Rabu, 06 Februari 2008

MEMBACA JANJI POLITIK

Oleh: Gatot Yan. S*

Tentu, janji politik selalu manis. Tetapi semanis apa pun janji para cabup, harus dibaca paling tidak dengan tiga perspektif. Pertama, sebagai kepentingan elite. Politik adalah seni mengelola kepentingan dan kekuasaan. Bahasa politik sang cabup tentu harus memiliki content dan konteks yang dapat mengikat calon pemilih. Persoalan janjinya tak terpenuhi di kemudian hari, nanti akan ada argumentasi kekuasaan yang dibuat seolah-olah masuk akal.


Janji untuk menggratiskan sekolah dan pembebasan biaya pengobatan bagi masyarakat miskin, di satu sisi dapat meningkatkan ekspektasi hidup warga di tengah-tengah keterpurukan ekonomi dan kesulitan hidup. Pada saat yang sama, dari sisi penguasa, mengusung janji ke tingkat implementasi bukan perkara mudah. Biasanya, di situlah terjadi gap antara janji pada masa kampanye dan kemampuan birokrasi dalam mengimplementasikannya.


Kedua
, janji politik dalam kampanye harus dibaca sebagai alat penarik massa. Ini tidak bisa dipungkiri dalam konteks politik kekuasaan. Perspektif ini tidak bermaksud mendorong rasa pesimisme terhadap janji sang cabup, tetapi lebih pada antisipasi terhadap cara berpikir preventif rakyat, supaya tidak terlalu kecewa ketika janji-janji itu tak kunjung datang untuk dieksekusi.


Maka tidak heran jika dalam konteks Pilkada, janji-janji politik itu hanya akan megah dan mewah pada saat kampanye. Jika pasangan Jazuli-Airin atau Usamah-Habib ditakdirkan memimpin Tangerang, tidak mudah bagi mereka untuk mewujudkan janji-janjinya karena persoalan dukungan politik di legislatif. Sebaliknya, jika pasangan Ismet-Rano yang menang, tidak ada jaminan janji-janji politiknya bisa terwujud dengan cepat karena fakta birokrasi "bergaya lama".


Ketiga
, janji politik harus dibaca sebagai sebatas kehendak normatif sang cabup. Bisa jadi sang cabup punya ketulusan membuat janji-janji perubahan. Sebagai calon pemimpin, naluri melakukan perubahan harus tertanam kuat dalam dirinya. Janji tentang sekolah gratis, kesehatan gratis, birokrasi yang simpel dan memudahkan, bisa jadi sudah menjadi tekad politik para pasangan calon. Persoalannya adalah, jajaran birokrasi sebagai para eksekutor di lapangan masih mengidap penyakit sebagai "raja" yang maunya dilayani dan bukan melayani. Ini persoalan riil yang tak mungkin dibersihkan dalam sekejap.


Siapapun yang memenangkan Pilkada nanti, secara formal merekalah para pemimpin Tangerang ini. Tetapi sejarah yang akan menunjukkan kepada kita siapa diantara mereka yang memang pemimpin sejati. Selamat bertarung, kami menanti kiprah anda, dan jangan khawatir, kami siap untuk tidak memilih anda 5 tahun lagi jika anda menghianati amanat rakyat !!

*Direktur Eksekutif LASKAP.


Pilkada Tangerang