Oleh: Hamdan Baschara*
Deklarasi dukungan terhadap, salah satu Calon Bupati Tangerang oleh kalangan Pendidikan adalah menandai masih kuatnya tangan - tangan kekuasaan dalam upayanya mempertahankan status quo dan kekuasaannya ( Politisasi Guru ) seperti halnya apa yang telah di lakukan oleh Rezim Orde baru. Ada hal yang menarik menghadapi Pilkada di kabupaten Tangerang, kalau di Banyumas dan Daerah lainnya para guru Bersatu melawan arogansi Rezim Kekuasaan, lain hal nya di Kabupaten Tangerang guru beramai ramai mendekati kekuasaan,
Terlepas di politisir atau pun tidak, terlahirnya Pena Ungu yang di bidani oleh para Guru PNS, Guru Bantu dan Sukarelawan yang nota bene termasuk juga Organ pendukung atau Tim Sukses calon Bupati yang berkuasa ( Incumbent ). Hal tersebut mungkin saja artikulasi politik para pendidik di kabupaten Tangerang, namun apakah kawan - kawan yang tergabung dalam Pena Ungu atau organ lainnya merupakan representasi politik para pendidik atau bukan !!
GURU CORONG PERUBAHAN
Guru atau pendidik memiliki peran strategis dalam mengkampanyekan agenda agenda perubahan yang mendasar dalam upaya membangun Bangsa yang bermartabat. Perubahan bukan hanya sekedar mengganti Seorang Pemimpin atau Kepala Daerah saja ( Suksesi kepemimpinan ) akan tetapi perubahan itu lebih menyentuh pada bagaimana Pelayanan Publik ( Pendidikan dan Kesehatan ) terlayani dengan baik.
Hal tersebut adalah sebuah kebutuhan yang tak bisa di tunda - tunda lagi, mengingat sudah terlalu lama dan capek warga masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan saja harus ke wilayah Kota Tangerang, maka dalam hal ini Guru ( pendidik ) harus berani melakukan preseure group terhadap para Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tangerang untuk juga mengagendakan program prioritasnya memindahkan SKPD-SKPD yang ada di wilayah Kota Tangerang.
Sebagai Insan politik yang mempunyai kedaulatan untuk berserikat atau memilih hal aspirasi politik atau Apresiasi Politik terhadap Incumbent adalah hal yang wajar dalam proses Demokratisasi, namun menjadi ketidakwajaran jika hal tersebut di bangun atas dasar kepentingan Pragmatis saja yang justru menodai dan keluar dari khitoh perjuangan Guru yang Tut Wuri handayani Ing ngarso sang Tulodo. Ada dua hal yang patut di renungkan oleh kawan - kawan Guru yang terlibat dalam Politik Praktis ;
Pertama Guru sudah tidak lagi terjaga independensi / Netralitasnya dalam melakukan proses kegiatan Belajar Mengajar sebagai salah satu upaya gerakan perubahan sejak dini terhadap tata Nilai Kehidupan yang Materialistik, ketika guru sudah terkontaminasi oleh Kepentingan Politik Penguasa, alih - alih yang terjadi adalah Conflick of Interest di kalangan Civitas Pendidikan.
Kedua ; Guru harus di gugu dan di tiru, lantas bagaimanakah dengan anak didik dan warga masyarakat ( Wali Murid ) ketika guru sudah melakukan Kampanye terhadap salah satu pasangan calon Bupati dan wakil Bupati yang oleh para anak didik atau pun wali murid bukan Pilihan yang ideal. Sadarkah guru bahwa sejak Rezim Orde baru hingga saat ini, dalam perjalanan politik Nasional atau pun lokal Peran pendidik selalu termarginalkan dan menjadi corong Politik dari kepentingan Pemerintah dengan memantau pergerakan Pendidik melalui organisasi yang bernama PGRI untuk mempertahankan status quo atau kekuasaannya.
Dalam kondisi tersebut seharusnya Guru dapat mengambil peran perubahan yang substantif dan sistemik dalam Pilkada mendatang, jadikan Pilkada sebagai momentum perubahan terhadap Sistem Birokrasi pendidikan dengan mengawal proses Pilkada melalui Pendidikan Poilitik kepada pemilih pemula dan warga masyarakat sehingga Pilkada bejalan secara bersih , jujur dan niscaya akan lahir pemimpin yang bersih, jujur serta amanah.
NETRALITAS GURU
Dalam Pasal 9 Recommendation Concerning The Status of Teachers oleh UNESCO dan ILO ( Organisasi Buruh Sedunia ) bersama pemerintah termasuk Indonesia (tanggal 5 Oktober 1966) bahwa organisasi Guru hendaklah di akui sebagai suatu kekuatan yang dapat memberikan sumbangan besar dalam kemajuan pendidikan, karena itu guru harus di ikut sertakan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Hasil rekomendasi tersebut membuat Guru dan Organisasinya memiliki Posisi tawar secara politis dalam penentuan kebijakan.
Bagaimana hal nya di Kabupaten Tangerang, sudahkah Pemerintah Daerah dan Guru duduk satu meja merumuskan Kebijakan Pendidikan di Kabupaten Tangerang! Jauh api dari panggang ketika melihat fenomena politik dalam menghadapi Pilkada dari kalangan Guru sudah mulai kehilangan Jatidiri sebagai Pendidik, yang semestinya mendidik kita untuk memilih Pemimpin yang Jujur, Bersih dan Amanah dari semua Kandidat yang muncul (Uji Publik terhadap para kandidat). Lantas bagaimanakah Permasalahan Pendidikan di Kabupaten Tangerang yang patut kita telaah kembali di antaranya:
Pertama, Permasalahan Infrastruktur Pendidikan, yang menurut informasi salah satu anggota DPRD Kabupetan Tangerang terdapat 500 ruang belajar yang tidak layak pakai. Kedua, Rendahnya Aksesibility Pelayanan Pendidikan berdasarkan hasil penilitian yang di lakukan oleh kawan kawan ICW dan Serikat Guru Tangerang mengenai pelayanan Pendidikan bahwa hampir sebagian besar masyarakat tidak tahu akan keberadaan dana BOS ( Bantuan Dana Operasional Sekolah ) dan BOS Buku sehingga karena ketidaktahuan masyarakat tak sedikit sekolah melakukan pungutan Biaya Sekolah. Ketiga rendahnya tingkat Kesejahteraan Guru terutama Guru Sukarelawan dan Guru Bantu. Dari Permasalahan tersebut sudahkah guru menjadikan hal tersebut menadikan agenda utama perjuangannya dalam melakukan bargaining politik terhadap sernua para kandidat.
Dalam kapasitasnya sebagai guru bangsa, pendidik harus menempatkan dirinya sebagai pioneer perubahan dalam mensosialisasikan dan memberikan pendidikan politik dengan tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati. Seperti halnya Aristoteles dan Tan Malaka bahwa tugas seorang Guru adalah melayani dan menemani murid dalam merumuskan pertanyaan - pertanyaan mendasar. Peran Guru dalam melatih kematangan berpikir dan kedewasaan bertindak dalam merumuskan konsep - konsep dasar nilai dan Pranata sosial kehidupan bermasyarakat.
Lantas, apakah jadinya jika guru sudah tidak netral. Di sinilah pentingnya netralitas pendidik dan lembaga pendidikannya sehingga out put dari didikannya melahirkan generasi yang kritis dan dinamis terhadap perubahan peradaban zaman. Maka oleh karena itu guru harus cermat dalam menilai komitmen para kandidat dalam memajukan Pendidikan bukan malah sebaliknya lebih bersikap Oportunis dan Hipokrit. Bukankah Kehidupan Politik hanyalah terfokus pada rente rente ekonomi dan bukan pada kegiatan Produktif, ( Diamond, 1997 ).
* Deputi Jaringan & Pemantauan JANGKAR PILKADA dan Akfivis Serikat Guru Tangerang (SGT).
Deklarasi dukungan terhadap, salah satu Calon Bupati Tangerang oleh kalangan Pendidikan adalah menandai masih kuatnya tangan - tangan kekuasaan dalam upayanya mempertahankan status quo dan kekuasaannya ( Politisasi Guru ) seperti halnya apa yang telah di lakukan oleh Rezim Orde baru. Ada hal yang menarik menghadapi Pilkada di kabupaten Tangerang, kalau di Banyumas dan Daerah lainnya para guru Bersatu melawan arogansi Rezim Kekuasaan, lain hal nya di Kabupaten Tangerang guru beramai ramai mendekati kekuasaan,
Terlepas di politisir atau pun tidak, terlahirnya Pena Ungu yang di bidani oleh para Guru PNS, Guru Bantu dan Sukarelawan yang nota bene termasuk juga Organ pendukung atau Tim Sukses calon Bupati yang berkuasa ( Incumbent ). Hal tersebut mungkin saja artikulasi politik para pendidik di kabupaten Tangerang, namun apakah kawan - kawan yang tergabung dalam Pena Ungu atau organ lainnya merupakan representasi politik para pendidik atau bukan !!
GURU CORONG PERUBAHAN
Guru atau pendidik memiliki peran strategis dalam mengkampanyekan agenda agenda perubahan yang mendasar dalam upaya membangun Bangsa yang bermartabat. Perubahan bukan hanya sekedar mengganti Seorang Pemimpin atau Kepala Daerah saja ( Suksesi kepemimpinan ) akan tetapi perubahan itu lebih menyentuh pada bagaimana Pelayanan Publik ( Pendidikan dan Kesehatan ) terlayani dengan baik.
Hal tersebut adalah sebuah kebutuhan yang tak bisa di tunda - tunda lagi, mengingat sudah terlalu lama dan capek warga masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan saja harus ke wilayah Kota Tangerang, maka dalam hal ini Guru ( pendidik ) harus berani melakukan preseure group terhadap para Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tangerang untuk juga mengagendakan program prioritasnya memindahkan SKPD-SKPD yang ada di wilayah Kota Tangerang.
Sebagai Insan politik yang mempunyai kedaulatan untuk berserikat atau memilih hal aspirasi politik atau Apresiasi Politik terhadap Incumbent adalah hal yang wajar dalam proses Demokratisasi, namun menjadi ketidakwajaran jika hal tersebut di bangun atas dasar kepentingan Pragmatis saja yang justru menodai dan keluar dari khitoh perjuangan Guru yang Tut Wuri handayani Ing ngarso sang Tulodo. Ada dua hal yang patut di renungkan oleh kawan - kawan Guru yang terlibat dalam Politik Praktis ;
Pertama Guru sudah tidak lagi terjaga independensi / Netralitasnya dalam melakukan proses kegiatan Belajar Mengajar sebagai salah satu upaya gerakan perubahan sejak dini terhadap tata Nilai Kehidupan yang Materialistik, ketika guru sudah terkontaminasi oleh Kepentingan Politik Penguasa, alih - alih yang terjadi adalah Conflick of Interest di kalangan Civitas Pendidikan.
Kedua ; Guru harus di gugu dan di tiru, lantas bagaimanakah dengan anak didik dan warga masyarakat ( Wali Murid ) ketika guru sudah melakukan Kampanye terhadap salah satu pasangan calon Bupati dan wakil Bupati yang oleh para anak didik atau pun wali murid bukan Pilihan yang ideal. Sadarkah guru bahwa sejak Rezim Orde baru hingga saat ini, dalam perjalanan politik Nasional atau pun lokal Peran pendidik selalu termarginalkan dan menjadi corong Politik dari kepentingan Pemerintah dengan memantau pergerakan Pendidik melalui organisasi yang bernama PGRI untuk mempertahankan status quo atau kekuasaannya.
Dalam kondisi tersebut seharusnya Guru dapat mengambil peran perubahan yang substantif dan sistemik dalam Pilkada mendatang, jadikan Pilkada sebagai momentum perubahan terhadap Sistem Birokrasi pendidikan dengan mengawal proses Pilkada melalui Pendidikan Poilitik kepada pemilih pemula dan warga masyarakat sehingga Pilkada bejalan secara bersih , jujur dan niscaya akan lahir pemimpin yang bersih, jujur serta amanah.
NETRALITAS GURU
Dalam Pasal 9 Recommendation Concerning The Status of Teachers oleh UNESCO dan ILO ( Organisasi Buruh Sedunia ) bersama pemerintah termasuk Indonesia (tanggal 5 Oktober 1966) bahwa organisasi Guru hendaklah di akui sebagai suatu kekuatan yang dapat memberikan sumbangan besar dalam kemajuan pendidikan, karena itu guru harus di ikut sertakan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Hasil rekomendasi tersebut membuat Guru dan Organisasinya memiliki Posisi tawar secara politis dalam penentuan kebijakan.
Bagaimana hal nya di Kabupaten Tangerang, sudahkah Pemerintah Daerah dan Guru duduk satu meja merumuskan Kebijakan Pendidikan di Kabupaten Tangerang! Jauh api dari panggang ketika melihat fenomena politik dalam menghadapi Pilkada dari kalangan Guru sudah mulai kehilangan Jatidiri sebagai Pendidik, yang semestinya mendidik kita untuk memilih Pemimpin yang Jujur, Bersih dan Amanah dari semua Kandidat yang muncul (Uji Publik terhadap para kandidat). Lantas bagaimanakah Permasalahan Pendidikan di Kabupaten Tangerang yang patut kita telaah kembali di antaranya:
Pertama, Permasalahan Infrastruktur Pendidikan, yang menurut informasi salah satu anggota DPRD Kabupetan Tangerang terdapat 500 ruang belajar yang tidak layak pakai. Kedua, Rendahnya Aksesibility Pelayanan Pendidikan berdasarkan hasil penilitian yang di lakukan oleh kawan kawan ICW dan Serikat Guru Tangerang mengenai pelayanan Pendidikan bahwa hampir sebagian besar masyarakat tidak tahu akan keberadaan dana BOS ( Bantuan Dana Operasional Sekolah ) dan BOS Buku sehingga karena ketidaktahuan masyarakat tak sedikit sekolah melakukan pungutan Biaya Sekolah. Ketiga rendahnya tingkat Kesejahteraan Guru terutama Guru Sukarelawan dan Guru Bantu. Dari Permasalahan tersebut sudahkah guru menjadikan hal tersebut menadikan agenda utama perjuangannya dalam melakukan bargaining politik terhadap sernua para kandidat.
Dalam kapasitasnya sebagai guru bangsa, pendidik harus menempatkan dirinya sebagai pioneer perubahan dalam mensosialisasikan dan memberikan pendidikan politik dengan tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati. Seperti halnya Aristoteles dan Tan Malaka bahwa tugas seorang Guru adalah melayani dan menemani murid dalam merumuskan pertanyaan - pertanyaan mendasar. Peran Guru dalam melatih kematangan berpikir dan kedewasaan bertindak dalam merumuskan konsep - konsep dasar nilai dan Pranata sosial kehidupan bermasyarakat.
Lantas, apakah jadinya jika guru sudah tidak netral. Di sinilah pentingnya netralitas pendidik dan lembaga pendidikannya sehingga out put dari didikannya melahirkan generasi yang kritis dan dinamis terhadap perubahan peradaban zaman. Maka oleh karena itu guru harus cermat dalam menilai komitmen para kandidat dalam memajukan Pendidikan bukan malah sebaliknya lebih bersikap Oportunis dan Hipokrit. Bukankah Kehidupan Politik hanyalah terfokus pada rente rente ekonomi dan bukan pada kegiatan Produktif, ( Diamond, 1997 ).
* Deputi Jaringan & Pemantauan JANGKAR PILKADA dan Akfivis Serikat Guru Tangerang (SGT).