NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berusia 63 tahun pada 17 Agustus 2008. Diibaratka manusia, selayaknya usia lebih setengah abad harus dipenuhi kearifan karena perjalana waktu yang telah ditempuh. Kearifan itu seyogyanya meliputi rakyat dan para pemimpin di segala level.
Kita mengingatkan kembali tujuan dari NKRI ini diperjuangkan dengan darah, nyawa dan penderitaan yang amat panjang melawan penjajahan selama 350 tahun, termasuk penjajahan oleh Jepang yang singkat tapi memiliki daya rusak yang luar biasa. Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang telah mengalami perubahan (amandemen) beberapakali jelas tercantum bahwa negara ini didirikan bertujuan untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan untuk tujuan lain. Bentuk negara yang merupakan alat dari tujuan itu ditentukan berupa negara kesatuan republik.
Para pendiri (founding father) negara kita tentu punya alasan yang kuat, mengapa memilih negara kesatuan republik, bukan federasi atau serikat. Dan, negara kita pun pernah mengalami negara federasi dengan sebutan Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun Soekarno, Presiden RI pertama dan founding father kita mengembalikannya ke NKRI dengan dekrit Presidennya yang terkenal itu.
Jika kita cermati, Presiden RI kita yang pertama merupakan pendiri yang memiliki kharisma luar biasa yang mampu mengerahkan jutaan rakyatnya untuk mencapai tujuan tertentu. Namun di sektor ekonomi, kita mengalami kehancuran luar biasa, terpaksa melakukan devaluasi, yakni memotong harga uang dari Rp 10.000 menjadi Rp 1.000. Begitu sengsara rakyat, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari harus antre berjam-jam, bahkan seharian.
Peristiwa G30 S PKI, memunculkan Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Berbeda gaya dan kharisma dengan pendahulunya, Soeharto bukanlah seorang orator, lebih terkesan diam. Namun kita harus jujur, Soeharto meletakan dasar-dasar pembangunan Indonesia modern, sehingga Indonesia sempat dimasukan dalam katagori salah satu macan asia di bidang ekonomi.
Periode ini kita harus mengakui, berbagai kebutuhan sehari-hari dipenuhi dengan mudah dan murah mulai dari beras, minyak tanah, gas, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Orang tua murid tak pusing dengan biaya untuk menyekolahkan anaknya, terutama dalam memenuhi wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas). Ekonomi lebih stabil dengan ditunjukan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.
Sayangnya, Soeharto berkuasa terlalu lama, 32 tahun. Kepemimpinannya tak peka lagi terhadap penderitaan rakyat, lebih sibuk dengan kroni-kroninya. Gaya kepemimpinnya semakin mengarah pada otoriter atau ditaktor dengan mengedepankan stabilitas keamanan yang represif, sehingga menghilangkan kebebasan hakiki dari setiap individu. Stabilitas keamanan itu diyakini untuk melancarkan pembangunan.
Selain itu, pembiayaan negara ini dalam memutarkan roda pembangunan, pelayanan, pemerintahan dan lain-lainnya diperoleh dari pinjaman luar negeri yang setiap tahun terus membengkak. Hutang yang sedemikian besar ini menyebabkan kehancuran yang tak bisa dihindarkan, sehingga rakyat meminta kebebasan yang selama ini dikekang dengan tindakan yang represif. Akhirnya Soeharto lengser dalam sebuah peristiwa yang dramatis setelah rakyat bergejolak, terutama mahasiswa berdemo berhari-hari di Senayan dan Istana.
Secara berurutan, kita mengalami beberapa presiden mulai dari BJ Habibie, Abrudrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Pemilu tahun 2004 merupakan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh rakyat, memilih Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Ironisnya, periode SBY-JK inilah apa yang dialami rakyat di era Soekarno justru kembali terjadi. Beras sering menghilang di pasaran, demikian pula dengan minyak tanah, bensin, gas dan sebagainya. Antrean pun terlihat dimana-mana. Harga barang pun terus naik, menyebabkan rakyat ini sesak dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Seperti tidak perduli dengan penderitaan rakyat, SBY-JK justru menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berkali-kali dengan alasan untuk menyelematkan perekonomian negara ini.
Bentuk negara ini pun menjadi banci. Disebut negara kesatuan republik, ternyata kita mengarah pada bentuik federasi dengan alat bernama otonomi daerah. Dan, kini bermunculan raja-raja kecil di setiap daerah hasil dari Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada).
Apa yang ingin kita ingatkan dari paparah yang begitu panjang? Sebenarnya hanya satu, bukankah NKRI ini didirikan untuk menyejahterakan rakyatnya? Dan, bukankah setiap dibentuknya pemerintah daerah yang baru selalu disebutkan tujuan untuk hal yang sama? Lalu, dengan kondisi ekonomi sekarang yang membuat sesak jutaan rakyat, sudahkah petinggi kita kembali mengevaluasi diri soal kesejahteraan rakyat? (*)
sumber: voice of banten