Minggu, 24 Februari 2008

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Merupakan Bagian Dari Pemilihan Umum

Oleh: Ramlan Surbakti*


Pemerintah dan DPR baru saja menyepakati Pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan sudah disahkan oleh Presiden menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Sebagian isi UU yang baru ini (Pasal 56 s/d Pasal 119) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Baik Pasal 22E UUD 1945 maupun UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sama sekali tidak dijadikan sebagai rujukan (konsideran). Yang digunakan sebagai rujukan utama adalah Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah.


Dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa Depdagri dan Pansus DPR menempatkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada kerangka Pasal 18, 18A dan 18B, bukan dalam kerangka Pasal 22E, karena RUU yang dibahas tersebut berisi tentang pemerintahan daerah. Karena menyangkut pemerintahan daerah, maka yang dijadikan rujukan adalah pasal yang mengatakan kepala daerah dipilih secara demokratik. Karena itu dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini, pemilihan kepala daerah tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum. Daripada membentuk lembaga penyelenggara baru, maka demi efisiensi, KPU Daerah yang sudah dibentuk berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 diberi kewenangan khusus untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.


Kewenangan yang diberikan kepada KPUD tidak saja merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tetapi juga diberi kewenangan menyusun semua tata cara yang berkaitan dengan tahap persiapan dan pelaksanaan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Akan tetapi pemberian kewenangan khusus kepada KPUD sama sekali tidak dikaitkan dengan KPU yang menjadi induk KPUD tersebut. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini sama sekali tidak ada peran yang diberikan kepada KPU untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tersebut.


Rujukan


Apakah rujukan dan jalan pikiran pembuat undang-undang seperti ini tepat, baik dari segi konstitusi dan undang-undang maupun dari upaya pelembagaan sistem penyelenggaraan pemilihan umum para penjabat Negara dan penjabat Daerah dan realitas lapangan? Untuk menjawab pertanyaan ini harus ada rujukan yang dijadikan parameter.


Sebagai penjabaran asas kerakyatan, UUD 1945 menetapkan para penjabat Negara dari lembaga legislatif maupun eksekutif, baik tingkat nasional maupun daerah, dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 6A mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 18 ayat (3) mengatur pemilihan anggota DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 19 ayat (1) mengatur pemilihan anggota DPR oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 22C ayat (1) mengatur pemiluihan anggota DPD oleh rakyat melalui pemilihan umum. Hanya pemilihan kepala daerah yang belum dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum melainkan dipilih secara demokratik (Pasal 18 ayat (4)).


Menurut Pasal 22E UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pemilihan kepala daerah tidak dimasukkan kedalam Pasal 22E karena pemilihan kepala daerah sudah diatur lebih dahulu dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: kepala daerah dipilih secara demokratik. Pasal 18 merupakan hasil perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000, sedangkan Pasal 22E merupakan hasil perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 9 Nopember 2001.


Pada saat perubahan kedua dilakukan belum ada kejelasan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sehingga rumusan yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah masih bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratik. Pada saat perubahan ketiga dilakukan, semua fraksi di MPR sepakat membiarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) hasil perubahan kedua tersebut dijabarkan dengan undang-undang. UUD juga sudah menetapkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum.


Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E tersebut telah dibuat UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6A dan 22E telah pula dibuat UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pembuat UU juga sudah menjabarkan ketentuan Pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi dalam wujud UU No. 24 Tahun 2003. Agar lebih konsisten dengan ketentuan ayat (1) Pasal 6A UUD, khususnya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dengan ketentuan ayat (3) Pasal 18 UUD yang mengharuskan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka pembuat undang-undang menjabarkan ketentuan ayat (4) Pasal 18 UUD menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR dan DPD, dan pemilihan anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dikategorikan sebagai pemilihan umum, dan oleh karena itu ditempatkan dan dikaitkan dengan Pasal 22E UUD, mengapa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum?


Tidak Taat-Asas


Berdasarkan rujukan dan parameter tersebut, tampaknya rujukan dan jalan pikiran pembuat undang-undang tersebut tidak taat asas dengan UUD dan UU lainnya. Pertama, bila pemilihan kepala daerah merujuk pada pasal tentang pemerintahan daerah, maka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya konsisten dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD. Pasal 18 ayat (3) UUD mengharuskan pemilihan anggota DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui pemilihan umum. Bukankah pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan pemerintah daerah (kepala daerah dan perangkat daerah)? Dengan tidak menempatkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagai pemilihan umum (kedalam ketentuan Pasal 22E), maka sebagian unsur pemerintahan daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dengan merujuk pada Pasal 22E, sebagian unsur lainnya dipilih secara langsung oleh rakyat dengan tidak merujuk pada Pasal 22E. Bila alasan untuk tidak merujuk Pasal 22E adalah karena pemilihan kepala daerah adalah soal lokal, maka alasan ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (2) yang mengharuskan pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU beserta aparatnya di daerah. Bukankah pemilihan anggota DPRD juga soal lokal?


Kedua, dari segi definisi, pemilihan kepala daerah tidak dirumuskan secara tersurat sebagai pemilihan umum tetapi secara substansi seluruh asas dan proses penyelenggaran kepala daerah adalah pemilihan umum. Substansi pemilihan umum, asas dan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003 diadopsi seluruhnya dalam UU No. 32 Tahun 2004. Proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk asas-asas dan tahapannya sama seluruhnya dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan presiden dan wakil presiden. UU yang tidak mendefinisikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum jelas tidak taat asas dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. Pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah tidak melalui pemilihan umum tetapi asas dan tahapannya sama saja dengan pemilihan umum. Jelas hal ini merupakan hasil kerancuan berpikir hanya agar KPU dan Mahkamah Konstitusi tidak terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.


Ketiga, bila penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diserahkan kepada komisi pemilihan umum daerah (KPUD), maka KPUD terikat pada karakteristik bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pasal-pasal tentang pemilihan kepala daerah (Pasal 56 sampai dengan Pasal 119) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut sama sekali tidak merujuk pada sifat nasional, dan mandiri. KPU bersifat nasional berarti KPU menjadi penyelenggara pemilihan umum untuk seluruh wilayah Negara kesatuan RI, sedangkan KPUD adalah aparatnya di daerah. UU No. 32 Tahun 2004 ini sama sekali tidak mengatur hubungan KPUD dengan KPU. KPU, dan karena itu KPUD, bersifat mandiri berarti dalam melaksanakan pemilihan umum tidak berada atau dibawah pengaruh seseorang, kelompok, golongan ataupun pemerintah melainkan semata-mata berdasarkan undang-undang. Pengganti UU No. 22 Tahun 1999 ini justeru mengharuskan KPUD membuat tata cara pelaksanaan semua tahap persiapan dan semua tahap pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Keempat, penyerahan kewenangan membuat pedoman penyusunan semua tata cara tahap persiapan dan semua tata cara tahap pelaksanaan pemilihan umum kepada Pemerintah (dengan PP) juga tidak sejalan dengan jalan pikiran pembuat undang-undang ketika merumuskan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003 yang menyerahkan sepenuhnya pembuatan tata cara Pemilu kepada KPU. Dasar pemikirannya: Pemerintah sebagai hasil pemilihan umum adalah peserta pemilihan umum. Karena itu demi menjamin netralitas dan imparsialitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum, pemerintah (baca: salah satu peserta Pemilu) tidak diberi kewenangan membuat peraturan pelaksanaan. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan diserahkan kepada lembaga yang tidak berafiliasi dengan peserta pemilihan umum, yaitu KPU.


Dan kelima, penyerahan kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepada Pengadilan yang berujung pada Mahkamah Agung juga tidak konsisten dengan Pasal 24C ayat (1) UUD dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemilihan kepala daerah memang tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum tetapi bahwa asas dan tahapannya merupakan pemilihan umum tidak ada yang dapat membantah. Proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum jelas tidak sama dengan proses penyelesaian perkara pidana biasa. Karena dari segi apapun pemilihan kepala daerah merupakan pemilihan umum, maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah seharusnya diselesaikan menurut UUD, yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.


UUD sudah membangun sistem rekrutmen penyelenggara Negara baik di pusat maupun daerah: semua penjabat Negara dalam lembaga legislatif, tingkat nasional dan daerah, dan penjabat Negara dalam lembaga eksekutif dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Perselisihan hasil pemilihan umum diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Mengapa pembuat UU, membuat undang-undang pemerintahan daerah, khususnya tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tidak konsisten dengan tatanan yang sudah diletakkan dalam UUD?


Akibatnya


Pengaturan pemilihan kepala daerah yang tidak taat-asas dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 khususnya dengan Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 22E, Pasal 24C ayat (1) dan dengan undang-undang khususnya dengan UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 23 Tahun 2003, dan UU No. 24 Tahun 2003 akan menimbulkan sejumlah akibat. Pertama, bangsa Indonesia akan memiliki dua sistem penyelenggaraan pemilihan umum dalam satu Negara yang sama sekali tidak mempunyai hubungan struktural, setidak-tidaknya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hal seperti ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada Negara yang menganut bentuk-susunan Negara Federal. Kalau dalam Negara Kesatuan hanya ada satu penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai aparat di daerah, maka dalam Negara Federal terdapat dua penyelenggara pemilihan umum yang tidak memiliki hubungan fungsional ataupun struktural, yaitu penyelenggara pemilu penjabat Negara Federal dan penyelenggara pemilu penjabat Negara Bagian.


Pada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan kewenangan Pusat yang setelah berdasarkan Pasal 22E UUD 1945 dilimpahkan kepada KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini tidak ada rumusan yang menyatakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan daerah otonom sehingga dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tetap merupakan kewenangan Pusat yang berdasarkan Pasal 22E UUD seharusnya dilimpahkan kepada KPU beserta aparatnya di daerah. Bila mengikuti jalan pikiran ini, maka muncul pertanyaan mengapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diserahkan kepada KPUD sedangkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD menurut UUD diserahkan kepada KPU beserta aparatnya di daerah? Apakah pembuat undang-undang secara sengaja hendak menciptakan dua penyelenggara pemilihan umum seperti yang dipraktekkan Negara Federal?


Kedua, tata cara teknis seluruh tahap proses penyelenggaraan pemilihan umum yang selama ini sudah mulai dipahami dan dilaksanakan dengan standar yang sama oleh KPUD seluruh Indonesia, oleh peserta pemilihan umum, dan oleh para pemilih terancam berantakan berkeping-keping karena setiap daerah akan membuat tata cara sendiri. Dengan sistem yang berlaku sekarang saja , pelaksanaan tata cara yang dibuat KPU bervariasi dari satu daerah ke daerah lain apalagi bila pembuatan tata caranya sendiri diserahkan kepada KPUD masing-masing. Bangsa ini akan kehilangan kesempatan melembagakan tata cara proses penyelenggaraan pemilihan umum yang LUBER-JURDIL dan Akontabel apabila sistem yang satu belum melembaga sudah diciptakan sistem lain. Jangan sampai karena personil KPU tidak disukai, atau karena kebijakan yang ditempuh dalam penyelenggaraan Pemilu 2004 tidak disukai, atau hasil kerja MK tidak disukai, sistemnya kemudian diganti dengan sistem lain yang belum teruji.


Ketiga, sesuai dengan bangunan kewenangan KPU sebagai penyelenggara dan yang bertanggungjawab atas pemilihan umum berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, KPU telah membangun dan melembagakan format pembuatan keputusan KPU dan KPUD. Keputusan KPU dapat berupa pengaturan (seperti tata cara teknis berbagai tahapan pemilihan umum) dan penetapan (seperti penetapan hasil pemilihan umum, penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPD), sedangkan keputusan KPU Propinsi atau KPU Kabupaten/Kota hanya berupa penetapan, seperti penetapan daftar calon anggota DPRD Propinsi atau penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota. Format keputusan seperti ini sudah dilembagakan selama penyelenggaraan tiga kali pemilihan umum pada tahun 2004. Ketentuan yang terkandung dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang memberi kewenangan pengaturan tentang tata cara teknis pemilihan umum kepada KPUD jelas merusak tatanan yang sudah dibangun dan dilembagakan oleh KPU.


Keempat, KPUD belum memiliki pengalaman membuat perencanaan teknis pelaksanaan pemilihan umum, seperti perencanaan tahapan pemilihan umum, dan pembuatan surat suara. KPUD sudah memiliki pengalaman melaksanakannya. Karena itu, membiarkan KPUD sendiri tanpa supervisi dari KPU akan menyebabkan paling tidak sebagian KPUD akan mengalami kesukaran. Apabila supervisi diberikan oleh Pemerintah ataupun Pemda, maka tindakan seperti ini bertentangan dengan karakteristik KPUD yang berada dibawah KPU yang bersifat mandiri.


Kelima, kemandirian KPUD dipertaruhkan tidak saja karena KPUD diberi kewenangan membuat tata cara pemilihan kepala daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah, pertanggungjawaban kepada Pemda dan DPRD, dan pembentukan Panwas oleh DPRD, tetapi juga karena kerentanan KPUD terhadap pengaruh dan intervensi elit lokal yang berkompetisi menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kerentanan para anggota KPUD, terutama KPU Kabupaten/Kota, timbul karena elite lokal yang bersaing memiliki sumberdaya kekuasaan yang jauh lebih besar daripada yang dimiliki oleh para anggota KPUD. Pengaruh dan intervensi elit lokal dapat terjadi karena faktor hubungan keluarga (yang relatif masih kental pada tingkat kabupaten), faktor uang (money politics), tekanan mental ataupun ancaman pisik. Akan tetapi bila KPUD sebagai aparat KPU seperti yang terjadi selama ini, maka KPUD dapat mengandalkan KPU sebagai sumberdaya pengaruh untuk mengimbangi elit lokal sehingga penyelenggaraan Pemilu LUBER dan JURDIL dapat ditegakkan.

Jalan Keluar


Sekurang-kurangnya tiga alternatif langkah yang dapat diambil oleh KPU. Pertama, mengajukan permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi, atau setidak-tidaknya mendorong Pemerintah, DPD dan DPR merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Dasar pertimbangan mengajukan permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi adalah UU No. 32 Tahun 2004: (a) bertentangan dengan atau sekurang-kurangnya tidak sejalan dengan Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), Pasal 6A dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 mengenai pemilihan anggota DPRD, DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum; (b) bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan Pasal 22E ayat (1) mengenai asas-asas pemilihan umum; (c) bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan Pasal 22E ayat (5) mengenai pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri; (d) bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003; dan bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan Pasal 24C ayat (1). Tujuan uji materil ialah agar Indonesia sebagai Negara kesatuan memiliki satu sistem rekrutmen, dan sistem penyelenggaraan pemilihan umum untuk semua penjabat politik tingkat nasional dan tingkat daerah yang menurut undang-undang dasar dipilih melalui pemilihan umum.


Uji Materil tentu belum dapat menyelesaikan semua persoalan karena uji materil oleh MK hanya mengatakan Pasal dan ayat tertentu bertentangan dengan UUD. Yang diperlukan adalah pengaturan yang sesuai dengan UUD. Karena itu, perubahan UU No. 32 Tahun 2004 ini merupakan solusi yang paling tepat. Bila pemerintah yang baru, DPR yang baru dan DPD menyepakati pentingnya perubahan tersebut, maka yang paling utama ditegaskan secara tersurat dalam perubahan UU tersebut adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bagian dari pemilihan umum. Karena merupakan pemilihan umum tingkat lokal, maka seperti dalam pemilihan anggota DPRD, pengaturan teknis dan supervisi berada di tangan KPU sedangkan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian semua tahapan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dipegang oleh KPUD. Karena merupakan bagian dari pemilihan umum, maka perselisihan hasil pemilihan umum diselesaikan oleh MK. KPU meminta kepada pemerintah, DPR dan DPD untuk mempertimbangkan usul perubahan terhadap UU tersebut.


Kedua, meminta kepada Pemerintah yang baru untuk mendelegasikan pembuatan Peraturan Pemerintah tentang pedoman penyusunan tata cara semua tahapan Pemilu kepada KPU, atau setidak-tidaknya melibatkan KPU dalam pembuatan PP tersebut; memberikan supervisi kepada KPUD dalam pelaksanaan tugasnya menyelenggarakan Pilkada, dan mendukung KPUD dalam menghadapi kemungkinan intervensi elit lokal. Apabila Presiden melalui PP menugaskan KPU membuat peraturan pelaksanaan, maka aplikasi asas-asas pemilihan umum yang demokratik, yaitu LUBER, JURDIL dan Akontabilitas akan seragam seluruh Indonesia. Keterlibatan KPU dalam pembuatan Peraturan Pemerintah mengenai pedoman pembuatan tata cara semua tahapan pemilihan umum akan lebih menjamin adanya satu standar yang sama tentang ukuran pemilihan umum yang bebas dan adil. Pemberian supervisi kepada KPUD dan pemberian dukungan kepada KPUD tidak hanya sejalan dengan kebutuhan dan permintaan KPUD kepada KPU tetapi juga sejalan dengan upaya pembangunan institusi KPU. Kekuatan KPU dan KPUD bukan terletak pada kemampuan individual anggotanya tetapi terletak pada sistem yang sudah mulai terbentuk. Untuk melaksanakan langkah kedua ini diperlukan entry-point bagi keterlibatan KPU dengan mencari celah-celah dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang memungkinkan KPU melaksanakan langkah kedua dan/atau pernyataan tertulis dalam DPR/Komisi II dan Pemerintah yang membenarkan keterlibatan KPU.


Dan ketiga, langkah tidak melakukan tindakan apapun karena tidak ada satu pasal dan ayatpun yang menyebutkan peran KPU dalam pemilihan kepala daerah. Langkah ketiga ini mungkin pilihan yang paling menyenangkan secara pribadi karena KPU tidak perlu mengerjakan apapun sehingga dapat sepenuhnya berkonsentrasi pada tugas lain dari KPU. Akan tetapi langkah ini tampaknya bukan sikap yang bertanggungjawab karena dari awal anda sudah mengetahui adanya persoalan serius dalam pelaksanaan pemilihan umum tetapi anda tidak melakukan tindakan apapun. Semua hasil kerja positif KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2004 mungkin akan sirna dan ternoda karena pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang tidak sesuai dengan asas-asas pemilihan umum demokratik.


Karena itu, apabila pemerintah, DPR dan DPD belum dapat mengadakan merepon usul alternatif pertama, maka sesuai dengan permintaan KPU Propinsi, KPU kemungkinan besar akan mengambil langkah alternatif kedua sepanjang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan.


*Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum.
Sumber: www.kpu.go.id


Pilkada Tangerang