Beberapa waktu lalu bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional masih dalam suasana keprihatinan dan keterpurukan, terutama di sektor perekonomian. Salah satu faktor penyebab utama dari kondisi tersebut adalah masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor birokrasi dengan salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik.
Tak dapat dipungkiri, pelayanan publik yang selama ini terjadi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah – walaupun tidak semua daerah memiliki pelayanan publik yang buruk, contohnya Kabupaten Solok di Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Jembrana di Propinsi Bali dan Kabupaten Sragen di Propinsi Jawa Tengah – masih penuh dengan berbagai permasalahan seperti : ketidakpastian waktu, biaya, cara pelayanan, diskriminasi pelayanan, pungutan liar dan lain sebagainya yang sangat jauh dari kondisi organisasi pelayanan publik yang ideal yaitu, modern dan non partisan (Agus Dwiyanto dkk, 2006).
Konsekuensinya, timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Masih kuatnya prilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005 . Pengukuran CPI didasarkan pada pengukuran tingkat persepsi para pelaku bisnis dan pengamat baik dalam maupun luar negeri terhadap pelayanan publik suatu negara. Karena tinggi - rendah CPI berkaitan erat dengan kualitas pelayan publik disuatu negara, maka reformasi pelayanan publik di sektor birokrasi terutama di sektor pelayanan publik merupakan suatu keharusan. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan.
Pertama, mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik. Salah satu faktor yang berperan dalam kebobrokan pelayanan publik di Indonesia adalah belum adanya undang-undang yang mengatur pelayanan publik selama ini. Akibatnya, aparat pemerintah cenderung berlaku permisif terhadap buruknya pelayanan publik, hal ini diperburuk dengan lemahnya posisi masyarakat sebagai pengguna jasa untuk komplain atau menggugat pemerintah jika mendapatkan pelayanan publik yang buruk. Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk memasukkan kemungkinan masyarakat untuk menggugat penyelenggara negara melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam RUU Pelayanan Publik dan hukuman bagi aparat pemerintah yang memberikan pelayan publik yang buruk merupakan suatu kemajuan (Kompas, 22 Mei 2007).
Kedua, pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services). Pemerintah daerah sebaiknya memusatkan semua pelayan publik dalam satu lokasi. Hal ini diperlukan untuk memudahkan masyarakat yang memiliki kepentingan untuk mengurus beberapa izin, sehingga dari segi waktu, dan ekonomi bisa lebih baik.
Ketiga, transparansi biaya pengurusan pelayanan publik. Selama ini biaya pengurusan pelayanan publik di beberapa instansi pemerintah baik pusat dan daerah tidak transparan, sehingga masyarakat tidak mengetahui berapa tarif resmi setiap pengurusan pelayanan publik. Ketidaktahuan masyarakat ini merupakan salah satu faktor pendorong timbulnya pungutan liar yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik. Selain itu, diperlukan pemisahan antara petugas yang mengurus perijinan dengan petugas yang menerima pembayaran, dan pemerintah mulai menjajagi kemungkinan setiap pembayaran pengurusan pelayanan publik bisa melalui instrumen perbankkan. Hal ini akan memudahkan masyarakat untuk mengetahui besaran tarif yang resmi dan mendorong mereka untuk membayar sesuai ketentuan. Di sisi lain peluang aparat pemerintah untuk melakukan pungutan liar kepada masyarakat bisa dikurangi.
Keempat, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP). Pemerintah pusat dan daerah harus mulai membuat SOP untuk pelayanan publik. Sehingga setiap pelayanan publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah memiliki standar pelayanan minimal yang bisa diukur -salah satu contohnya adalah penetapan batas waktu pengurusan pelayanan publik -, sehingga akan memudahkan pemerintah untuk mengukur kinerja pelayanan publik dan melakukan evaluasi secara periodik maupun insidentil. Dalam pembentukan SOP ini, pemerintah bisa mengadopsi sistem pelayanan yang dilakukan perbankkan terhadap kepuasan nasabah – karena telah lama diakui bahwa tingkat pelayanan industri perbankkan terhadap konsumen relatif lebih unggul dibandingkan industri lain. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah bisa meminta lembaga independen untuk mengukur tingkat kepuasan pelayanan publik di masing-masing tempat pelayanan, yang hasil pengukuran ini diberi peringkat sesuai tingkat keberhasilannya. Hasil perhitungan ini bisa dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan pelayanan publik di masa datang dengan memfokuskan pembenahan kepada daerah-daerah atau instansi-instansi yang memiliki pelayanan publik jauh dari standar minimal. Untuk mendorong instansi pemerintah baik pusat dan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik, pemerintah dapat memberikan apresiasi – berupa Public Satisfaction Award- terhadap instansi di pusat atau daerah yang memiliki pelayanan publik prima.
Kelima, reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik. Dalam reformasi ini, pemerintah harus memilih pegawai-pegawai yang berkualitas – baik dari lingkungan internal, maupun dari lingkungan eksternal- dan berkomitmen untuk bekerja dengan profesional di sektor pelayanan publik dengan memperhatikan tingkat kompetensi dengan jabatannya. Kemudian, diperlukan adanya standar ukuran seperti Key Performance Indicator (KPI) untuk mengukur kinerja setiap pegawai sehingga kinerja pegawai dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik . Selain itu, diperlukan pemberian sistem gaji yang layak – yang dilakukan secara bertahap - bagi setiap aparat pelayanan publik.
Jika pemerintah baik pusat maupun daerah sungguh-sungguh berusaha mereformasi pelayanan publik, sehingga kualitas pelayanan menjadi jauh lebih memuaskan – yang kemudian disusul dengan reformasi di bagian birokrasi lainnya secara keseluruhan, penulis meyakini, prilaku koruptif yang menjangkiti sektor birokrasi dapat dibenahi dan diharapkan bisa menjadi pemicu bagi pengurangan budaya koruptif dalam kehidupan masyarakat. Jika ini terjadi, kebangkitan Indonesia bukan lagi menjadi jargon, melainkan sebuah keniscayaan.
Oleh: Hendra Teja
Penulis adalah peminat masalah sosial kemasyarakatan, bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi
Tak dapat dipungkiri, pelayanan publik yang selama ini terjadi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah – walaupun tidak semua daerah memiliki pelayanan publik yang buruk, contohnya Kabupaten Solok di Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Jembrana di Propinsi Bali dan Kabupaten Sragen di Propinsi Jawa Tengah – masih penuh dengan berbagai permasalahan seperti : ketidakpastian waktu, biaya, cara pelayanan, diskriminasi pelayanan, pungutan liar dan lain sebagainya yang sangat jauh dari kondisi organisasi pelayanan publik yang ideal yaitu, modern dan non partisan (Agus Dwiyanto dkk, 2006).
Konsekuensinya, timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Masih kuatnya prilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005 . Pengukuran CPI didasarkan pada pengukuran tingkat persepsi para pelaku bisnis dan pengamat baik dalam maupun luar negeri terhadap pelayanan publik suatu negara. Karena tinggi - rendah CPI berkaitan erat dengan kualitas pelayan publik disuatu negara, maka reformasi pelayanan publik di sektor birokrasi terutama di sektor pelayanan publik merupakan suatu keharusan. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan.
Pertama, mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik. Salah satu faktor yang berperan dalam kebobrokan pelayanan publik di Indonesia adalah belum adanya undang-undang yang mengatur pelayanan publik selama ini. Akibatnya, aparat pemerintah cenderung berlaku permisif terhadap buruknya pelayanan publik, hal ini diperburuk dengan lemahnya posisi masyarakat sebagai pengguna jasa untuk komplain atau menggugat pemerintah jika mendapatkan pelayanan publik yang buruk. Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk memasukkan kemungkinan masyarakat untuk menggugat penyelenggara negara melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam RUU Pelayanan Publik dan hukuman bagi aparat pemerintah yang memberikan pelayan publik yang buruk merupakan suatu kemajuan (Kompas, 22 Mei 2007).
Kedua, pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services). Pemerintah daerah sebaiknya memusatkan semua pelayan publik dalam satu lokasi. Hal ini diperlukan untuk memudahkan masyarakat yang memiliki kepentingan untuk mengurus beberapa izin, sehingga dari segi waktu, dan ekonomi bisa lebih baik.
Ketiga, transparansi biaya pengurusan pelayanan publik. Selama ini biaya pengurusan pelayanan publik di beberapa instansi pemerintah baik pusat dan daerah tidak transparan, sehingga masyarakat tidak mengetahui berapa tarif resmi setiap pengurusan pelayanan publik. Ketidaktahuan masyarakat ini merupakan salah satu faktor pendorong timbulnya pungutan liar yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik. Selain itu, diperlukan pemisahan antara petugas yang mengurus perijinan dengan petugas yang menerima pembayaran, dan pemerintah mulai menjajagi kemungkinan setiap pembayaran pengurusan pelayanan publik bisa melalui instrumen perbankkan. Hal ini akan memudahkan masyarakat untuk mengetahui besaran tarif yang resmi dan mendorong mereka untuk membayar sesuai ketentuan. Di sisi lain peluang aparat pemerintah untuk melakukan pungutan liar kepada masyarakat bisa dikurangi.
Keempat, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP). Pemerintah pusat dan daerah harus mulai membuat SOP untuk pelayanan publik. Sehingga setiap pelayanan publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah memiliki standar pelayanan minimal yang bisa diukur -salah satu contohnya adalah penetapan batas waktu pengurusan pelayanan publik -, sehingga akan memudahkan pemerintah untuk mengukur kinerja pelayanan publik dan melakukan evaluasi secara periodik maupun insidentil. Dalam pembentukan SOP ini, pemerintah bisa mengadopsi sistem pelayanan yang dilakukan perbankkan terhadap kepuasan nasabah – karena telah lama diakui bahwa tingkat pelayanan industri perbankkan terhadap konsumen relatif lebih unggul dibandingkan industri lain. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah bisa meminta lembaga independen untuk mengukur tingkat kepuasan pelayanan publik di masing-masing tempat pelayanan, yang hasil pengukuran ini diberi peringkat sesuai tingkat keberhasilannya. Hasil perhitungan ini bisa dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan pelayanan publik di masa datang dengan memfokuskan pembenahan kepada daerah-daerah atau instansi-instansi yang memiliki pelayanan publik jauh dari standar minimal. Untuk mendorong instansi pemerintah baik pusat dan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik, pemerintah dapat memberikan apresiasi – berupa Public Satisfaction Award- terhadap instansi di pusat atau daerah yang memiliki pelayanan publik prima.
Kelima, reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik. Dalam reformasi ini, pemerintah harus memilih pegawai-pegawai yang berkualitas – baik dari lingkungan internal, maupun dari lingkungan eksternal- dan berkomitmen untuk bekerja dengan profesional di sektor pelayanan publik dengan memperhatikan tingkat kompetensi dengan jabatannya. Kemudian, diperlukan adanya standar ukuran seperti Key Performance Indicator (KPI) untuk mengukur kinerja setiap pegawai sehingga kinerja pegawai dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik . Selain itu, diperlukan pemberian sistem gaji yang layak – yang dilakukan secara bertahap - bagi setiap aparat pelayanan publik.
Jika pemerintah baik pusat maupun daerah sungguh-sungguh berusaha mereformasi pelayanan publik, sehingga kualitas pelayanan menjadi jauh lebih memuaskan – yang kemudian disusul dengan reformasi di bagian birokrasi lainnya secara keseluruhan, penulis meyakini, prilaku koruptif yang menjangkiti sektor birokrasi dapat dibenahi dan diharapkan bisa menjadi pemicu bagi pengurangan budaya koruptif dalam kehidupan masyarakat. Jika ini terjadi, kebangkitan Indonesia bukan lagi menjadi jargon, melainkan sebuah keniscayaan.
Oleh: Hendra Teja
Penulis adalah peminat masalah sosial kemasyarakatan, bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi