Oleh : Khoirul Umam KF*
“Paradigma baru kebijakan publik adalah kembalinya peran dasar pemerintah sebagai public service, jadi baik penerimaan maupun pengeluaran berorientasi kepada pelayanan publik. Paradigma baru tidak bisa diterjemahkan sebagai penambahan beban bagi masyarakat.” Dr. H. Masykur Wiratmo (alm)
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan restribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. “Institusi” seperti ASEAN, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah –tentu saja disertai kompensasi—sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.
Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.
Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. Dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik.
Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akdemisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan.
Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. Akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society, Merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. Sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan.
Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002). Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992).
Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai politik selnjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to crrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun-tahun.
Jangan heran jika banyak orang menyebut bahwa ‘kebijakan dibuat untuk dilanggar’. Dengan dalih untuk kepentingan umum, kini kebijakan sulit dipercaya, sebagian menduga kebijakan tak lain untuk memenangkan kelompok tertentu. Kebijakan publik adalah kalimat yang kini banyak diadopsi oleh semua gerakan masyarakat sipil.
Dengan mengaitkan semua perjuangan sosial pada bendera kebijakan publik maka diharapkan ada kucuran uang yang mengalir. Kebijakan baru dibuat kini bisa dibayangkan sebagai ‘lahan’ garapan yang hanya memuaskan perut dan hawa nafsu kelompok tertentu. Bahkan parahnya mereka seakan tidak tahu malu mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat secara terang-terangan.
Kita tahu bahwa kebijakan semata dibuat untuk memperbaiki semua keadaan, namun kini terbalik kebijakan hanya dijadikan tameng kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas kebijakan yang dibuat.
Fadillah Putra, Dosen Unibraw Malang dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Tidak untuk Kepentingan Publik, mencoba mengungkapkan dengan tajam dan satir mengenai kebijakan publik meminggirkan peran rakyat. Menghadap kita pada kenyataan-kenyataan yang memunculkan berbagai pertanyaan, sesungguhnya kebijakan berpihak pada siapa?
Karena sudah banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui pertimbangan kemanusiaan, dan buah dari kebijakan inilah yang membawa musibah bagi publik. Faktanya kebijakan publik bukannya untuk menentramkan, malah menyengsarakan. Sedangkan kebijakan yang menindas kaum miskin, seolah menjadi hal yang lumrah. Fadillah mencoba menggambarkan beberapa kebijakan pemerintah yang bukan mencari solusi namun menambah persoalan baru, baginya semua cara akan menjadi halal apabila banyak yang ‘menikmati’.
Pemikiran Fadillah ternyata cukup mewakili aspirasi dan realitas yang ada di Provinsi Banten, kita ingat menjelang Pemilu 2004 silam anggota DPRD Banten membuat kebijakan anggaran untuk dana Perumahan mereka, dana perumahan di ambil dari dana tak terduga yang seharusnya dana tersebut di peruntukkan sebagai dana taktis yang dapat di gunakan sewaktu-waktu apabila terjadi sesuatu musibah yang terjadi di masyarakat, di saat itu terjadi kebanjiran di wilayah labuan Pandeglang. Pemprov Banten tak berdaya karena dana tak terduga sudah di belanjakan untuk mengontrak rumah sendiri Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Banten yang penuntasannya hingga kini masih “tebang pilih”.
Melalui Lobi dan deal politik dengan para petinggi birokrasi memuluskan ambisi melalui produk kebijakan publik. Kalau sudah begini yang namanya money politics tentu menjadi kewajiban. Kebijakan publik di sektor tata ruang sering kali tdak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan hidup, entah terlampau teknokratik atau ekonomis. Sehingga andaikata kebijakan publik dilaksanakan dengan jujur dan tanpa KKN sekalipun, bila masih teknokratik, lingkungan akan tetap rusak, sebab semuanya dihitung secara ekonomis.
Seperti halnya dalam penentuan pusat Ibukota Kabupaten Serang yang lalu di Kecamatan Baros, sangat menafikan aspirasi masyarakat Kabupaten Serang yang selama ini menginginkan adanya pemekaran, di samping Baros sebagai kawasan hijau dan daerah resapan yang amat potensial merusak lingkungan. Kebijakan tata ruang dibuat untuk memberikan keuntungan pengusaha properti tertentu. Cukong-cukong tanah, si pengusaha properti memberi sogokan dan pemerintah memberi fasilitas kebijakan.
Smith mengatakan ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses kebijakan. Pertama, idealized policy yakni pola interaksi yang secara ideal mendorong, mempengaruhi dan merangsang target grup dalam pelaksanaannya. Kedua, target grup, bagian dari policy stakeholders diharapkan sebagai perumus kebijakan yang dapat menyesuaikan pola perilaku dengan kebijakan yang dirumuskan. Ketiga, implementing organization adalah badan pelaksana atau unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam kebijakan.
Keempat, environmenental factor, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Jika kita mengacu pada pola Smith, maka bukan mustahil jika kebijakan yang kita buat benar-benar adil tanpa ada pihak lain yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik yang ditulis oleh DR. Joko Widodo, M.S, seorang widyaiswara Diklatpim Jawa Timur dengan ringan membahas dasar-dasar analisis kebijakan publik. DR. Joko Widodo, M.S., memberikan gambaran situasi pasca reformasi, dimana pemerintah saat ini sedang mengupayakan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Dan memang karena beliau orang daerah, maka otonomi daerah menjadi dasar pijakan beliau untuk memulai uraian analisis kebijakan publik.
Untuk menghadapi situasi yang ada sekarang ini, menuntut ditingkatkannya profesionalisme mesin birokrasi. “Pemerintahan pada dasarnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama”. Dalam pandangan Weberian prinsip-prinsip mengenai birokrasi, dimana dalam pandangannya, birokrasi diciptakan untuk melayani dan profesional.
Sesuai dengan pandangan ini, kinerja birokrasi harus bisa dipertanggungjawabk an kepada khalayak umum, sebab government organizations are created by the public, for the public and need to be accountable to it. Sebuah birokrasi harus akuntable, terbuka dan transparan.
Kebijakan Publik di Banten dalam praktek.
Ciri kebijakan Publik menurut Anggito Abimanyu adalah Peran Dasar Pemerintah, bersentuhan dengan kepentingan Publik, berorientasi kepada pelayanan public, melalui mekanisme APBD/APBN.
Dalam banyak hal di Provinsi Banten masyarakat selalu menjadi objek, seperti halnya dalam setiap Musrenbang Kab/Kota atau Provinsi beberapa hari yang lalu, peserta di si oleh peserta berbaju coklat alias PNS, keterwakilan masyarakat sangat kecil sekali kecuali yang memiliki akses-akses yang baik dengan Pemerintah Daerah.
Hasil dari Musrenbang pun belum terakomodir semua, karena akan kembali di bahas oleh Panitia anggaran eksekutif yang barang tentu akan di seleksi secara ketat sesuai dengan kepentingan mereka, memang ada aspirasi masyarakat yang terakomodir akan tetapi sangat kecil prosentasinya lebih banyak yang masuk adalah kepentingan siapa yang berkuasa.
Panitia Anggaran Ekskutif (PAE) kemudian kembali membahas dengan Panitia Anggaran Legislatif (PAL) yang barang tentu masing-masing anggota DPRD yang masuk dalam PAL sudah membawa setumpuk “titipan – titipan Proyek” yang lebih banyak merupakan kepentingan pribadi dan kelompoknya yang harus di golkan, inilah potret buram kebijakan di Provinsi Banten yang tercinta yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pendiri pejuangnya yang mencita-citakan untuk kesejahteraan rakyat Banten, walau dalam prakteknya hingga kini menguntungkan segelintir orang yang berkuasa dan berduit, lantas kapan kebijakan Publik untuk kesejahteraan masyarakat itu nyata dan terwujud !!! kita Tunggu dan menunggu. Selamat menunggu !
*Wk. Ketua DPD KNPI & Ketua DPD Partai Pemuda Indonesia (PPI) Prov. Banten
Disampaikan pada Workshop “Mengawal Kebijakan Publik di Banten” pada tanggal 30 April 2008
di Gedung Fakultas Syariah, IAIN “SMH” Banten.
Dikirim Oleh: kabar_banten@yahoo.co.id
“Paradigma baru kebijakan publik adalah kembalinya peran dasar pemerintah sebagai public service, jadi baik penerimaan maupun pengeluaran berorientasi kepada pelayanan publik. Paradigma baru tidak bisa diterjemahkan sebagai penambahan beban bagi masyarakat.” Dr. H. Masykur Wiratmo (alm)
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan restribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. “Institusi” seperti ASEAN, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah –tentu saja disertai kompensasi—sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.
Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.
Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. Dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik.
Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akdemisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan.
Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. Akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society, Merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. Sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan.
Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002). Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992).
Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai politik selnjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to crrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun-tahun.
Jangan heran jika banyak orang menyebut bahwa ‘kebijakan dibuat untuk dilanggar’. Dengan dalih untuk kepentingan umum, kini kebijakan sulit dipercaya, sebagian menduga kebijakan tak lain untuk memenangkan kelompok tertentu. Kebijakan publik adalah kalimat yang kini banyak diadopsi oleh semua gerakan masyarakat sipil.
Dengan mengaitkan semua perjuangan sosial pada bendera kebijakan publik maka diharapkan ada kucuran uang yang mengalir. Kebijakan baru dibuat kini bisa dibayangkan sebagai ‘lahan’ garapan yang hanya memuaskan perut dan hawa nafsu kelompok tertentu. Bahkan parahnya mereka seakan tidak tahu malu mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat secara terang-terangan.
Kita tahu bahwa kebijakan semata dibuat untuk memperbaiki semua keadaan, namun kini terbalik kebijakan hanya dijadikan tameng kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas kebijakan yang dibuat.
Fadillah Putra, Dosen Unibraw Malang dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Tidak untuk Kepentingan Publik, mencoba mengungkapkan dengan tajam dan satir mengenai kebijakan publik meminggirkan peran rakyat. Menghadap kita pada kenyataan-kenyataan yang memunculkan berbagai pertanyaan, sesungguhnya kebijakan berpihak pada siapa?
Karena sudah banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui pertimbangan kemanusiaan, dan buah dari kebijakan inilah yang membawa musibah bagi publik. Faktanya kebijakan publik bukannya untuk menentramkan, malah menyengsarakan. Sedangkan kebijakan yang menindas kaum miskin, seolah menjadi hal yang lumrah. Fadillah mencoba menggambarkan beberapa kebijakan pemerintah yang bukan mencari solusi namun menambah persoalan baru, baginya semua cara akan menjadi halal apabila banyak yang ‘menikmati’.
Pemikiran Fadillah ternyata cukup mewakili aspirasi dan realitas yang ada di Provinsi Banten, kita ingat menjelang Pemilu 2004 silam anggota DPRD Banten membuat kebijakan anggaran untuk dana Perumahan mereka, dana perumahan di ambil dari dana tak terduga yang seharusnya dana tersebut di peruntukkan sebagai dana taktis yang dapat di gunakan sewaktu-waktu apabila terjadi sesuatu musibah yang terjadi di masyarakat, di saat itu terjadi kebanjiran di wilayah labuan Pandeglang. Pemprov Banten tak berdaya karena dana tak terduga sudah di belanjakan untuk mengontrak rumah sendiri Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Banten yang penuntasannya hingga kini masih “tebang pilih”.
Melalui Lobi dan deal politik dengan para petinggi birokrasi memuluskan ambisi melalui produk kebijakan publik. Kalau sudah begini yang namanya money politics tentu menjadi kewajiban. Kebijakan publik di sektor tata ruang sering kali tdak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan hidup, entah terlampau teknokratik atau ekonomis. Sehingga andaikata kebijakan publik dilaksanakan dengan jujur dan tanpa KKN sekalipun, bila masih teknokratik, lingkungan akan tetap rusak, sebab semuanya dihitung secara ekonomis.
Seperti halnya dalam penentuan pusat Ibukota Kabupaten Serang yang lalu di Kecamatan Baros, sangat menafikan aspirasi masyarakat Kabupaten Serang yang selama ini menginginkan adanya pemekaran, di samping Baros sebagai kawasan hijau dan daerah resapan yang amat potensial merusak lingkungan. Kebijakan tata ruang dibuat untuk memberikan keuntungan pengusaha properti tertentu. Cukong-cukong tanah, si pengusaha properti memberi sogokan dan pemerintah memberi fasilitas kebijakan.
Smith mengatakan ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses kebijakan. Pertama, idealized policy yakni pola interaksi yang secara ideal mendorong, mempengaruhi dan merangsang target grup dalam pelaksanaannya. Kedua, target grup, bagian dari policy stakeholders diharapkan sebagai perumus kebijakan yang dapat menyesuaikan pola perilaku dengan kebijakan yang dirumuskan. Ketiga, implementing organization adalah badan pelaksana atau unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam kebijakan.
Keempat, environmenental factor, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Jika kita mengacu pada pola Smith, maka bukan mustahil jika kebijakan yang kita buat benar-benar adil tanpa ada pihak lain yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik yang ditulis oleh DR. Joko Widodo, M.S, seorang widyaiswara Diklatpim Jawa Timur dengan ringan membahas dasar-dasar analisis kebijakan publik. DR. Joko Widodo, M.S., memberikan gambaran situasi pasca reformasi, dimana pemerintah saat ini sedang mengupayakan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Dan memang karena beliau orang daerah, maka otonomi daerah menjadi dasar pijakan beliau untuk memulai uraian analisis kebijakan publik.
Untuk menghadapi situasi yang ada sekarang ini, menuntut ditingkatkannya profesionalisme mesin birokrasi. “Pemerintahan pada dasarnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama”. Dalam pandangan Weberian prinsip-prinsip mengenai birokrasi, dimana dalam pandangannya, birokrasi diciptakan untuk melayani dan profesional.
Sesuai dengan pandangan ini, kinerja birokrasi harus bisa dipertanggungjawabk an kepada khalayak umum, sebab government organizations are created by the public, for the public and need to be accountable to it. Sebuah birokrasi harus akuntable, terbuka dan transparan.
Kebijakan Publik di Banten dalam praktek.
Ciri kebijakan Publik menurut Anggito Abimanyu adalah Peran Dasar Pemerintah, bersentuhan dengan kepentingan Publik, berorientasi kepada pelayanan public, melalui mekanisme APBD/APBN.
Dalam banyak hal di Provinsi Banten masyarakat selalu menjadi objek, seperti halnya dalam setiap Musrenbang Kab/Kota atau Provinsi beberapa hari yang lalu, peserta di si oleh peserta berbaju coklat alias PNS, keterwakilan masyarakat sangat kecil sekali kecuali yang memiliki akses-akses yang baik dengan Pemerintah Daerah.
Hasil dari Musrenbang pun belum terakomodir semua, karena akan kembali di bahas oleh Panitia anggaran eksekutif yang barang tentu akan di seleksi secara ketat sesuai dengan kepentingan mereka, memang ada aspirasi masyarakat yang terakomodir akan tetapi sangat kecil prosentasinya lebih banyak yang masuk adalah kepentingan siapa yang berkuasa.
Panitia Anggaran Ekskutif (PAE) kemudian kembali membahas dengan Panitia Anggaran Legislatif (PAL) yang barang tentu masing-masing anggota DPRD yang masuk dalam PAL sudah membawa setumpuk “titipan – titipan Proyek” yang lebih banyak merupakan kepentingan pribadi dan kelompoknya yang harus di golkan, inilah potret buram kebijakan di Provinsi Banten yang tercinta yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pendiri pejuangnya yang mencita-citakan untuk kesejahteraan rakyat Banten, walau dalam prakteknya hingga kini menguntungkan segelintir orang yang berkuasa dan berduit, lantas kapan kebijakan Publik untuk kesejahteraan masyarakat itu nyata dan terwujud !!! kita Tunggu dan menunggu. Selamat menunggu !
*Wk. Ketua DPD KNPI & Ketua DPD Partai Pemuda Indonesia (PPI) Prov. Banten
Disampaikan pada Workshop “Mengawal Kebijakan Publik di Banten” pada tanggal 30 April 2008
di Gedung Fakultas Syariah, IAIN “SMH” Banten.
Dikirim Oleh: kabar_banten@yahoo.co.id