Oleh: Gatot Yan. S*
Pada mulanya antusiasme masyarakat menyongsong penyelenggaraan pilkada langsung tampak begitu tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Antusiame masyarakat itu tak hanya berkaitan dengan terbukanya kesempatan untuk memilih dan menentukan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan dengan begitu besarnya harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah hasil pilkada langsung. Akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan lokal selama sekitar lima tahun terakhir tampaknya menjadi faktor penting dibalik harapan besar masyarakat tersebut.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan, misalnya, oleh Harian Kompas terhadap sekitar 1000 responden di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua pada Februari 2005 memperlihatkan tingginya harapan masyarakat akan munculnya kepala daerah yang lebih berkualitas dalam pilkada langsung. Bahkan hasil pooling yang diumumkan pada edisi 14 Februari 2005 menyebutkan bahwa tingkat keyakinan itu mencapai 90,9 persen di Kalimantan, 84,1 persen di Sumatera, 82,9 persen di Sulawesi, 71,1 persen di Jawa, dan 64,3 persen di Papua. Menarik bahwa dalam jajak pendapat yang dilakukan Koran yang sama hampir dua bulan kemudian, antusiasme itu cenderung makin berkurang atau menurun, bahkan dengan persentase cukup drastis. Tingkat keyakinan masyarakat terhadap kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung merosot menjadi tinggal 49,1 persen. Sebagian masyarakat lainnya, dalam persentasi hampir berimbang (43,4 persen), memberikan penilaian “tidak yakin” bahwa kepala daerah hasil pilkada mendatang mampu memperbaiki kehidupan berdemokrasi di daerah (Kompas, 9 April 2005).
Meskipun hasil jajak pendapat tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepala-kepala daerah produk pilkada langsung —mungkin berkaitan dengan kekecewaan banyak pihak terhadap format pilkada—namun terdapat sejumlah argumen dan asumsi mengapa pilkada langsung perlu diagendakan.
Pertama, pemilihan secara langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai-partai kita di DPRD dewasa ini. Kepentingan partai-partai dan bahkan kepentingan segelintir elit partai acap kali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan demikian pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk memutus mata-rantai politisasi atas aspirasi publik yang cenderung dilakukan partai-partai dan para politisi partai jika kepala daerah dipilih oleh elit politik di DPRD.
Kedua, pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah yang berlaku dewasa ini cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepala-kepala daerah terhadap DPRD. Akibatnya, kepala-kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD ketimbang kepada rakyat. Dampak lebih jauh dari kecenderungan ini adalah menculnya fenomena korupsi, kolusi dan politik uang (money politics) antara para calon dan anggota DPRD dibalik proses pemilihan kepala-kepala daerah. Fenomena yang sama bisa dilihat pula dalam pemberian laporan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang tak jarang dijadikan semacam “proyek” yang relatif “basah” oleh para anggota Dewan. Bahkan belakangan, praktek ini juga mulai mewarnai proses lahirnya beberapa perda yang didalamnya sarat dengan kepentingan eksekutif.
Ketiga, pemilihan langsung kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan ditingkat lokal. Pemberhentian atau pencopotan kepala daerah ditengah masa jabatannya yang acapkali berdampak pada munculnya gejolak politik lokal, dapat dihindari. Melalui pemilihan secara langsung atas kepala-kepala daerah diharapkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota yang terpilih dapat menunaikan masa jabatannya secara penuh selama lima tahun.
Keempat, pemilihan langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah. Kecenderungan tidak sehat yang berlangsung selama ini adalah bahwa para elit politik nasional hanya berasal dari dan “beredar” di Jakarta saja. Hampir tidak ada peluang bagi elit politik lokal untuk mengembangkan kariernya menjadi elite politik nasional, sehingga seolah-olah kita tidak mempunyai banyak pilihan ketika memutuskan siapa yang pantas menjadi elit politik nasional. Padahal salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah dalam rangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.
Kelima, pemilihan secara langsung oleh rakyat jelas lebih meningkatkan kualitas partisipasi serta kedaulatan rakyat disatu pihak dan keterwakilan (representativeness) elite dipihak lain, karena masyarakat dapat menentukan sendiri siapa yang dianggap pantas dan layak yang akan menjadi pemimpinnya ditingkat lokal. Seperti diketahui, harapan dan optimisme terhadap pilkada langsung dewasa ini berkembang pesat ditengah masyarakat.
Jika kita menyepakati bahwa hakikat otonomi daerah pada dasarnya adalah otonomi masyarakat dalam tata pemerintahan lokal, maka pilkada langsung merupakan suatu keniscayaan politik bagi bangsa kita. Begitu pula, jika agenda desentralisasi dan otonomi daerah dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa kita, maka pilkada langsung semestinya memberikan kontribusi yang juga besar terhadap hal itu. Hanya saja persoalannya kemudian adalah, apakah format pilkada langsung yang telah bergulir sejak juni 2005 memenuhi tuntutan praktik demokrasi yang substansial disatu pihak, dan desentralisasi serta otonomi daerah yang lebih berkualitas dilain pihak, tetap merupakan pertanyaan besar.
Dari segi demokrasi prosedural, pilkada langsung jelas merupakan suatu tahap kemajuan baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru. Hanya saja format pilkada yang diagendakan pemerintah dan disetujui DPR ini menyimpan berbagai persoalan krusial, baik dari aspek esensi pilkada langsung, distorsi kewenangan dan regulasi, tumpang-tindih kelembagaan, dan problem legitimasi.
Apabila disepakati bahwa suatu demokrasi substansial terutama ditentukan oleh variable kinerja dan akuntabilitas para elite yang terpilih secara demokratis, maka optimisme bahwa pilkada menjanjikan pemimpin daerah yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab —dibandingkan pemilihan oleh DPRD— barangkali belum tentu akan terwujud. Kepala-kepala daerah hasil pilkada diperkirakan akan dijepit oleh 3 (tiga) kepentingan politik yang justru bisa mengancam kelangsungan agenda reformasi, demokratisasi dan otonomi daerah itu sendiri.
Pertama, kepentingan pemerintah pusat untuk “mengendalikan” pemerintah-pemerintah lokal melalui mekanisme pengawasan dan pembinaan seperti diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2004. mekanisme “konsultasi” kepada pusat yang diciptakan bagi setiap produk kebijakan pemerintah lokal adalah instrumen yang mengharuskan kepala-kepala daerah lebih tunduk kepada pemerintah ketimbang aspirasi dan kepentingan rakyat didaerahnya. Kedua, kepentingan pemilik uang yang mendanai kebutuhan sang kepala daerah ketika menjadi calon dalam proses pilkada langsung. Ketiga, kepentingan partai politik yang merasa “berjasa” telah menominasikan sang kepala daerah pada masa pencalonan ketika penyelenggaraan pilkada.
Meskipun kepala-kepala daerah hasil pilkada memiliki legitimasi yang kuat lantaran dipilih secara langsung —dengan kualitas legitimasi rendah karena kemenangannya hanya 25 persen plus satu— pemerintah-pemerintah daerah produk pilkada belum tentu manjanjikan kualitas demokrasi lokal dan tata-pemerintahan daerah yang lebih baik. Selain barangkali problem dibalik esensi dan regulasi pilkada langsung versi UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005, masyarakat lokal tampaknya harus siap kecewa, bukan hanya karena kepala-kepala daerah produk pilkada langsung belum tentu menjanjikan, melainkan juga karena makin terbatasnya ruang bagi publik didalam format bagi kebijakan otonomi daerah yang baru. Orientasi pemerintahan lokal (Pemda dan DPRD) dalam era pilkada langsung bukanlah pada aspirasi dan kepentingan masyarakat, tetapi cenderung akan bergeser untuk melayani pemerintah pusat.
Oleh karena itu kini persoalannya terpulang kepada segenap komponen civil society, apakah akan membiarkan desentralisasi dan otonomi daerah “dibajak” oleh pemerintah dan partai-partai, setelah sebelumnya pihak yang sama juga membajak agenda reformasi dan demokratisasi umumnya.