Sabtu, 26 April 2008

Relevansi Pembangunan Pantura Yang Representatif

Oleh Gatot Yan. S*


Beberapa saat setelah UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah diluncurkan, MarkPlus&Co memulai riset untuk merumuskan dan merancang sebuah model yang dapat digunakan oleh para Bupati dan marketer daerah untuk mengembangkan dan memasarkan daerahnya. Hasil yang ditelurkan dari riset tersebut adalah model “Platform Pemasaran Daerah” dan “Strategic Place Triangle” yang kemudian oleh para Kepala Daerah di beberapa Kabupaten/kota di Indonesia dijadikan sebagai dasar konsep pemasaran daerah dalam menjaring perhatian Investor.

Timbulnya fenomena Otonomi Daerah mungkin tidak terlepas dari perubahan pola ditingkat global-regional, dimana mulai efektifnya pemberlakuan AFTA yang menuntut berbagai negara untuk mulai menggeser orientasi mereka dalam pengelolaan kawasan dari local orientation ke global-cosmopolit orientation. Dengan perkembangan baru ini, berbagai daerah di Indonesia dihadapkan pula pada persaingan global yang tidak bisa ditawar dengan daerah dan kota lain di seluruh dunia. Jogjakarta misalnya, dalam sektor pengembangan Pariwisata kini tidak lagi bersaing dengan Bali, Bandung atau Jakarta, tapi sekaligus juga harus bersaing ketat dengan Kuala Lumpur, Phuket dan Singapura. Hal tersebutlah yang konon membuat Pemda Jogjakarta merasa ketar-ketir dan buru-buru menggandeng MarkPlus&Co untuk merancang pola pemasaran pariwisata yang selanjutnya meluncurkan program kampanye branding “Jogja Never Ending Asia”.

Berbagai perubahan besar tersebut akan memaksa Pemerintah Daerah diseluruh Indonesia untuk mulai meninjau ulang pendekatan dan cara pandang mereka dalam mengelola daerahnya masing-masing. Perubahan pertama akan memaksa Pemda untuk mentransformasi diri dari bureaucratic-monopolistic government ke system Pemerintahan yang entrepreneurial-competitive government, artinya pemda dituntut untuk jeli dan selalu berfikir keras dalam melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul untuk memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Disamping itu Pemda juga mesti mendorong adanya kompetisi penyedia layanan publik dalam upaya mereka memberikan excellent-service kepada para konstituennya, apakah itu investor, wisatawan atau masyarakat luas. Perubahan kedua mengharuskan Pemda bermetamorfosis diri dari Pemda yang “cuek-bebek” menjadi Pemda yang berorientasi pelanggan dan bertanggung jawab terhadap seluruh stakeholder nya secara seimbang.

Perubahan ketiga akan mendorong Pemda untuk mulai mengevolusi diri menjadi pemerintahan yang berwawasan global. Mereka membuka diri terhadap masuknya sumber daya global dan berupaya mendapatkannya, tidak perduli dari mana sumber daya tersebut berasal. Mereka membuka diri terhadap investor asing, perusahaan asing, kepemilikan asing, produk asing, teknologi asing, bahkan orang-orang terbaik asing, sejauh itu semua memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Jargon “Putra Daerah” dalam pembangunan daerah misalnya, sudah waktunya dikesampingkan. Karena urgensinya disini adalah bagaimana mendapatkan talenta terbaik – terlepas darimana mereka berasal.


Upaya lain yang tidak boleh lepas dari perhatian pemda dalam mencapai target proses pembangunan yang sinergi dan berkesinambungan adalah dengan terus menerus memperbaiki liveability, investability dan visitability. Liveability daerah bisa ditingkatkan dengan menjamin kompetitifnya biaya hidup (cost of living), memperbaiki fasilitas umum dan layanan publik, menekan angka kriminalitas disamping tentu menciptakan lingkungan yang nyaman. Investability ditingkatkan dengan menyediakan tenaga kerja terampil yang memadai, terus memperbaiki infrastruktur dan fasilitas produksi, menjamin tetap menariknya peluang investasi, akses yang mudah ke pusat-pusat bisnis nasional/global serta system birokrasi dan regulasi yang kondusif. Sementara Visitability diperbaiki dengan menyediakan fasilitas transportasi dan akomodasi yang kompetitif, terus meng-upgrade dan merevitalisasi tujuan-tujuan wisata, membangun kemudahan serta menciptakan suasana aman dan nyaman. Disamping itu, global-oriented government juga berupaya keras membangun kemampuan inovasi, kapabilitas operasional dan jaringan berskala global sebagai jembatan bagi mereka untuk dapat berpartisipasi dan mengambil keuntungan maksimal dari terbentuknya ekonomi global.

Jika kita sepakat mengadopsi konsep tersebut atau konsep manapun dalam proses pembangunan pantura yang inti tujuannya lebih diarahkan bagi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan daya saing daerah, maka yang pertama harus dipersiapkan adalah bagaimana menjadi tuan rumah yang baik bagi berbagai kalangan yang akan terlibat dalam proses pembangunan tersebut, dan untuk menjadi tuan rumah yang baik tentu harus tercipta kolaborasi kohesif antara masyarakat, kalangan bisnis dan pemerintah. Tiga pelaku utama ini menjadi semacam mata rantai yang tidak terpisahkan dan harus dapat saling mengeduksi agar mereka menjadi knowledgeable dan terus menyamakan persepsi dalam rangka mendongkrak produktivitas daerah yang pada gilirannya juga akan mengangkat standar hidup masyarakat.

Melihat konsep yang nyaris mirip dengan pola simbiosis mutualisme tersebut, maka menjadi hal yang teramat penting untuk selalu menjaga keutuhan dan kesamaan persepsi dari tiga mata rantai yang kesemuanya tentu memiliki kepentingan sesuai dengan kapasitas dan urgensinya masing-masing. Jika kita bicara tentang Pantura, sekilas akan terlintas dibenak kita betapa pantura Tangerang saat ini sudah disesaki oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan masyarakatnya yang majemuk, pluralistis, heterogen dan multi dimensional, artinya disini tentu begitu banyak kepentingan dan aspirasi yang harus diakomodir secara adil, arif dan bijaksana.

Kendati demikian, ada aspek-aspek mendasar yang menjadi target Otonomi Daerah serta beragam retorika yang ada didalamnya yang tidak boleh kita kesampingkan, bahkan harus kita letakkan ditempat yang paling prinsipil. Dibalik semua penerapan konsep dan strategi dalam menyiasati persaingan global dan otonomi daerah, mesti kita pahami pula bahwa semuanya haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan taraf hidup masyarakat sebagai sebuah tujuan akhir yang paling fundamental dan hakiki.

Bahwa pemberian keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pengaturan dan pengurusan wilayahnya sendiri berdasarkan asas otonomi bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip Demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah kira-kira makna dan tujuan yang melandasi Legislatif dan Eksekutif Negeri ini menetaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

Dengan mengusung konsep kedaulatan rakyat, percepatan pembangunan pantura selayaknya lebih berorientasi dan mengedepankan kepentingan publik serta bertanggung jawab kepada publik. Bagaimanapun juga, masyarakat adalah kekuatan sejati yang kritis dan responsif yang memiliki kesadaran akan dirinya, Hak-haknya dan Kepentingan-kepentingannya. Mereka memiliki keberanian untuk menegaskan eksistensi diri, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodir melalui cara-cara yang prosedural dan demokratis. Sementara dilain sisi, minimnya tingkat kesadaran masyarakat akan dampak-dampak pembangunan yang berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan semakin menguatkan indikasi terjadinya degradasi lingkungan hidup yang semakin tidak terkendali. Selain belum adanya keberpihakan pengambil kebijakan untuk memprioritaskan problem-problem kesejahteraan dan kemiskinan, juga dalam menentukan arah pembangunan yang ada, terkadang tidak dibarengi dengan penegakan hukum secara adil dan menyeluruh.

Ironisnya, situasi ini menjadikan posisi korban pembangunan yang mayoritas adalah masyarakat marjinal semakin terpuruk bahkan hak-hak dasarnya tidak dipenuhi dan seakan terabaikan. Tingginya angka pengangguran, Rusaknya lingkungan hidup, kebanjiran dibeberapa kantong pemukiman serta proses pembangunan kawasan pantai yang kurang mempertimbangkan kearifan akan keanekaragaman hayati, berupa mangrove dan berbagai ekosistem laut merupakan sebuah fakta bahwa target-target pembangunan ini belum mampu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat pantura.

Dilandasi oleh beragam kenyataan diatas, kita sepakat jika Pantura yang kita cintai dan kita bangga-banggakan ini harus dirubah oleh tangan-tangan profesional yang benar-benar memiliki kapasitas, Integritas, dan kredibilitas yang memadai agar tercipta keseimbangan antara laju pembangunan dengan peningkatan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Kita sepakat bahwa Percepatan Pembangunan Pantura adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, akan tetapi tanpa mengesampingkan niat baik pemerintah, seharusnya dipertimbangkan juga upaya untuk tetap menghormati dan mengangkat potensi, budaya dan kearifan lokal sehingga dalam mengambil kebijakan pembangunan kepentingan publik lebih dikedepankan dan tidak lagi sekedar membonceng dibalik kepentingan bisnis semata. Kita akan sangat bangga menjadi Putra Pantura jika rangkaian proses pembangunan dipantura ini mampu membuat semua elemen masyarakat tersenyum lebar termasuk elemen Buruh, Petani, Nelayan, Pedagang Dll. Satu-satunya jawaban yang paling sederhana dan relevan agar kelompok masyarakat marjinal ini ‘tersenyum’ melihat proses pembangunan pantura adalah dengan senantiasa mempertimbangkan, menjaga dan melestarikan sumber-sumber kehidupan mereka.

*Direktur Eksekutif LANSKAP

Reklamasi Dadap