Saat mengikuti Rapat Konsultasi Pengurus Karang Taruna Kabupaten/Kota se- Provinsi Banten dengan Dinsosnaker di Merak beberapa waktu yang lalu, saya tertarik dengan masukan dari seorang Pejabat Departemen Sosial yang menyarankan agar kami mengembangkan program CSR sebagai solusi alternatif atas ketidakberdayaan Pemerintah dalam mengakomodir banyaknya tuntutan terkait usaha peningkatan kesejahteraan sosial yang menjadi tugas pokok Karang Taruna.
Sekitar lima tahun yang lalu Corporate Social Responsibility (CSR) memang sempat “ngetrend” di Indonesia. Situasi dan momentum seperti ini harus terus dijaga agar kita tidak kembali lagi kepada masa-masa lalu, dimana invisible-rules yang berjalan. Perusahaan cukup berlindung dibalik kekuasaan oknum-oknum tertentu saja untuk menghindar dari tuntutan masyarakat. Akhirnya masyarakat semakin marjinal dan miskin. Kita semua menyadari, bahwa selama lebih dari tiga dekade, ekonomi Indonesia dibangun atas dasar teori pertumbuhan yang memberikan peluang tak terbatas pada perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam.
Memang diakui, bahwa di satu sisi sektor industri atau korporasi-korporasi skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, baik nasional maupun regional, tetapi di sisi lain ekploitasi sumber-sumber daya alam oleh sektor industri seringkali menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah. Karakteristik umum korporasi skala-besar biasanya beroperasi secara enclave, dan melahirkan apa yang disebut sebagai “dual society”, yakni tumbuhnya dua karakter ekonomi yang paradoks di dalam satu area. Di satu sisi ekonomi tumbuh secara modern dan sangat pesat, tetapi di sisi masyarakat, ekonomi justru berjalan sangat lambat atau bahkan mandeg. Kehidupan ekonomi masyarakat semakin involutif, disertai dengan marginalisasi tenaga kerja lokal. Hal ini terjadi karena basis teknologi tinggi menuntut perusahaan-perusahaan besar lebih banyak menyedot tenaga kerja terampil dari luar masyarakat setempat, sehingga tenaga-tenaga kerja lokal yang umumnya berketerampilan rendah menjadi terbuang.
Keterpisahan inilah yang kemudian menyebabkan hubungan perusahaan dengan masyarakat tempatan menjadi tidak harmonis dan diwarnai berbagai konflik serta ketegangan. Berbagai tuntutan seperti ganti-rugi atas kerusakan lingkungan, pemekerjaan (employment), pembagian keuntungan, dan lain-lain sangat jarang memperoleh solusi yang mendasar dan memuaskan masyarakat. Situasi tersebut diperparah oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang bersifat profit-oriented semata.
Di masa-masa yang lalu keadaan seperti ini dipandang sebagai tidak ada masalah karena tradisi represif dalam pemerintahan kita masih sangat dominan. Namun perubahan tatanan politik Indonesia pada akhir tahun 90 -an telah mengubah secara drastis cara pandang tersebut. Masyarakat kini menginginkan suasana keterbukaan, termasuk dalam kaitan dengan pengelolaan berbagai sumberdaya alam dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Pola hubungan masyarakat dan perusahaan juga sudah berubah secara total. Masyarakat kini telah semakin well informed, sehingga daya kritis dan keberanian mereka untuk mengemukakan aspirasinya secara lebih terbuka semakin meningkat, termasuk tuntutannya terhadap perusahaan yang beroperasi di lingkungan mereka. Karena itu, pihak perusahan dituntut untuk membangun fundamental hubungan yang lebih baik, sehingga terbentuk sebuah kerangka hubungan yang harmonis antara perusahaan atau industri dengan lingkungan strategisnya. Hubungan baik tersebut, harus diletakkan pada prinsip-prinsip simbiosis mutualistis, saling pengertian dan saling memberi manfaat.
Perubahan-perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat itulah yang kemudian di Indonesia memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan garis tuntunan (guideline) bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja (selfish) sehingga mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat ditempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
Secara teoritis, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, dengan paling sedikit merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Karena itu, CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.
CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum, oleh karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan ke dalam program-program kongkrit. Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD). Lantas, bagaimana konsep CD yang benar bagi sebuah perusahaan? Dalam konteks Indonesia, oleh karena sebagian besar masyarakat di lingkungan industri kita berada dalam kondisi “termarginalkan”, maka kegiatan CD yang relevan adalah program yang didedikasikan pada; peningkatan pendapatan (ekonomi) atau kesejahteraan masyarakat, masalah-masalah pemekerjaan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta tersedianya basic infrastruktur yang memadai. Rumusan di atas berangkat dari tujuan pelaksanaan CD, yang antara lain: Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam menemukan alternatif ekonomi dalam jangka panjang; Meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat, baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun budaya; Menguatnya kelembagaan lokal yang mampu memelopori tumbuhnya prakarsa -prakarsa lokal dan; Kemandirian masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun budaya.
Kini diakui telah banyak korporasi yang mulai sadar akan pentingnya menjalankan CSR, meskipun masih banyak juga yang belum menjalankannya dengan benar. Dari sisi cara penyampaian dan peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis dan methodologis dalam menjalankan program CSR. Tetapi tidak sedikit pula perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat. Karena itu, perlu suatu regulasi yang mengatur konsep dan jenis CSR dalam rangka law enforcement, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Perusahaan-perusahaan perlu diyakinkan, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan bersangkutan. Karena itu, penerapan CSR tidak seharusnya dianggap sebagai cost semata-mata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan.
Maka sungguh diberharapkan pemerintah dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memprakarsai adanya peraturan yang baik, yang memungkinkan dijalankannya law enforcement bagi implementasi CSR di Provinsi Banten. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Selama ini, CSR di lingkungan perusahaan swasta masih bersifat sukarela (voluntary), dan karena itu wajar jika penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masing-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong.
CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di Provinsi Banten yang hingga pertengahan 2007 masih memiliki 1,5 juta jiwa Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan sekitar 27 kategori permasalahan yang beragam. Penerbitan regulasi yang mengatur masalah CSR ini sangat mungkin diterapkan di Provinsi Banten karena beberapa Kabupaten/Kota diwilayah ini sudah tumbuh menjadi Kawasan Industrialisasi yang berimplikasi pada semakin kompleksnya permasalahan sosial dilingkungan setempat, terkhusus di Kabupaten Tangerang yang berjuluk “Kota Sejuta Industri”.
Kebijakan yang pro-masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat dibutuhkan ditengah arus neo-liberalisme seperti sekarang ini. Sebaliknya disisi lain, masyarakat juga tidak bisa seenaknya melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku. Dengan adanya aturan hukum, maka perbedaan kepentingan antara para pihak baik perusahaan dan masyarakat dapat dijembatani secara elegan. Jika kemitraan ini terjalin baik, dapat dipastikan bahwa korporasi dan masyarakat dapat berhubungan secara co-eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan, sehingga pada gilirannya akan meminimalisir potensi munculnya masalah-masalah sosial yang belakangan kian tak terkendali. Meski demikian, perlu kehati-hatian agar intervensi dan regulasi pemerintah terhadap dunia usaha ini, khususnya terhadap aktualisasi CSR tidak terjebak pada birokratisasi yang melelahkan dan berbiaya tinggi. Regulasi yang berlebihan justru menimbulkan counter-productive terhadap proses demokratisasi yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Regulasi dalam konteks ini diperlukan agar semua komponen berjalan atas dasar rule of law, patuh atas aturan main yang jelas, sehingga parameternya pun menjadi jelas.
Melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa, CSR adalah prasyarat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologiskultural yang kuat dari masyarakatnya. Dalam tataran praktis, CSR seringkali diinterpretasikan sebagai pengkaitan antara pengambilan keputusan dengan nilai-nilai etika, pemenuhan kaidah-kaidah hukum serta menghargai martabat manusia, masyarakat dan lingkungan.
(Tulisan ini telah dimuat di Harian TANGERANG TRIBUN pada tanggal 8 September 2007)