Oleh : Gatot Yan. S*
Dalam sebuah kesempatan kampanye pada pilkada Banten tahun lalu, seorang kandidat pernah melontarkan janji untuk mengubah mesin birokrasi yang selama ini lambat dan tidak efisien. Sayangnya, dia tidak menjelaskan lebih jauh tentang strategi membangun birokrasi yang profesional, target yang harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detil (action plan) dari program reformasi birokrasi tersebut. Hampir disetiap momen kampanye, isu pembenahan administrasi publik nampaknya terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pendidikan dan pengangguran, serta masalah pemulihan stabilitas ekonomi makro.
Namun sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi tidak kalah mendesak dibanding dengan pembenahan di bidang lainnya. Beberapa alasan yang mendasari perlunya dilakukan reformasi birokrasi secara segera, antara lain adalah tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara. Bahkan hasil survei Transparency International Indonesia menyatakan bahwa parlemen kita (DPR & DPRD), merupakan lembaga terkorup pada 2006. Dalam skala indeks korupsi itu, parlemen mendapatkan nilai tertinggi, yakni 4,2 dari indeks 1 sampai 5.
Gambaran umum tersebut berakar dari permasalahan yang menjadi titik sentral yaitu antara lain masih sangat lemahnya fungsi penyelenggara pemerintahan baik di fungsi Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, yang pada gilirannya telah menyebabkan tidak mampunya daerah menyelenggarakan suatu kepemerintahan yang baik. Secara langsung maupun tidak langsung, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi dan kualitas SDM Aparatur yang rendah.
Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat proses pembangunan. Dengan kata lain, dalam kinerja mikro pembangunan daerah yang memprihatinkan tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Good governance di tingkat daerah dapat terlaksana bukan melalui peraturan yang bertele-tele dan perencanaan yang sulit, tetapi melalui keteladanan dan adanya pemimpin yang berani melakukan terobosan. Untuk dapat berlari jauh, kita harus mulai dari satu langkah. Itulah tindakan nyata yang dilakukan oleh para gubernur, bupati dan walikota yang berhasil membangun daerah dan menyejahterakan rakyatnya.
Pemberlakukan aturan pilkada langsung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memang termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebenarnya bukan hanya akan mengeleminir konspirasi-konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah, namun juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi.
Namun, pemberlakukan itu belum tentu bisa menjamin akan mampu menjaring kepala daerah berkualitas dan mendorong terjadinya reformasi di tingkat birokrasi. Kenapa demikian? Karena masih ada beberapa kendala krusial yang bisa menghambat terwujudkan pilkada langsung demokratis. Kendala krusial itu antara lain adalah;
1.Lembaga Demokrasi Belum Menjadi Alat Demokrasi yang Baik
Terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas selama masa transisi ini belum menunjukkan adanya kerangka kuat untuk mewujudkan kemapanan budaya demokrasi. Tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi ternyata belum bisa membangkitkan pilar-pilar demokrasi yang kokoh. Artinya, lembaga-lembaga demokrasi yang ada belum bisa menjadi alat demokrasi yang baik.
Perlu dicatat bahwa yang mendorong pembangunan politik bukanlah banyaknya jumlah partai politik yang muncul, melainkan tergantung kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian dalam menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Tapi, jika melihat sepak terjang aktor-aktor keterwakilan dalam lembaga parlemen dan partai politik selama masa transisi ini, terkesan masih carut marut serta mengalami ketimpangan dan cenderung menegasikan aspirasi publik.
Ketika pemerintah pusat sudah mulai membagikan kewenangannya kepada pemerintah daerah melalui pelaksanaan Otonomi, partai politik justru masih bersifat sentralistik hingga para pengurus partai di tingkat lokal tetap terhegemoni oleh kepentingan sempit pengurus partai di tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya, kemungkinan terjadinya tarik-menarik kepentingan di tingkatan internal partai politik bisa menciptakan kerawanan akan terjadi konflik yang dapat menimbulkan kekerasan di tingkat massa pendukung partai.
2.Sifat Partisipasi Politik Masyarakat Masih Tradisional
Pemerintahan sentralistik-militeristik dan kebijakan massa mengambang yang diterapkan Orde Baru selama 32 tahun rupanya benar-benar telah melumpuhkan wacana demokrasi dalam kehidupan masyarakat hingga menyingkirkan praktik-praktik seleksi kepemimpinan secara fair yang berdasarkan kompetensi, kapabilitas, dan integritas individu. Sementara pendidikan kewarganegaraan (civic education) selama masa transisi demokrasi ini belum diikuti peningkatan partisipasi politik masyarakat yang cukup signifikan dalam mendorong terwujudnya Good Governance di pemerintahan lokal.
Pengaruh budaya sungkan dalam mengeluarkan pendapat atau kritik, dan rendahnya tingkat pendidikan serta kondisi perokonomian masyarakat masih menjadi penghambat upaya pembangunan kekuatan civil society sebagai pilar demokrasi. Padahal, tingkat partisipasi politik masyarakat yang benar-benar belum otonom hanya akan mewujudkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dimobilisasi. Hal ini jelas sangat berpotensi menjadi sasaran manipulasi atau rekayasa pihak tertentu yang bisa menimbulkan konflik horisontal antar kelompok politik.
3.Aturan Hukum Pilkada Langsung Masih Lemah
Proses penyusunan aturan hukum pilkada langsung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang kurang transparan dan tidak melibatkan publik secara luas, sempat dipertanyakan berbagai pihak. Sementara aturan yang terkandung di dalamnya ternyata dianggap masih menyimpan banyak kekurangan. Mengenai pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD (Pasal 57) misalnya, tidak ada penjelasan lebih jauh soal ruang lingkup pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD.
Meskipun KPUD masih memiliki hak membuat Keputusan untuk menjalankan hal-hal strategis dalam pelaksanaan Pilkada, namun substansi, tahapan, persyaratan dan hal-hal teknis lainnya telah diatur secara amat rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang dari 64 pasal dialokasikan untuk mengatur masalah pemilihan Kepala Daerah. Padahal, aturan-aturan teknis penyelenggaraan pilkada langsung ini semestinya dilakukan oleh (diserahkan kepada) KPUD. Dengan kata lain, UU Pemda ini secara dini telah membatasi discretionary of power dari KPUD.
Di sisi lain, kewenangan DPRD dalam melakukan pengawasan kepada semua tahapan pilkada dan membentuk panwas pilkada juga memunculkan kekhawatiran adanya tekanan politik (political pressure) dari parpol di DPRD kepada KPUD. Pasalnya, DPRD adalah kumpulan Partai Politik yang mengusulkan calon Kepala Daerah dan sudah barang tentu punya kepentingan besar dalam memenangkan calonnya tersebut.
Pendek kata, ketiga permasalahan di atas berpotensi menimbulkan benturan-benturan kepentingan antar massa pendukung calon kepala daerah. Di sisi lain, peluang terjadinya praktik money politics dalam pilkada juga masih tetap terbuka lebar, ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada, dan ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa kepala daerah yang terpilih secara demokratis, akan lebih berkonsentrasi pada pengembalian modal/pinjaman ketimbang membangun daerah yang diwakilinya.
Persoalannya adalah; Sanggupkah semua elemen demokrasi di tingkat lokal siap menata diri dan menghilangkan perilaku-perilaku anti-demokrasi guna membangun semangat democratic civility (keadaban demokrasi) untuk mewujudkan pilkada demokratis guna menjaring kepala daerah berkualitas dalam rangka melanjutkan Governance Reform?
Dalam konteks ini, peran LSM/NGO menjadi teramat penting, para aktivis NGO perlu memperkuat jaringan dan kapasitasnya dalam mendorong terselenggaranya Pilkada Langsung yang demokratis untuk menjaring Kepala Daerah berkualitas. Artinya, para aktivis NGO harus memperkuat posisi politik dan jaringannya sebagai kekuatan tanding dalam memantau Pilkada agar berlangsung demokratis. Para aktivis NGO juga perlu meningkatkan sinergisitasnya dengan media massa/jurnalis guna melakukan Voter Education bagi masyarakat pemilih yang tradisional.
Dalam hal ini, Pemantau Pilkada setidaknya punya tangung jawab untuk memperkuat posisi civil society, khususnya dalam meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat Tangerang yang kini baru merangkak belajar demokrasi. Singkat kata, selama partisipasi politik masyarakat tidak diperbaiki dan hanya selalu menjadi obyek mobilisasi bagi para elit, Pembaharuan, Perubahan, Kemajuan, atau apapun namanya hanya akan menjadi mimpi belaka. Apalagi, jika Civilian Supremacy hanya dijadikan basa-basi politik, mau tak mau, kelak akan ada bom waktu sosial-lagi yang meledak. Bagaimana?
* Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik (LANSKAP).
Dalam sebuah kesempatan kampanye pada pilkada Banten tahun lalu, seorang kandidat pernah melontarkan janji untuk mengubah mesin birokrasi yang selama ini lambat dan tidak efisien. Sayangnya, dia tidak menjelaskan lebih jauh tentang strategi membangun birokrasi yang profesional, target yang harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detil (action plan) dari program reformasi birokrasi tersebut. Hampir disetiap momen kampanye, isu pembenahan administrasi publik nampaknya terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pendidikan dan pengangguran, serta masalah pemulihan stabilitas ekonomi makro.
Namun sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi tidak kalah mendesak dibanding dengan pembenahan di bidang lainnya. Beberapa alasan yang mendasari perlunya dilakukan reformasi birokrasi secara segera, antara lain adalah tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara. Bahkan hasil survei Transparency International Indonesia menyatakan bahwa parlemen kita (DPR & DPRD), merupakan lembaga terkorup pada 2006. Dalam skala indeks korupsi itu, parlemen mendapatkan nilai tertinggi, yakni 4,2 dari indeks 1 sampai 5.
Gambaran umum tersebut berakar dari permasalahan yang menjadi titik sentral yaitu antara lain masih sangat lemahnya fungsi penyelenggara pemerintahan baik di fungsi Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, yang pada gilirannya telah menyebabkan tidak mampunya daerah menyelenggarakan suatu kepemerintahan yang baik. Secara langsung maupun tidak langsung, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi dan kualitas SDM Aparatur yang rendah.
Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat proses pembangunan. Dengan kata lain, dalam kinerja mikro pembangunan daerah yang memprihatinkan tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Good governance di tingkat daerah dapat terlaksana bukan melalui peraturan yang bertele-tele dan perencanaan yang sulit, tetapi melalui keteladanan dan adanya pemimpin yang berani melakukan terobosan. Untuk dapat berlari jauh, kita harus mulai dari satu langkah. Itulah tindakan nyata yang dilakukan oleh para gubernur, bupati dan walikota yang berhasil membangun daerah dan menyejahterakan rakyatnya.
Pemberlakukan aturan pilkada langsung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memang termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebenarnya bukan hanya akan mengeleminir konspirasi-konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah, namun juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi.
Namun, pemberlakukan itu belum tentu bisa menjamin akan mampu menjaring kepala daerah berkualitas dan mendorong terjadinya reformasi di tingkat birokrasi. Kenapa demikian? Karena masih ada beberapa kendala krusial yang bisa menghambat terwujudkan pilkada langsung demokratis. Kendala krusial itu antara lain adalah;
1.Lembaga Demokrasi Belum Menjadi Alat Demokrasi yang Baik
Terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas selama masa transisi ini belum menunjukkan adanya kerangka kuat untuk mewujudkan kemapanan budaya demokrasi. Tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi ternyata belum bisa membangkitkan pilar-pilar demokrasi yang kokoh. Artinya, lembaga-lembaga demokrasi yang ada belum bisa menjadi alat demokrasi yang baik.
Perlu dicatat bahwa yang mendorong pembangunan politik bukanlah banyaknya jumlah partai politik yang muncul, melainkan tergantung kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian dalam menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Tapi, jika melihat sepak terjang aktor-aktor keterwakilan dalam lembaga parlemen dan partai politik selama masa transisi ini, terkesan masih carut marut serta mengalami ketimpangan dan cenderung menegasikan aspirasi publik.
Ketika pemerintah pusat sudah mulai membagikan kewenangannya kepada pemerintah daerah melalui pelaksanaan Otonomi, partai politik justru masih bersifat sentralistik hingga para pengurus partai di tingkat lokal tetap terhegemoni oleh kepentingan sempit pengurus partai di tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya, kemungkinan terjadinya tarik-menarik kepentingan di tingkatan internal partai politik bisa menciptakan kerawanan akan terjadi konflik yang dapat menimbulkan kekerasan di tingkat massa pendukung partai.
2.Sifat Partisipasi Politik Masyarakat Masih Tradisional
Pemerintahan sentralistik-militeristik dan kebijakan massa mengambang yang diterapkan Orde Baru selama 32 tahun rupanya benar-benar telah melumpuhkan wacana demokrasi dalam kehidupan masyarakat hingga menyingkirkan praktik-praktik seleksi kepemimpinan secara fair yang berdasarkan kompetensi, kapabilitas, dan integritas individu. Sementara pendidikan kewarganegaraan (civic education) selama masa transisi demokrasi ini belum diikuti peningkatan partisipasi politik masyarakat yang cukup signifikan dalam mendorong terwujudnya Good Governance di pemerintahan lokal.
Pengaruh budaya sungkan dalam mengeluarkan pendapat atau kritik, dan rendahnya tingkat pendidikan serta kondisi perokonomian masyarakat masih menjadi penghambat upaya pembangunan kekuatan civil society sebagai pilar demokrasi. Padahal, tingkat partisipasi politik masyarakat yang benar-benar belum otonom hanya akan mewujudkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dimobilisasi. Hal ini jelas sangat berpotensi menjadi sasaran manipulasi atau rekayasa pihak tertentu yang bisa menimbulkan konflik horisontal antar kelompok politik.
3.Aturan Hukum Pilkada Langsung Masih Lemah
Proses penyusunan aturan hukum pilkada langsung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang kurang transparan dan tidak melibatkan publik secara luas, sempat dipertanyakan berbagai pihak. Sementara aturan yang terkandung di dalamnya ternyata dianggap masih menyimpan banyak kekurangan. Mengenai pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD (Pasal 57) misalnya, tidak ada penjelasan lebih jauh soal ruang lingkup pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD.
Meskipun KPUD masih memiliki hak membuat Keputusan untuk menjalankan hal-hal strategis dalam pelaksanaan Pilkada, namun substansi, tahapan, persyaratan dan hal-hal teknis lainnya telah diatur secara amat rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang dari 64 pasal dialokasikan untuk mengatur masalah pemilihan Kepala Daerah. Padahal, aturan-aturan teknis penyelenggaraan pilkada langsung ini semestinya dilakukan oleh (diserahkan kepada) KPUD. Dengan kata lain, UU Pemda ini secara dini telah membatasi discretionary of power dari KPUD.
Di sisi lain, kewenangan DPRD dalam melakukan pengawasan kepada semua tahapan pilkada dan membentuk panwas pilkada juga memunculkan kekhawatiran adanya tekanan politik (political pressure) dari parpol di DPRD kepada KPUD. Pasalnya, DPRD adalah kumpulan Partai Politik yang mengusulkan calon Kepala Daerah dan sudah barang tentu punya kepentingan besar dalam memenangkan calonnya tersebut.
Pendek kata, ketiga permasalahan di atas berpotensi menimbulkan benturan-benturan kepentingan antar massa pendukung calon kepala daerah. Di sisi lain, peluang terjadinya praktik money politics dalam pilkada juga masih tetap terbuka lebar, ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada, dan ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa kepala daerah yang terpilih secara demokratis, akan lebih berkonsentrasi pada pengembalian modal/pinjaman ketimbang membangun daerah yang diwakilinya.
Persoalannya adalah; Sanggupkah semua elemen demokrasi di tingkat lokal siap menata diri dan menghilangkan perilaku-perilaku anti-demokrasi guna membangun semangat democratic civility (keadaban demokrasi) untuk mewujudkan pilkada demokratis guna menjaring kepala daerah berkualitas dalam rangka melanjutkan Governance Reform?
Dalam konteks ini, peran LSM/NGO menjadi teramat penting, para aktivis NGO perlu memperkuat jaringan dan kapasitasnya dalam mendorong terselenggaranya Pilkada Langsung yang demokratis untuk menjaring Kepala Daerah berkualitas. Artinya, para aktivis NGO harus memperkuat posisi politik dan jaringannya sebagai kekuatan tanding dalam memantau Pilkada agar berlangsung demokratis. Para aktivis NGO juga perlu meningkatkan sinergisitasnya dengan media massa/jurnalis guna melakukan Voter Education bagi masyarakat pemilih yang tradisional.
Dalam hal ini, Pemantau Pilkada setidaknya punya tangung jawab untuk memperkuat posisi civil society, khususnya dalam meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat Tangerang yang kini baru merangkak belajar demokrasi. Singkat kata, selama partisipasi politik masyarakat tidak diperbaiki dan hanya selalu menjadi obyek mobilisasi bagi para elit, Pembaharuan, Perubahan, Kemajuan, atau apapun namanya hanya akan menjadi mimpi belaka. Apalagi, jika Civilian Supremacy hanya dijadikan basa-basi politik, mau tak mau, kelak akan ada bom waktu sosial-lagi yang meledak. Bagaimana?
* Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik (LANSKAP).