Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak bulan Agustus 1997 telah menimbulkan dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Diawali dengan nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap Dolar AS, mengakibatkan kinerja kegiatan produksi menurun tajam karena sebagian bahan bakunya berasal dari luar negeri. Kondisi ini kemudian menyebabkan banyak perusahaan yang akhirnya harus gulung tikar. Tercatat sedikitnya dua puluh lima juta orang pengangguran baru yang dihasilkan oleh krisis ini. Tentunya terdapat puluhan juta jiwa yang menggantungkan hidup pada pekerja-pekerja yang di-PHK itu. Dari data yang dikumpulkan Depsos untuk wilayah DKI Jakarta hingga Juli 1998, tercatat adanya peningkatan jumlah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) sebesar 30%, WTS 30%, pedagang asongan 75%, dan anak jalanan 200% (Republika, 29 Juli 1998).
Keadaan sosial yang telah menghasilkan banyak orang miskin baru ini merupakan masalah sosial yang penting untuk segera diatasi. Jumlah siswa yang harus putus sekolah meningkat tajam di saat wajib belajar sedang giat-giatnya digalakkan. Keadaan gizi dan kesehatan masyarakat menurun sehingga mencapai titik yang memprihatinkan. Kenyataan ini harus diantisipasi untuk menghindari terdapatnya "generasi yang hilang" beberapa dasawarsa mendatang.
Dijamin oleh UUD 1945
Pasal 34 undang-undang dasar 1945 menyatakan "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." Yang dimaksud dengan fakir miskin di sini adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencarian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dapat juga berarti orang yang mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Para gelandangan, pengemis, maupun anak-anak jalanan dapat pula dikategorikan sebagai fakir miskin untuk kemudian dipelihara oleh negara.
Bagaimanakah sebenarnya relisasi pemeliharaan oleh negara yang dikehendaki oleh konstitusi? Penjelasan pasal 34 UUD 1945 berbunyi "Telah cukup jelas, lihat di atas". Yang dimaksud oleh kalimat "di atas" itu tidak lain adalah penjelasan dari pasal 33 UUD 1945 yang memang masuk dalam bab yang sama dengan pasal 34 yaitu bab mengenai kesejahteraan sosial. Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 antara lain menyebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.
Dari penjelasan UUD 1945 tersebut terlihat jelas relevansi dari sistem ekonomi dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Sistem ekonomi kerakyatan yang berasal dari rakyat, dikerjakan oleh rakyat, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat banyak merupakan bentuk ideal yang seyogianya dan wajib diciptakan oleh negara.
Dengan berjalannya mekanisme ekonomi kerakyatan yang memberikan kesempatan yang adil terhadap sumber-sumber modal, maka kesejahteraan masyarakat dapat dipelihara agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan. Masyarakat tidak dapat disalahkan atas kemiskinan yang dideritanya. Peningkatan kesejahteraan sebenarnya adalah hak mereka, sementara di lain pihak, negara (pemerintah) berkewajiban dan memiliki kapasitas untuk menciptakan mekanisme yang kondusif bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam kenyataannya, pemerintah ternyata tidak berhasil menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk mencapai hal itu. Akumulasi modal yang hanya berputar pada segelintir kalangan masyarakat pada masa orde baru tak ayal lagi merupakan kejahatan terstruktur yang tidak boleh terulang kembali. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk menerapkan sistem ekonomi kerakyatan akhir-akhir ini dapat disambut positif sebagai wujud tanggung jawab negara memelihara kesejahteraan rakyatnya.
Bantuan dan Rehabilitasi Sosial
Pasal 34 UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Pasal 1 UU 6/1974 menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial".
Selain usaha menciptakan sistem perekonomian yang sifatnya mendasar, perlu pula usaha yang sifatnya lebih pada pelaksanaan langsung di lapangan. Hal ini dibutuhkan untuk dapat sesegera mungkin mengantisipasi keadaan sosial yang memprihatinkan ini. Pengaturan yang bersifat lebih teknis di bawah UU 6/1974 adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Pasal 2 ayat (1) dari PP 42/1981 di atas menyebutkan bahwa fakir miskin berhak mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan bahwa pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin tersebut meliputi bantuan sosial dan rehabilitasi sosial.
Bantuan sosial adalah bantuan bersifat sementara yang diberikan kepada keluarga fakir miskin agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial yang diberikan dapat berbentuk bantuan santunan hidup, bantuan sarana usaha ekonomi produktif, atau bantuan sarana kelompok usaha bersama. Bantuan ini berupa bahan atau peralatan untuk menunjang usaha ekonomi produktif. Sesuai dengan asas kekeluargaan yang dianut, maka sarana usaha ekonomi produktif tersebut diberikan dan dikelola dalam sebuah kelompok usaha bersama yang berada dalam pembinaan pemerintah.
Proses Pemberian Bantuan
Proses pemberian bantuan yang dilakukan pemerintah dengan pengajuan data keluarga miskin yang perlu mendapatkan bantuan melalui RT/RW yang bersangkutan dalam rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) kecamatan tiap-tiap desa/kelurahan. Data yang diterima kemudian dibicarakan dan diolah di Rakorbang kabupaten/Kota Madya untuk selanjutnya dibawa ke tingkat provinsi dan terakhir diajukan ke Bapenas. Data yang masuk ke Bapenas diseleksi untuk disesuaikan dengan anggaran yang disediakan APBN. Proses yang cukup panjang ini menghendaki efisiensi di setiap lini agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
Tindak lanjut dari pemberian bantuan sosial adalah rehabilitasi sosial yang berfungsi sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan, untuk memungkinkan fakir miskin mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses rehabilitasi sosial ini, fakir miskin berhak untuk mendapatkan pembinaan kesadaran berswadaya, pembinaan mental, pembinaan fisik, pembinaan keterampilan, dan pembinaan kesadaran hidup bermasyarakat. Fakir miskin yang telah selesai menjalani pembinaan dapat diberikan bantuan permodalan oleh Depsos guna meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Jaring Pengaman Sosial
Program lain yang sedang digalakkan pemerintah untuk membantu meringankan beban masyarakat dan mencegah timbulnya fakir miskin baru adalah program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS dilakukan dengan bekerjasama dengan badan-badan dana luar negeri. Salah satu bentuk program ini dilaksanakan melalui kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang masih mampu bertahan untuk dapat menampung sebagian tenaga kerja yang terkena PHK. Salah satu kelebihan program jaring pengaman sosial ini adalah pelaksanaan di lapangan tidak lagi dilakukan oleh aparat pemerintahan sehingga dapat dihindari kemungkinan hambatan birokrasi yang menumpulkan efektivitas program.
Namun sayangnya program yang mempunyai dana milyaran dolar dan triliunan rupiah ini belum dikelola dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari tidak terdapatnya kejelasan dan standar baku terhadap pelaksanaan program JPS ini. Program yang melibatkan banyak LSM inipun ternyata masih mengikutkan LSM yang sebenarnya kurang qualified, bahkan LSM yang belum mempunyai struktur organisasi permanen.
Dibutuhkan: Partisipasi Masyarakat
Selain hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat seperti dipaparkan di atas, terdapat pula kewajiban bagi masyarakat, yang dibebankan oleh UU No.6 tahun 1974, untuk ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Keadaan keuangan negara yang tidak mendukung saat ini sangat memerlukan bantuan yang intensif dari masyarakat, karena pada saat rakyat sangat memerlukan bantuan dana pelayanan sosial dari pemerintah ternyata anggaran pemerintah untuk pelayanan sosial justru menurun.
Ada beberapa peraturan yang telah dibuat untuk memfasilitasi kewajiban masyarakat tersebut. Salah satunya adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberikan wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan menyalurkan zakat, infaq, dan sadaqah. Pasal 12 PP 42/1981 juga memfasilitasi kewajiban ini dengan memberikan kemungkinan bagi organisasi sosial yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial untuk mendapatkan bantuan subsidi.
Menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bukanlah satu-satunya bentuk partisipasi masyarakat. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, juga dibutuhkan kontrol sosial dari masyarakat terhadap kewajiban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan sosial ini. Kritik langsung dan peranan insan pers akan selalu dibutuhkan untuk mencegah adanya kebocoran-kebocoran dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.
Transparansi
Dari pengamatan langsung di bilangan Kampung Tengah Jakarta Selatan pada bulan Februari 1999, ditemukan komunitas masyarakat tidak mampu yang belum pernah sekalipun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Apakah mungkin kondisi mereka yang hidup di lingkungan kumuh dengan rumah-rumah semi permanen berukuran tiga kali tiga meter masih belum layak untuk mendapatkan bantuan? Yang jelas mereka sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk modal usaha mereka agar tidak terjerat oleh rentenir. Aparat kelurahan diketahui pernah mendata dan mendokumentasi mereka dengan iming-iming akan diberikan bantuan permodalan, namun hingga tulisan ini dibuat janji tersebut belum kunjung terealisasi.
Langkah transparansi harus segera dilakukan agar efisiensi bantuan dapat terjamin. Adanya transparansi sangat dibutuhkan dalam proses pemberian bantuan ini untuk memberikan kepastian bahwa dana bantuan telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Masyarakat pemberi dana, yaitu penyumbang maupun seluruh masyarakat sebagai pembayar pajak kepada negara, yang dananya digunakan untuk kesejahteraan sosial, berhak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dana yang telah mereka berikan. Sementara masyarakat yang berhak menerima dana tersebut juga berhak atas transparansi, untuk memastikan bahwa hak mereka atas kesejahteraan sosial tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerimanya.
Masalah pemenuhan hak atas kesejahteraan sosial ini sangat mendesak untuk segera dituntaskan. Konstitusi kita sendiri telah mengakomodasi hak atas kesejahteraan sosial. Para pendiri bangsa ini telah tidak melupakan hak dasar ini, akankah kita -generasi sekarang- justru melupakannya?
Hak-Hak Dalam Jaminan Kesejahteraan Sosial:
1. Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
2. Fakir miskin berhak mendapatkan pemeliharaan dari negara (Pasal 34 UUD 1945).
3. Fakir miskin berhak mendapatkan sarana bantuan sosial dan rehabilitasi sosial. (Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI no.42 tahun 1981).
Kewajiban-Kewajiban Dalam Jaminan Kesejahteraan Sosial:
1. Setiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
2. Pemerintah wajib mengusahakan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak. (Penjelasan pasal 33 UUD 1945).
Sumber: Kajian Sosial Masyarakat Transparansi Indonesia
(www.transparansi.or.id)
Keadaan sosial yang telah menghasilkan banyak orang miskin baru ini merupakan masalah sosial yang penting untuk segera diatasi. Jumlah siswa yang harus putus sekolah meningkat tajam di saat wajib belajar sedang giat-giatnya digalakkan. Keadaan gizi dan kesehatan masyarakat menurun sehingga mencapai titik yang memprihatinkan. Kenyataan ini harus diantisipasi untuk menghindari terdapatnya "generasi yang hilang" beberapa dasawarsa mendatang.
Dijamin oleh UUD 1945
Pasal 34 undang-undang dasar 1945 menyatakan "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." Yang dimaksud dengan fakir miskin di sini adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencarian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dapat juga berarti orang yang mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Para gelandangan, pengemis, maupun anak-anak jalanan dapat pula dikategorikan sebagai fakir miskin untuk kemudian dipelihara oleh negara.
Bagaimanakah sebenarnya relisasi pemeliharaan oleh negara yang dikehendaki oleh konstitusi? Penjelasan pasal 34 UUD 1945 berbunyi "Telah cukup jelas, lihat di atas". Yang dimaksud oleh kalimat "di atas" itu tidak lain adalah penjelasan dari pasal 33 UUD 1945 yang memang masuk dalam bab yang sama dengan pasal 34 yaitu bab mengenai kesejahteraan sosial. Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 antara lain menyebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.
Dari penjelasan UUD 1945 tersebut terlihat jelas relevansi dari sistem ekonomi dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Sistem ekonomi kerakyatan yang berasal dari rakyat, dikerjakan oleh rakyat, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat banyak merupakan bentuk ideal yang seyogianya dan wajib diciptakan oleh negara.
Dengan berjalannya mekanisme ekonomi kerakyatan yang memberikan kesempatan yang adil terhadap sumber-sumber modal, maka kesejahteraan masyarakat dapat dipelihara agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan. Masyarakat tidak dapat disalahkan atas kemiskinan yang dideritanya. Peningkatan kesejahteraan sebenarnya adalah hak mereka, sementara di lain pihak, negara (pemerintah) berkewajiban dan memiliki kapasitas untuk menciptakan mekanisme yang kondusif bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam kenyataannya, pemerintah ternyata tidak berhasil menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk mencapai hal itu. Akumulasi modal yang hanya berputar pada segelintir kalangan masyarakat pada masa orde baru tak ayal lagi merupakan kejahatan terstruktur yang tidak boleh terulang kembali. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk menerapkan sistem ekonomi kerakyatan akhir-akhir ini dapat disambut positif sebagai wujud tanggung jawab negara memelihara kesejahteraan rakyatnya.
Bantuan dan Rehabilitasi Sosial
Pasal 34 UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Pasal 1 UU 6/1974 menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial".
Selain usaha menciptakan sistem perekonomian yang sifatnya mendasar, perlu pula usaha yang sifatnya lebih pada pelaksanaan langsung di lapangan. Hal ini dibutuhkan untuk dapat sesegera mungkin mengantisipasi keadaan sosial yang memprihatinkan ini. Pengaturan yang bersifat lebih teknis di bawah UU 6/1974 adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Pasal 2 ayat (1) dari PP 42/1981 di atas menyebutkan bahwa fakir miskin berhak mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan bahwa pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin tersebut meliputi bantuan sosial dan rehabilitasi sosial.
Bantuan sosial adalah bantuan bersifat sementara yang diberikan kepada keluarga fakir miskin agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial yang diberikan dapat berbentuk bantuan santunan hidup, bantuan sarana usaha ekonomi produktif, atau bantuan sarana kelompok usaha bersama. Bantuan ini berupa bahan atau peralatan untuk menunjang usaha ekonomi produktif. Sesuai dengan asas kekeluargaan yang dianut, maka sarana usaha ekonomi produktif tersebut diberikan dan dikelola dalam sebuah kelompok usaha bersama yang berada dalam pembinaan pemerintah.
Proses Pemberian Bantuan
Proses pemberian bantuan yang dilakukan pemerintah dengan pengajuan data keluarga miskin yang perlu mendapatkan bantuan melalui RT/RW yang bersangkutan dalam rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) kecamatan tiap-tiap desa/kelurahan. Data yang diterima kemudian dibicarakan dan diolah di Rakorbang kabupaten/Kota Madya untuk selanjutnya dibawa ke tingkat provinsi dan terakhir diajukan ke Bapenas. Data yang masuk ke Bapenas diseleksi untuk disesuaikan dengan anggaran yang disediakan APBN. Proses yang cukup panjang ini menghendaki efisiensi di setiap lini agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
Tindak lanjut dari pemberian bantuan sosial adalah rehabilitasi sosial yang berfungsi sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan, untuk memungkinkan fakir miskin mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses rehabilitasi sosial ini, fakir miskin berhak untuk mendapatkan pembinaan kesadaran berswadaya, pembinaan mental, pembinaan fisik, pembinaan keterampilan, dan pembinaan kesadaran hidup bermasyarakat. Fakir miskin yang telah selesai menjalani pembinaan dapat diberikan bantuan permodalan oleh Depsos guna meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Jaring Pengaman Sosial
Program lain yang sedang digalakkan pemerintah untuk membantu meringankan beban masyarakat dan mencegah timbulnya fakir miskin baru adalah program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS dilakukan dengan bekerjasama dengan badan-badan dana luar negeri. Salah satu bentuk program ini dilaksanakan melalui kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang masih mampu bertahan untuk dapat menampung sebagian tenaga kerja yang terkena PHK. Salah satu kelebihan program jaring pengaman sosial ini adalah pelaksanaan di lapangan tidak lagi dilakukan oleh aparat pemerintahan sehingga dapat dihindari kemungkinan hambatan birokrasi yang menumpulkan efektivitas program.
Namun sayangnya program yang mempunyai dana milyaran dolar dan triliunan rupiah ini belum dikelola dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari tidak terdapatnya kejelasan dan standar baku terhadap pelaksanaan program JPS ini. Program yang melibatkan banyak LSM inipun ternyata masih mengikutkan LSM yang sebenarnya kurang qualified, bahkan LSM yang belum mempunyai struktur organisasi permanen.
Dibutuhkan: Partisipasi Masyarakat
Selain hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat seperti dipaparkan di atas, terdapat pula kewajiban bagi masyarakat, yang dibebankan oleh UU No.6 tahun 1974, untuk ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Keadaan keuangan negara yang tidak mendukung saat ini sangat memerlukan bantuan yang intensif dari masyarakat, karena pada saat rakyat sangat memerlukan bantuan dana pelayanan sosial dari pemerintah ternyata anggaran pemerintah untuk pelayanan sosial justru menurun.
Ada beberapa peraturan yang telah dibuat untuk memfasilitasi kewajiban masyarakat tersebut. Salah satunya adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberikan wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan menyalurkan zakat, infaq, dan sadaqah. Pasal 12 PP 42/1981 juga memfasilitasi kewajiban ini dengan memberikan kemungkinan bagi organisasi sosial yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial untuk mendapatkan bantuan subsidi.
Menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bukanlah satu-satunya bentuk partisipasi masyarakat. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, juga dibutuhkan kontrol sosial dari masyarakat terhadap kewajiban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan sosial ini. Kritik langsung dan peranan insan pers akan selalu dibutuhkan untuk mencegah adanya kebocoran-kebocoran dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.
Transparansi
Dari pengamatan langsung di bilangan Kampung Tengah Jakarta Selatan pada bulan Februari 1999, ditemukan komunitas masyarakat tidak mampu yang belum pernah sekalipun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Apakah mungkin kondisi mereka yang hidup di lingkungan kumuh dengan rumah-rumah semi permanen berukuran tiga kali tiga meter masih belum layak untuk mendapatkan bantuan? Yang jelas mereka sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk modal usaha mereka agar tidak terjerat oleh rentenir. Aparat kelurahan diketahui pernah mendata dan mendokumentasi mereka dengan iming-iming akan diberikan bantuan permodalan, namun hingga tulisan ini dibuat janji tersebut belum kunjung terealisasi.
Langkah transparansi harus segera dilakukan agar efisiensi bantuan dapat terjamin. Adanya transparansi sangat dibutuhkan dalam proses pemberian bantuan ini untuk memberikan kepastian bahwa dana bantuan telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Masyarakat pemberi dana, yaitu penyumbang maupun seluruh masyarakat sebagai pembayar pajak kepada negara, yang dananya digunakan untuk kesejahteraan sosial, berhak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dana yang telah mereka berikan. Sementara masyarakat yang berhak menerima dana tersebut juga berhak atas transparansi, untuk memastikan bahwa hak mereka atas kesejahteraan sosial tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerimanya.
Masalah pemenuhan hak atas kesejahteraan sosial ini sangat mendesak untuk segera dituntaskan. Konstitusi kita sendiri telah mengakomodasi hak atas kesejahteraan sosial. Para pendiri bangsa ini telah tidak melupakan hak dasar ini, akankah kita -generasi sekarang- justru melupakannya?
Hak-Hak Dalam Jaminan Kesejahteraan Sosial:
1. Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
2. Fakir miskin berhak mendapatkan pemeliharaan dari negara (Pasal 34 UUD 1945).
3. Fakir miskin berhak mendapatkan sarana bantuan sosial dan rehabilitasi sosial. (Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI no.42 tahun 1981).
Kewajiban-Kewajiban Dalam Jaminan Kesejahteraan Sosial:
1. Setiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
2. Pemerintah wajib mengusahakan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak. (Penjelasan pasal 33 UUD 1945).
Sumber: Kajian Sosial Masyarakat Transparansi Indonesia
(www.transparansi.or.id)