Rabu, 20 Februari 2008

Urgensi Komisi Pelayanan Publik

Oleh M. Khoidin


DPRD Provinsi Jawa Timur sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik. Raperda tersebut telah dikonsultasikan dengan berbagai kalangan, termasuk para pakar dari berbagai perguruan tinggi. Pada 26 Desember 2005, raperda itu juga di-launching di hadapan bupati-wali kota serta ketua DPRD kabupaten dan kota se-Jawa Timur. Hal itu dilakukan untuk memperoleh masukan agar raperda tersebut ditindaklanjuti pemerintah kabupaten dan kota.


Pengajuan raperda tersebut juga dimaksudkan mengakomodasi pemberian kepercayaan oleh pemerintah kepada Provinsi Jawa Timur sebagai pilot project pelayanan publik berdasar Surat Men PAN No B/233/M.Pan/2/2005. Kepercayaan itu harus bisa dijalankan secara baik. Salah satunya, memberikan payung hukum berupa perda bagi penyelenggaraan pelayanan publik di provinsi ini.


Raperda tersebut mengatur berbagai aspek mengenai pelayanan publik yang diberikan instansi pemerintah selaku penyelenggara layanan. Salah satu pertimbangan pembuatan Raperda Pelayanan Publik oleh DPRD itu adalah kualitas pelayanan yang diberikan penyelenggara layanan masih belum baik. Hal itu terbukti dari banyaknya keluhan serta komplain masyarakat yang disalurkan melalui media massa.

Di samping itu, masyarakat telah melaksanakan kewajiban membayar pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah. Sehingga, wajar mereka menuntut agar pemerintah memberikan pelayanan secara baik kepada rakyat. Negara wajib memberikan pelayanan publik kepada rakyat setelah menerima haknya atas pajak bagi penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan.


Pertimbangan lain, hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur pelayanan publik. Selama ini, peraturan yang dijadikan dasar adalah Surat Keputusan Men PAN No 63 Tahun 2003 jo SK No 24 Tahun 2004 dan SK No 26 Tahun 2006. Ketiga SK Men PAN tersebut berisi pedoman yang harus diikuti instansi penyelenggara pelayanan publik dengan memberikan pelayanan secara prima (efektif dan memuaskan).


Dalam SK Men PAN memang telah ditentukan standar pelayanan publik yang meliputi kesederhanaan prosedur, ketepatan waktu, biaya, serta sarana dan prasarana. Namun, dalam SK Men PAN tersebut tidak dikemas sanksi jika pemberian pelayanan tidak sesuai standar. Karena itu, raperda pelayanan publik mengatur tentang sanksi bagi pejabat/petugas yang tidak memberikan pelayanan secara baik dan kompensasi bagi pengguna layanan jika menerima pelayanan yang jelek.

Pelayanan publik merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan, responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.

Salah satu tugas dan wewenang pemerintahan adalah penyelenggaraan pelayanan publik ( public service, openbare dienst ). Yakni, pemerintah harus menyelenggarakan kepentingan umum. Tugas penyelenggaraan kepentingan umum bisa dijalankan alat pemerintahan (bestuurorgan, administrative organ) yang dapat berwujud pada petugas atau pejabat fungsionaris atau badan/instansi pemerintah.


Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi. Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta ketidakadilan.


Buruknya pelayanan publik di suatu negara bisa dijadikan indikator tingginya korupsi. Salah satu bentuk korupsi adalah memungut atau mengenakan biaya bagi pemberian pelayanan publik di luar biaya resmi. Maladministrasi dalam pelayanan publik yang berupa pemungutan biaya secara ilegal tersebut sering dijadikan ladang oleh pemberi layanan publik untuk meraih keuntungan secara tidak sah.


Prinsip "kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" salah satunya juga dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.


Tidak mengherankan, jika dalam permohonan atau pengurusan sesuatu hak atau izin tidak ada uang rokok atau amplopnya, berkas tersebut akan ditumpuk dan tidak dilayani petugas. Malahan, ada petugas pelayanan publik di beberapa instansi yang terang-terangan dan tanpa malu meminta sejumlah uang tertentu yang tidak rasional, bisa mencapai 3-5 kali dari biaya resmi.


Komisi Pelayanan Publik


Efektivitas sebuah perundang-undangan salah satunya dipengaruhi konsistensi dan keseriusan pemerintah untuk menegakkan (law enforcement). Di samping itu, hal tersebut dipengaruhi pengawasan yang intensif dan terus-menerus agar setiap penyimpangan serta pelanggaran hukum selalu ditindaklanjuti.


Berkaitan dengan hal itu, raperda pelayanan publik juga mengantisipasi soal efektivitasnya di lapangan. Dalam Raperda Pelayanan Publik -penulis sebagai anggota tim ahli yang turut menggodok raperda- dibentuk sebuah komisi baru yang bertugas mengawasi dan menerima pengaduan masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah.


Komisi pelayanan publik nanti dijadikan alat oleh DPRD untuk mengawasi kinerja pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Komisi tersebut dibentuk dan bertanggung jawab kepada dewan, tidak menjadi subordinat eksekutif, sehingga bisa independen dan mandiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Jika komisi berada di bawah eksekutif, hal itu tidak akan efektif. Selama ini, pengaduan mengenai buruknya kualitas pelayanan yang disampaikan kepada instansi penyelenggara jarang ditanggapi serius. Pimpinan instansi lebih melindungi bawahan. Seperti kata sebuah iklan: "masak jeruk minum jeruk". Karena itu, pembentukan sebuah komisi khusus untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan sangatlah urgen.


Keanggotaan komisi pelayanan publik tidak bersifat partisan. Sehingga, mereka benar-benar efektif dan bisa bertugas secara baik. Sebab, selama ini, komisi-komisi yang dibentuk pemerintah, meski perekrutannya melalui dewan, ternyata bersifat partisan atau titipan dari partai politik tertentu. Sehingga, kinerjanya tidak sesuai harapan masyarakat. Malahan, ada yang berkorupsi.


Selain nonpartisan, komisi pelayanan publik diberi wewenang mengawasi kinerja instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Komisi tidak hanya diberi wewenang menerima pengaduan dan komplain, tetapi juga ikut menyelidiki benar tidaknya pengaduan masyarakat mengenai buruknya pelayanan di suatu instansi pemerintah.


Komisi tidak sekadar diberi tugas menjaga meja menunggu pengaduan, tetapi juga memantau atau menginspeksi penyelenggara layanan serta menindaklanjuti setiap temuan buruknya kualitas pelayanan. Komisi juga diberi wewenang punishment. Yakni, merekomendasikan sanksi bagi petugas atau instansi yang melanggar dalam penyelenggaraan pelayanan publik.


Agar mempunyai efek jera, rekomendasi komisi disampaikan kepada publik, baik langsung maupun melalui media massa, agar masyarakat mengetahui instansi yang berkinerja buruk. DPRD bisa merekomendasikan kepada kepala daerah agar pimpinan instansi yang pelayanannya buruk diberi sanksi sesuai ketentuan, sampai sanksi terberat berupa pencopotan dari jabatan.


Terhadap penyimpangan petugas atau instansi pemberi layanan yang melanggar ketentuan hukum pidana, misalnya korupsi atau menerima suap, komisi diberi wewenang meneruskannya kepada aparat berwenang sesuai undang-undang. Komisi juga wajib memantau penanganan kasus pelanggaran hukum dalam pelayanan publik tersebut agar ditangani secara tuntas.


Sebagai lembaga baru, komisi pelayanan publik harus bisa bekerja efektif dan efisien, tidak sekadar menambah euforia pembentukan berbagai komisi di negara kita. Dan, agar komisi tersebut kelak tidak dijadikan ajang oleh orang-orang untuk mencari pekerjaan atau kesibukan baru, perekrutannya diambil dari orang-orang yang profesional dan sangat memahami pelayanan publik.


Yang lebih penting, seperti yang dikemukakan Sukarwo (baca Opini Metro, 29/11/2005), kita semua -tentunya termasuk DPRD dan komisi pelayanan publik- harus melakukan dekonstruksi pola pikir ke arah yang lebih baik, yakni dari mental sebagai pangreh (penguasa) menjadi pelayan (abdi) masyarakat. Karena itu, mari kita songsong pengesahan Raperda Pelayanan Publik yang rencananya dilaksanakan pada Desember 2005 ini.


(*) M. Khoidin, Dosen FH Universitas Jember, alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Unair Surabaya