Minggu, 24 Februari 2008

Incumbent dan Pilkada

KEPALA daerah yang tengah memerintah (incumbent) masih mempunyai peluang lebih besar dalam memenangkan Pilkada. Dari pelaksanaan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 62.2% kepala daerah incumbent yang maju dalam Pilkada berhasil menang. Posisi incumbent, menguntungkan bagi kandidat. Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas.

Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk mengenalkan diri kepada masyarakat.

Upaya membuat Pilkada lebih fair dan calon yang bertarung bisa berkopetisi secara lebih berimbang, selama ini kurang menyentuh hal-hal yang substansial, seperti larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial. Misalnya dengan memberi ruang sebesar-besarnya bagi setiap orang agar mempunyai kesempatan bertarung dalam Pilkada.

Banyak orang berharap ketika kepala daerah dipilih secara langsung, Juni 2005. Salah satu harapan itu adalah terjadinya rotasi kekuasaan. Orang-orang terbaik di daerah diharapkan dapat mengisi jabatan kepala daerah. Kesempatan itu dinilai lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Maklum, sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka yang akhirnya terpilih sebagai kepala daerah dinilai sebagai hasil dari lobi politik dan politik uang (money politics) daripada upaya yang sungguh-sungguh untuk memilih orang terbaik di daerah.

Dari Juni 2005 - Desember 2006, Pilkada telah dilangsungkan di 296 wilayah di seluruh Indonesia. Dari Pilkada yang telah lewat itu, kita bisa mengevaluasi apakah harapan terjadinya rotasi kekuasaan itu terwujud ataukah tidak. Atau sebaliknya, Pilkada tetap dikuasai oleh pemain dan tokoh politik lama.

Incumbent Kepala Daerah

Pelaksanaan Pilkada selama ini diramaikan dengan tampilnya kembali incumbent kepala daerah (pejabat yang tengah memerintah). Dari wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 230 orang kepala daerah incumbent (78.77%) maju kembali mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Hanya 62 orang (21.23%) yang tidak maju sebagai calon.

Seberapa besar peluang kepala daerah incumbent terpilih kembali? Peluang kepala daerah incumbent ternyata sangat besar. Dari 230 kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai calon kepala daerah, sebanyak 143 orang (62.17%) menang dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Sisanya, sebanyak 87 orang (37.83%) kalah dari lawan lain.

Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung.
Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Popularitas adalah modal utama bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung seperti Pilkada.

Pemilih
pertama-tama akan memilih kandidat yang dikenal, paling tidak pernah didengar. Sebagus apapun kualitas dari kandidat tidak akan banyak membantu jikalau kandidat tidak dikenal oleh pemilih. Aspek popularitas ini dengan mudah bisa didapat oleh kepala daerah incumbent. Foto-foto kepala daerah biasa ditempel di kantor-kantor kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Nama kepala daerah juga tiap hari muncul di media lokal.Pelaksanaan

Pilkada hingga Desember 2006, menunjukkan
beberapa hal yang menarik. Kerap kali kepala daerah incumbent diserang dengan berbagai isu (misalnya korupsi) tetapi ternyata tidak menghalangi kemenangan kembali kepala daerah. Bahkan di sejumlah wilayah ada kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, ternyata tetap bisa melenggang kembali sebagai kepala daerah. Ada juga kandidat kepala daerah yang secara jelas melakukan kesalahan (seperti melakukan pemalsuan ijazah, pelecehan seksual belum lagi yang didera isu penodaan agama, ternyata tetap bisa memenangkan Pilkada dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Bahkan kerap kali kepala daerah yang tersangkut berbagai isu dan masalah, memenangkan Pilkada dengan kemenangan telak.

Fakta ini kemungkinan menunjukkan, kepala daerah incumbent satu-satunya tokoh yang cukup kuat (terutama dari segi popularitas) di daerah tersebut. Berbagai serangan tidak cukup menyurutkan pemilih untuk kembali memilih kepala daerah incumbent. Karena tidak ada tokoh alternatif lain yang sekuat kepala daerah incumbent. Hal ini menyebabkan banyak kepala daerah yang sebenarnya kualitasnya tidak bagus (kinerja selama memerintah buruk atau tersangkut dengan berbagai kasus) ternyata tetap bisa terpilih kembali sebagai kepala daerah.

Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala
daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Semuanya itu bisa dilakukan secara legal dan tanpa perlu mengeluarkan uang. Kunjungan dinas ke daerah-daerah bisa menggunakan uang dari pemerintah daerah. Staf dan karyawan juga bisa didayagunakan untuk membantu kemenangan kandidat. Kepala daerah incumbent yang “kreatif” bisa merancang berbagai program (terutama menjelang pemilihan) yang bisa mengesankan dirinya sebagai kepala daerah yang berhasil dan peduli dengan rakyat. Misalnya dengan merancang berbagai program yang populis seperti pembagian sembako gratis, bantuan pembangunan rumah ibadah dan sebagainya.


Berdasar perolehan suara yang didapat dalam Pilkada, kita bisa membagi kekuatan kepala daerah incumbent itu ke dalam tiga bagian. Pertama, kepala daerah dengan kekuatan sangat kuat. Ini ditandai dengan perolehan suara sangat besar (di atas 75%). Lebih dari ¾ pemilih memilih kepala daerah incumbent.

Kepala daerah yang kuat ini tampak memili
ki ciri-ciri yang sama. Mereka mempunyai dominasi yang kuat di daerah, bukan hanya politik tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya. Dominasi di bidang politik umumnya ditandai dengan jabatan kepala daerah yang merangkap sebagai ketua partai politik di daerah. Ini juga ditambah dengan kekuatan penunjang lain, misalnya tokoh masyarakat (ulama), anak dari tokoh terkenal di daerah dan sebagainya.

Dominasi
yang kuat ini menyebabkan tidak ada tokoh alternatif yang kuat atau paling tidak bisa mengimbangi tokoh-tokoh tersebut. Yang tidak bisa dilupakan, kepala daerah yang kuat ini juga mempunyai prestasi yang baik di mata masyarakat. Karena posisi yang kuat, kandidat kepala daerah ini sukar mencari tandingan.

Kedua, kepala daerah kuat. Kepala daerah ini memang memenangkan Pilkada di wilayah masing-masing, tetapi dengan perolehan suara yang tidak telak. Ketiga, kepala daerah lemah. Ini ditandai dengan perolehan suara yang kecil. Ada kepala daerah incumbent yang akhirnya menang, tetapi selisih dengan calon lain sangat kecil (di bawah 5%). Jika kepala daerah incumbent ini masih tetap bisa memenangkan Pilkada, kemungkinan karena strategi yang baik. Atau karena tidak ada calon alternatif lain yang lebih baik. Tetapi jika ada calon alternatif lain di daerah itu (misalnya tokoh agama, tokoh politik lokal yang kuat), kemungkinan besar kepala daerah incumbent akan kalah.


Kampanye Permanen

Fenomena terpilihnya kembali pejabat yang tengah memerintah untuk periode berikutnya, bukanlah khas Indonesia. Di Amerika misalnya, tingkat keberhasilan pejabat yang tengah memerintah untuk terpilih kembali juga sangat tinggi. Misalnya untuk legislator. Rata-rata Sekitar 90% anggota dewan (house of representatives) dan 80% senator terpilih kembali untuk periode berikutnya (Wayne P. Steger, 2001). Sama dengan di Indonesia, pejabat yang tengah memerintah mempunyai keuntungan lebih yang tidak dipunyai oleh orang baru.


Pertama, keuntungan finansial. Sejumlah keperluan (seperti biaya komunikasi dengan konstituen, perjalanan, biaya kantor, dsb) bisa ditutupi dengan memakai anggaran yang telah disediakan oleh negara sebagai legislator.
Legislator yang tengah menjabat (incumbent) ini juga bisa mendayagunakan fasilitas yang dipunyai seperti staf ahli, administrasi, dan fasilitas penunjang kantor lain. Dengan kemudahan dalam hal finansial dan perlengkapan itu, legislator yang tengah memerintah punya kesempatan melakukan kampanye secara terus menerus sepanjang waktu.


Kedua, dengan posisinya sebagai legislator yang tengah memerintah, ia punya akses lebih besar dalam mendapatkan sumber dana. Sebab penyumbang yang potensial lebih suka mendonasikan uangnya untuk legislator yang tengah memerintah dibandingkan dengan calon anggota legislator. Di luar itu, anggota legislator (di Amerika) juga melakukan kampanye secara terus menerus. Anggota legislator menjalankan perannya memperjuangkan aspirasi pemilih, dan sekaligus berkampanye untuk dirinya sendiri guna menghadapi pemilihan periode selanjutnya.


Fenomena pejabat incumbent yang maju kembali dalam
pemilihan ini, telah menjadi salah satu bidang garapan dan kajian yang menarik oleh para ahli. Para ahli pemasaran politik menyebut pola pemasaran politik bagi pejabat yang tengah memerintah ini sebagai kampanye permanen atau the permanent campaign (lihat misalnya Dan Nimmo, 2001; Darren G. Lilleker dan Jannifer Lees-Marshment, 2005). Disebut kampanye permanen karena, semua aktivitas pejabat yang tengah memerintah (incumbent) pada dasarnya adalah kampanye.


Mereka menjalankan tugasnya
sebagai pejabat dan pada saat bersamaan, secara tidak langsung juga melakukan kampanye. Mengunjungi masyarakat, memberikan informasi dan menyajikan tanggapan atas pertanyaan masyarakat, meresmikan sebuah proyek adalah bagian dari tugas seorang pejabat. Aktivitas tersebut secara bersamaan juga bisa dikemas untuk menjual diri kandidat. Pendeknya, jika kandidat lain hanya berkampanye menjelang pemilihan, pejabat yang tengah memerintah ( disadari atau tidak) telah berkampanye selama 5 tahun menjabat. Tidak mengherankan jikalau potensi kemenangan dari incumbent ini jauh lebih besar dibandingkan dengan orang baru.


Fenomena ini memang kerap dikritik. Wayne P. Steger (2001) misalnya menyatakan banyaknya incumbent yang terus menerus terpilih kembali ini sebagai gejala tidak sehatnya demokrasi di Amerika. Tetapi itulah kenyataannya. Karena itu, ada berbagai upaya yang dilakukan agar orang-orang baru ( yang mungkin lebih baik) tetap mendapat kesempatan. Arena seperti konvensi yang rutin dilakukan oleh partai-partai politik di Amerika adalah salah satu upaya untuk menyediakan panggung agar pemilihan tidak hanya didominasi oleh orang-orang lama.


Di Indonesia, fenomena incumbent dalam Pilkada ini juga banyak digugat dan dipertanyakan. Banyak ahli yang menyatakan, adanya incumbent membuat kompetisi pemilihan kepala daerah berlangsung secara tidak imbang dan tidak fair. Sayangnya, berbagai upaya untuk membuat pemilihan kepala daerah yang lebih fair, lebih berimbang, selama ini masih masih berkutat pada hal yang kurang substansial. Sebut misalnya, soal larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah.


Larangan ini memang bertujuan agar pemilihan kepala daerah bisa berlangsung secara adil. Masing-masing kandidat mendapat perlakuan yang sama. Tetapi seperti disinggung di depan, kampanye incumbent pada dasarnya bersifat permanen ( the permanent campaign). Jadi upaya membuat perlakuan yang sama antar kandidat adalah tidak logis, karena incumbent sebenarnya mempunyai kesempatan melakukan kampanye sepanjang pemerintahannya.


Jika kita ingin membuat kompetisi lebih fair (yang nanti pada gilirannya akan menghasilkan pemimpin terbaik), upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial. Misalnya dengan memberi ruang sebesar-besarnya bagi setiap orang agar mempunyai kesempatan bertarung dalam Pilkada, seperti diperbolehkannya calon independen--calon di luar partai politik. Selama ini, pencalonan dilakukan lewat partai politik dan dalam banyak kasus menyulitkan bagi orang yang ingin ikut bertarung dalam Pilkada.


Kekuasaan terbesar dari pejabat yang tengah memerintah (incumbent) justru pada tahap pencalonan ini. Kepala daerah umumnya menguasai basis politik lokal (misalnya dengan menjadi ketua umum dari partai politik di tingkat lokal). Dengan posisi seperti ini, tokoh-tokoh yang maju dalam Pilkada adalah tokoh atau pejabat lama di pemerintahan daerah.


Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang membolehkan adanya calon independen (calon di luar partai politik) adalah salah satu kasus yang menarik. Pemilihan berlangsung secara berimbang, dan setiap tokoh bisa mempunyai kesempatan untuk menguji dukungan pemilih lewat Pilkada. Cukup banyak kepala daerah incumbent yang kalah dari calon-calon dari independen ini.


Hukuman dan Ganjaran dari Pemilih?


Ada kepala daerah yang tengah memerintah (incumbent) terpilih kembali dalam Pilkada. Tetapi ada juga kepala daerah yang gagal terpilih ketika maju dalam Pilkada. Idealnya, pemilih memberikan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) pada incumbent. Jika seorang pemilih merasa bahwa incumbent itu telah bekerja dengan baik dan memenuhi harapan (kebutuhan) pemilih, ia akan memilih incumbent kembali. Sebaliknya jika dirasa incumbent gagal dalam memenuhi harapan dan pada saat bersamaan ada kandidat lain yang dipandang lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan itu, pemilih tidak akan memilih kembali incumbent.


Dari wilayah yang dianalisis, terlihat ada variasi. Ada daerah di mana pemilih yang menilai incumbent gagal, memberikan hukuman dengan tidak memilih incumbent itu dan sebaliknya memberikan ganjaran kepada incumbent yang berhasil. Tetapi ada wilayah di mana aspek ini belum menjadi perhatian pemilih. Kepala daerah yang dinilai kinerjanya belum atau tidak memuaskan, masih diberi kesempatan untuk memimpin kembali.


Pemilihan umum (termasuk Pilkada) adalah sarana evaluasi bagi pemilih. Lewat Pilkada, pemilih mempunyai kesempatan untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah. Pemilih juga dapat memberikan hukuman bagi pemimpin yang dipandang gagal dengan jalan tidak memilihnya kembali sebagai kepala daerah. Sebaliknya bagi pemimpin yang berhasil, pemilih dapat memberikan ganjaran (reward) berupa dukungan bagi pemimpin itu agar memimpin daerah lima tahun ke depan. Lewat mekanisme ini, kepala daerah dituntut untuk meningkatkan kinerja jikalau ingin terpilih kembali. Hakim tertinggi dari semua proses ini adalah rakyat pemilih.


Mekanisme di atas adalah mekanisme yang ideal, dan dikenal sebagai pendekatan ekonomi politik dalam studi perilaku pemilih. Seseorang memilih kandidat dalam Pilkada misalnya, tidak didasarkan pada kesamaan primordialisme, tetapi didasarkan pada evaluasi terhadap kandidat dan isu yang ditawarkan. Berkaitan dengan incumbent, pendekatan ini menekankan bahwa pemilih akan melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan kandidat kepala daerah incumbent, dan pada saat bersamaan akan mengevaluasi kandidat lain.


Jika seorang pemilih merasa bahwa incumbent itu telah bekerja dengan baik dan memenuhi harapan (kebutuhan) pemilih, ia akan memilih incumbent kembali. Sebaliknya jika dirasa incumbent gagal dalam memenuhi harapan dan pada saat bersamaan ada kandidat lain yang dipandang lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan itu, pemilih tidak akan memilih kembali incumbent.


Secara umum, bagi pemilih di Indonesia posisi sebagai kepala daerah incumbent masih dipandang mempunyai nilai lebih. Survei nasional yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan sebanyak 35.4% responden lebih suka memilih kandidat yang pernah menjadi pejabat. Survei yang sama dengan populasi provinsi Kepulauan Riau menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Alasan yang dikemukakan oleh responden sebagaian besar karena kandidat yang pernah menjadi pejabat mempunyai pengalaman lebih banyak dibandingkan dengan kandidat yang bukan berasal dari pejabat pemerintah.


Potensi Incumbent


Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh kepala daerah incumbent adalah popularitas. Incumbent dikenal oleh pemilih di atas 80 persen. Jika dibandingkan antara popularitas incumbent dengan lawan terkuat (urutan perolehan suara nomor dua dalam Pilkada), incumbent tampak lebih unggul. Tetapi popularitas hanyalah potensi yang harus diolah oleh incumbent. Jika pengenalan pemilih (popularitas) ini bisa dikelola dengan baik, akan menghasilkan tingkat kesukaan yang tinggi dari pemilih.


Tidak semua kandidat incumbent yang dikenal otomatis disukai oleh pemilih. Di Natuna Misalnya. Meskipun incumbent ( Hamid Rizal) dikenal oleh 83.6% pemilih, ternyata hanya 44.5% saja dari pemilih yang suka dengan Hamid Rizal. Demikian juga dengan kandidat incumbent di Sulawesi Utara (Adolf Jouke Sondakh). Meski Sondakh dikenal oleh 86.2% pemilih, ternyata dari mereka yang mengenal (pernah mendengar) AJ Sondakh hanya 53.7% saja yang menyukainya.


Incumbent yang menang dalam Pilkada umumnya mempunyai pola yang mirip, yakni mereka dikenal dan pada saat bersamaan dalam jumlah besar disukai oleh pemilih. Pada akhirnya, pemilih juga akan memberikan preferensi pada kandidat incumbent. Sebaliknya terjadi pada incumbent yang kalah. Meski popularitas kandidat tinggi, tidak diimbangi dengan kesukaan pemilih yang tinggi pula. Sebaliknya, pemilih justru lebih suka pada lawan.


Ekonomi Politik


Jika popularitas dan kesukaan tampak ada pola antara incumbent yang menang dan gagal, tidak demikian dengan aspek penilaian terhadap kinerja incumbent. Secara teoritis, incumbent yang berhasil menang dalam Pilkada dinilai kinerjanya berhasil. Pemilih puas dengan kerja incumbent dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada di daerah. di daerah-daerah di mana incumbent menang, umumnya memang ditandai dengan kepuasan pemilih yang tinggi terhadap kerja incumbent.


Hal yang sama jika kita lihat pada penilaian pemilih terhadap kondisi daerah. Kondisi daerah mencerminkan penilaian pemilih terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh seorang kepala daerah. Penilaian atas kondisi ekonomi, politik, keamanan dan hukum yang baik mencerminkan penilaian pemilih terhadap keberhasilan incumbent.


Dari semua wilayah yang dianalisis, terdapat karakteristik yang sama. Incumbent yang menang selalu ditandai dengan keinginan pemilih untuk dipimpin kembali oleh kepala daerah. Sebaliknya incumbent yang gagal selalu ditandai dengan prosentase pemilih yang menginginkan incumbent menjadi kepala daerah kembali, kecil. Perlu dicatat, analisis dalam tulisan ini masih sederhana dan baru tarap permulaan. Perlu penelitian yang lebih mendalam untuk bisa menjelaskan secara lebih pasti faktor-faktor apa yang menyebabkan keberhasilan dan kegagalan incumbent dalam Pilkada.


Sumber: Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Edisi 02 – Juni 2007.


Pilkada Tangerang