Rabu, 20 Februari 2008

Wajah Buram Pelayanan Publik

Penulis : Lutfi J. Kurniawan dan Hesti Puspitosari
Penerbit : Malang Corruption Wacth (MCW) Malang dan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) Jakarta
Cetakan I : Mei 2007
Tebal : xii + 174 halaman


Pedidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat yang sekaligus sebagai tuan yang sesungguhnya. Hingga bentuk otomoni daerah (OTDA) yang telah berjalan lebih dari setengah dasawarsa ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Bahkan muncul berbagai permasalahan. Sebut saja masih terjadinya bentuk-bentuk diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat.

Bukan hal yang aneh lagi, ketika realitas di lapangan sekarang biaya pedidikan di sekolah-sekolah masih mahal bahkan cenderung meningkat secara drastis, orang-orang miskin enggan untuk pergi berobat karena pasti tidak akan mampu untuk membayarnya, tempat-tempat umum terus dibangun tapi tidak pernah ada yang terawat. Dan dalam beberapa kasus, rusak sebelum sempat dinikmati oleh masyarakat umum. Belum lagi jika dilihat dari segi efisiensi dan efektifitas waktu dan dana yang masih di bawah stadart minimal.

Ketidakmampuan negara dalam pemenuhan kebutuhan publik seperti inilah, pada akhirnya memunculkan “jalan pintas” bagi pemerintah sebagai penyedia layanan untuk dilimpahkan kepada pihak swasta (kapitalisasi pelayanan publik). Konsekuensinya adalah memunculkan para broker-broker dengan praktik rent seeking-nya. Mulai dari masalah pendidikan, kesehatan hingga persoalan swastanisasi sumber daya alam yang seharusnya milik bersama yang menjadi tanggungjawab negara untuk mengelolanya.

Potret pelayanan publik seperti inilah yang coba digambarkan dalam buku ini. Buku dengan judul “Wajah Buram Pelayanan Publik” telah merekam realitas akan kualitas dan kuantitas pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat umum selama ini. Bentuk ekspresi keprihatinan penulis atas kondisi riil di tengah berjalannya konsepsi OTODA pasca era reformasi bergulir. Momentum yang baik sesungguhnya bagi pemerintah untuk membangun sistem good governance dengan berani merubah paradigma yang semula state oriented menjadi public oriented.

Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara di daratan Eropa dan beberapa di Asia seperti Singapura, Korea Selatan dan Taiwan. Mereka menunjukkan kemapuannya untuk menyediakan pelayanan dasar yang dibutuhkan oleh rakyatnya secara gratis dan minimal murah. Para aparatur pemerintahnya memiliki jiwa dan ruh untuk aktif bertanggungjawab dalam memikul tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya dengan terpenuhinya segala kebutuhan dasar masyarakatnya.

Hasil penelitian dan kepustakaan yang dikembangkan penulis dalam buku ini, setidaknya menyimpulkan bahwa faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini adalah, pertama, kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan masa sekali tidak pro pada rakyat. Kedua, kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan. Dan ketiga, kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul. Diperparah lagi dengan adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.

Coba direnungkan kembali bahwa, tujuan dibentukanya negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Pemerintah sebagai penyelenggara negara tentunya ada karena rakyatnya dan rakyatlah pemilik kedaulatan sebuah negara. Esensi cita-cita masyarakat kepada negara dan pemerintah adalah mendapatkan pelayanan dengan mudah, cepat dan murah. Dan dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi sesuai dengan UU OTODA sejatinya juga untuk membangun pemerintah daerah yang dapat menciptakan pelayanan publik secara lebih luas dan baik.

Dapat ditarik satu garis merah pula, bahwa otonomi daerah telah memberikan hasil yang cukup baik dalam pelayanan publik. Sebagai contoh, kabupaten Jembrana Bali, kabupaten Sragen Jawa Tengah dan Kota Tarakan. Akan tetapi hal itu tidak serta merta terjadi tanpa adanya partisipasi masyrakat secara aktif untuk melakukan perubahan. Karena lebih banyak daerah yang tidak malah lebih baik setelah OTODA bergulir. Hal ini disebabkan paradigma SDM aparatur yang terlanjur memiliki budaya kekuasaan (power culture) dan bukan budaya pelayanan (service delivery culture).

Reformasi birokrasi dengan melakukan perubahan mindset dan culturset bukanlah perkara yang mudah. Inilah kemudian yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam peningkatan pelayanan publik. Hal ini menyangkut komitmen yang kuat dari pemerintah dan tentunya dibutuhkan pula adanya kelompok masyarakat yang kuat sebagai faktor eksternal reformasi birokrasi yang menjadi penekan dalam perubahan.

Sehingga, menurut penulis buku ini sekaligus mengajak kepada para pembaca, diperlukan semacam kontrak antara pemberi dan penerima layanan (citizen’s charter). Bila perlu ada reward maupun punishment atas konsekuensi adanya kontrak (complain mechanism). Setidaknya, dengan adanya kontrak semacam ini, kualitas minimal suatu pelayanan publik kepada masyarakat dapat terjamin. Bila ini berjalan secara kontinue, maka perbaikan pelayanan publik oleh pemerintah ke depan akan jauh lebih baik. Semoga!

*) Ahmad Makki Hasan
Relawan Anti Korupsi MCW (Malang Corruption Wacth), & Sekertaris Balitbang PC. PMII Kota Malang.