Sabtu, 26 April 2008

Substansi Pelibatan Publik

Oleh Gatot Yan. S*

Tulisan ini sesungguhnya merupakan ekspektasi dari keresahan penulis yang sudah agak lama mengganjal hati dan mengganggu pikiran. Kegalauan penulis muncul setelah sekian lama berkecimpung dilingkungan NGO yang menggeluti dunia penguatan publik, yang pada era Orde Baru lebih dikenal dengan istilah peran serta atau partisipasi masyarakat. Pada era reformasi ini sepertinya ada yang tidak pas kalau masih terus menggulirkan hal yang sama. Setidaknya makna dan substansi “peran serta masyarakat dalam kaitannya dengan program-program pemerintah” perlu diberi makna dan perspektif yang baru. Penulis menilai bahwa sesungguhnya masyarakat belum menjadi bagian dari aktor yang ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Sejalan dengan itu, diperlukan suatu “Pola Hubungan Baru” antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah semestinya membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan terhadap semua kebijakan, program maupun proyek yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Pola hubungan baru inilah yang kita sebut sebagai konsultasi publik.

Bahwa masyarakat perlu terlibat dalam program pemerintah, pada saat Orde Baru hal itu pun sudah lama berlangsung. Nyatanya, implementasi keterlibatan masyarakat dalam program-program pemerintah tersebut hanyalah sebatas jargon, formalitas bahkan justru menjadi alat legitimasi belaka. Tidak jarang wujud dari partisipasi tersebut tidak lebih dari mobilisasi masyarakat untuk mendukung program pemerintah. Tapi setidaknya, partisipasi masyarakat telah tertulis dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, bahkan sampai pada level “proyek”. Padahal awalnya, partisipasi masyarakat hanya sebatas kritik kalangan NGO terhadap program pemerintah Orde Baru yang bersifat top down.

Di era reformasi sekarang dan sejalan dengan proses demokratisasi yang terus berlangsung, tuntutan akan perlunya partisipasi masyarakat makin berkembang, dan lebih substansial. Partisipasi masyarakat yang dalam prakteknya hanya menjadi alat legitimasi program pemerintah, terus dipertanyakan. Partisipasi ataupun pelibatan publik yang hanya sekedar memberi masukan, tanpa dipertimbangkan lagi dalam pengambilan keputusannya oleh pemerintah, dipandang justru mengelabui dan merugikan masyarakat. Masyarakat yang kian kritis menuntut agar mereka dilibatkan secara teratur dalam hal-hal keseharian. Demokrasi harus lebih dari sekedar pemilihan umum. ---masyarakat juga mempunyai hak untuk menentukan kebijakan-kebijakan publik yang menjadi keprihatinan mereka sehari-hari--- ada banyak alasan kuat mengapa partisipasi masyarakat perlu dibangun. Salah satu pelajaran terpenting yang dapat kita pelajari dari berbagai studi tentang proyek pembangunan adalah bahwa keterlibatan publik dalam perencanaan dan pembuatan keputusan tentang sebuah proyek membuat proyek tersebut dapat diterima stakeholders dan dilaksanakan dengan sukses. Apabila keputusan-keputusan tentang proyek diambil hanya oleh birokrat dan politisi, akan muncul penolakan dan ketidakpercayaan dari pihak masyarakat. Masyarakat tidak percaya kepada pemerintah. Banyak sekali hal yang dipertentangkan, sehingga begitu pemerintah berbuat sesuatu, pasti akan ditentang.

Dari manakah timbulnya ketidakpercayaan dan pertentangan ini? Adalah dari pemerintah yang selama beberapa dekade terakhir ini tidak percaya kepada warganya. Adalah dari pendekatan para teknokrat secara top-down kepada kebijakan publik. Adalah hasil dari peraturan yang sampai sekarang masih bersifat otoriter dan sentralistik. Kenyataannya adalah bahwa selama beberapa dekade terakhir ini, kebijakan pemerintah diputuskan oleh para teknokrat, staff ahli dan birokrat, jauh dari pemikiran civil society. Semua keputusan adalah hak dan monopoli pemerintah. Pemerintah merasa mereka lebih banyak tahu daripada masyarakat.

Akan tetapi, oleh karena ketidakpercayaan yang tadi itu, dan kurangnya rasa penghargaan dari segi masyarakat, banyak NGO dan forum warga diabaikan dan pada akhirnya hanya bisa mengekspresikan sesuatu melalui protes dan penolakan. Pemerintah harus ingat bahwa para reformis ini tidak terbiasa dengan lingkungan pelaksanaan kebijakan ---mereka belum biasa atas waktu dan proses yang dibutuhkan untuk menangani ketidak-berdayaan pemerintah, mereka belum berpendidikan dalam menggunakan instrumen berpolitik untuk mencapai perubahan, dan mereka belum terbiasa dengan bahasa dan budaya birokrasi--- Hasil dari semua itu adalah salah pengertian, perlawanan dan kadangkala konflik. Adalah tugas pemerintah untuk membentuk forum publik, dimana kebijakan yang sangat sulit diterima dapat didiskusikan secara terbuka dan tenang, tanpa perasaan tertekan maupun diserang.

Adanya peran-peran penting NGO dalam mendampingi stakeholders publik, dan peran lembaga pemerintah yang lebih tinggi dalam menjembatani ketegangan antara elemen pelaku pembangunan, terbukti berhasil membuat terobosan-terobosan penting, sehingga kebuntuan yang berlarut-larut bisa diatasi, rencana proyek yang terkatung-katung bisa diproses kembali. Dialog publik dan pertemuan antara pemerintah juga memberi dampak terhadap kelancaran proyek itu sendiri karena ternyata dengan adanya kesepahaman semacam itu partisipasi masyarakat dan pemerintah menjadi kian tinggi. Proses dialog antar berbagai elemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan proyek itu ternyata membawa implikasi penting yaitu adanya sense of belonging terhadap program yang direncanakan.

Untuk menuju pada hasil tersebut memang harus dilalui berbagai proses, dengan prinsip-prinsip, strategi, mekanisme, dan model pendekatan yang berbeda. Bagaimanapun besarnya perbedaan pendapat, bila substansi proyek sendiri memang benar-benar merupakan upaya untuk mensejahterakan masyarakat, maka jalan penyelesaian atau titik temu akan bisa tercapai. Sebuah proyek yang sama sekali tidak ada manfaatnya bisa digugurkan, jika stakeholders menghendaki. Dari situ kelihatan bahwa partisipasi sosial menjadi sangat penting. Karena itu, pelibatan publik dalam sebuah proyek adalah soal politik atau kebijakan dan bukan semata-mata persoalan teknis. Disini pemerintah dituntut berbagi wewenang dengan masyarakat, karena pelibatan publik saat ini sangat berbeda dengan perencanaan partisipatif yang selama ini digunakan sebagai proses bottom-up planning.

Pembagian otoritas antara pemerintah dengan masyarakat akan menghasilkan keputusan yang optimal, baik dilihat dari kepentingan masyarakat maupun kepentingan pemerintah. Memang sering muncul anggapan bahwa pelibatan publik akan memakan ongkos, waktu dan energi yang lebih banyak, tetapi dalam jangka panjang justru akan menghemat biaya ekonomi dan politik. Terbukti banyak kasus menunjukkan bahwa pelibatan publik yang benar malah bisa membuat pemerintah terhindar dari adanya penolakan-penolakan keputusan oleh masyarakat, yang mengakibatkan sebuah proyek menjadi terbengkalai.

Demikian pula dikalangan para stakeholders sendiri perlu ada pengertian yang sama tentang pelibatan publik, apa tujuannya, targetnya, otoritasnya, dan bagaimana prosesnya. Tanpa ada kesamaan pandangan maka proses maupun hasil pelibatan publik tak akan jelas arah yang ingin dicapai. Karena itu penegasan bahwa tujuan pelibatan publik adalah untuk pengambilan keputusan bersama (joint decision making with public) sangat perlu ditetapkan dari awal. Kalau tidak, pelibatan publik akan terjatuh dalam dua hal: Pertama, menjadi formalitas belaka, dilakukan sekedar untuk memenuhi tuntutan penyandang dana proyek. Kedua, sekedar memberikan masukan kepada para pengambil keputusan. Dengan kata lain pelibatan publik hanya menjadi alat legitimasi pemerintah untuk mengambil keputusan.

Pada dasarnya pelibatan publik adalah suatu proses dialog dan negosiasi antara kepentingan semua stakeholders untuk memperoleh keputusan yang optimal. Dasar dari proses dialog tersebut adalah: terbuka, demokratis dan rasional. Dalam kegiatan pelibatan publik, pihak pemerintah harus diwakili oleh decision maker (bukan aparat teknis) yang bersedia memberikan informasi secara terbuka serta berbagi otoritas dengan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Sementara masyarakat sebagai stakeholders dituntut untuk dapat mengorganisir diri dan sedapat mungkin bisa memperoleh informasi tentang suatu masalah dengan sangat baik. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari distorsi didalam keterwakilan mereka dan distorsi informasi dalam setiap tahapan pelaksanaan pelibatan publik.

Proses pelibatan publik ini perlu dilakukan secara berkesinambungan, mulai tahap-tahap ketika keberadaan proyek tersebut belum diputuskan sampai pengawasan pada saat proyek itu berlangsung. Dengan pelibatan dan perencanaan, maka diharapkan masyarakat juga akan terlibat dalam pemeliharaan. Tanpa mengurangi esensi kegiatan pelibatan publik, kegiatan pelibatan publik perlu dilembagakan dan memperoleh dasar hukum yang bersifat mengikat, baik bagi birokrasi pemerintahan maupun masyarakat, sehingga dapat digerakkan setiap waktu.

Dalam proses ini peran NGO sebagai lembaga pendamping masyarakat sangat diperlukan. Pelembagaan keterlibatan publik bukan sekedar mengorganisir kekuatan publik, tetapi lebih pada memperkuat tradisi pelibatan publik, sehingga ia akan muncul dimana saja secara spontan tanpa harus ada desakan dari luar apalagi menunggu terjadinya konflik atau kebuntuan. Kondisi ini dikembangkan dalam proses pendampingan. Dengan adanya kontrol dari publik, maka pelaksanaan proyek demi proyek atau pembangunan yang hanya memenuhi kebutuhan pelaksana proyek saja tetapi merugikan masyarakat, bisa dihindari. Sepanjang pengalaman yang diperoleh menunjukkan bahwa mekanisme pelibatan publik walaupun memakan waktu, tetapi jauh lebih murah dan lebih efisien baik secara ekonomis dan secara waktu ketimbang proyek yang tanpa melibatkan publik. Banyak contoh membuktikan, bahwa proyek yang tidak melibatkan publik dipastikan akan mengalami pertentangan panjang, dan ketika menimbulkan apatisme masyarakat, proyek akan rusak karena tidak dirawat, sementara rehabilitasinya tentu akan menelan biaya yang jauh lebih besar.

*Direktur Eksekutif LANSKAP