HAM dan memperkuat rakyat (warganegara). Di pihak lain tantangan yang dihadapi oleh masyarakat sipil pada dirinya juga cukup besar. Studi ini menemukan bahwa sumberdaya OMS masih sangat terbatas, akuntabilitas dan transparasi OMS masih sangat lemah. OMS juga tidak terbebas dari korupsi, hubungan dengan negara dan terutama dengan sektor swasta belum positif, serta kepercayaan terhadap LSM dan serikat buruh yang masih rendah.


Menurut hemat penulis ketiga dimensi yang lemah, lingkungan, struktur dan dampak, sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Keadaan ekonomi Indonesia yang masih sulit dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, tercermin pada kurangnya sumber daya yang dimiliki masyarakat sipil. Ketiadaan sumberdaya menyebabkan keberadaan masyarakat sipil tidak terlalu berhasil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan kaum marginal lainnya.


Cukup menarik pula untuk mengomentari dimensi nilai yang paling tinggi dihargai oleh NAG. Terkesan bahwa kita sebagai pemangku kepentingan mempunyai kecenderungan menilai lebih tinggi nilai-nilai yang dianut, dipraktekkan dan diperjuangkan masyarakat sipil. Ini dilandasi oleh gagasan bahwa masyarakat sipil sebagai civilized society yang ditujukan untuk mencapai kebaikan bersama (public good) yang secara otomatis mengandung nilai-nilai kewargaan yang positif. Akan tetapi, nilai-nilai masyarakat sipil yang “kuat� jika tidak didukung oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat secara keseluruhan, termasuk pemerintah; maka juga tidak banyak ruang bagi masyarakat sipil untuk mempengaruhi struktur masyarakat. Sudah sejak lama masyarakat sipil khususnya organisasi non-pemerintah dibangun dengan bantuan dari luar negeri sehingga dapat terjadi bahwa nilai-nilai maupun tujuan-tujuan yang ingin dicapai tidak sesuai dengan basis domestiknya seperti rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu mungkin dapat difahami mengapa masyarakat sipil khususnya Ornop yang dikenal sebagai pelopor pembaharuan dan demokrasi justeru banyak dikecam sebagai alat kepentingan asing. Perbedaan nilai-nilai dan juga fenomena Ornop dan Serikat buruh yang mempunyai karakteristik perkotaan menyebabkan tidak banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap mereka rendah.


Oleh karena itu perbaikan pada dimensi lingkungan, struktur dan dampak merupakan kunci bagi perkembangan masa depan masyarakat sipil. Perhatian perlu diberikan pada upaya menggalang sumberdaya domestik seperti dari anggota, publik, pemerintah dan swasta untuk memperkuat sumberdaya dan kapasitas masyarakat sipil. Upaya memberantas korupsi, penegakan hukum serta reformasi birokrasi negara perlu terus digalakkan agar negara lebih efektif dan birokrasi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kepercayaan publik kepada masyarakat sipil khususnya LSM dan serikat buruh perlu terus ditingkatkan. Ini akan terjadi apabila masyarakat sipil Indonesia lebih mampu menjangkau kepentingan kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan termasuk kaum buruh serta mampu memberikan sumbangan yang efektif dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok warganegara. Juga OMS perlu meningkatkan pemantauannya terhadap perilaku perusahaan swasta agar lebih akuntabel dan transparan dalam kegiatannya serta benar-benar menjalankan tanggungjawab sosialnya.


Meskipun sejak reformasi dianggap sebagai “era kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia�, kelihatannya masih jauh perjalanan untuk mencapai kondisi ideal yang diharapkan. Dan OMS Indonesia perlu merumuskan agenda dan strategi bersama untuk mencapainya. Semoga!!!


Oleh: Rustam Ibrahim