Minggu, 19 Oktober 2008

Dicari Legislator Berkarakter

Oleh Bachtiar Aly

Masa kampanye pun telah dua minggu berlalu. Sebagian masyarakat keheranan karena ternyata kampanye tidak “semeriah” dulu. Mereka tahunya kampanye adalah ajang dangdutan dan hura-hura.

Sebagian lain acuh tak acuh dengan yang disampaikan. Sementara para pengamat sibuk berteriak tentang kekecewaannya atas ketidakmampuan partai politik (parpol) mengemas kampanye yang cerdas. Format kampanye berdasarkan UU No 10 Tahun 2008 sudah cukup menjelaskan bahwa kampanye Pemilu 2009 lebih memberi aksentuasi pada kampanye yang bersifat dialogis dengan khalayak yang terbatas, tapi dapat dilakukan berkali-kali.

Hadirnya 34 parpol lama dan baru telah menyemarakkan arena demokrasi kita. Harapan mempertunjukkan pertarungan yang sportif pun dibebankan di pundak mereka.Masyarakat tidak ingin parpol sikut-sikutan, apalagi membantai lawan politiknya dengan kampanye negatif.

Bagi pers yang meliput tentu harus jeli dan cerdik sehingga peliputannya jangan sampai menjadi alat politik kelompok tertentu yang dengan tangan pers melakukan pembunuhan karakter (character assassination). Di pihak lain pers tak dapat disalahkan apabila ia memberitakan ke publik tentang cela seorang tokoh yang tidak memiliki karakter terpuji.

Ajang Para Caleg

Kampanye pun bukan hanya gawean parpol. Calon anggota legislatif (caleg) mulai sibuk kasak-kusuk agar sukses dicoret (dulu dicoblos).Mereka menawarkan dirinya kepada masyarakat sebagai pemimpin yang dapat membawa suara mereka ke Senayan. Para caleg ini harus sadar benar bahwa seorang anggota legislatif–– posisi yang mereka impikan––adalah pemimpin.

Dia diharapkan memiliki integritas dan kompetensi. Dia adalah sosok yang patut menjadi teladan. Memiliki moral terpuji, sangat peka terhadap aspirasi rakyat, dan sepak terjangnya tidak grusa-grusu, tapi bersandarkan pada etika. Hari-hari ini petinggi parpol kita disibukkan dengan penentuan caleg.

Tiap parpol punya kriteria dan standar dalam memilih calon.Faktor loyalitas, kesetiaan, disiplin, tidak tercela, dan segudang prasyarat lain diberlakukan tidak lain untuk dapat menggaet calon yang paling ideal dan realistik. Menjadi calon legislatif periode ini tak mudah.

Begitu seseorang terindikasi melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) akan dikejar media dan diprotes masyarakat serta diincar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beban moralnya sungguh berat dan yang menderita adalah keluarga. Bahwa di negeri kita menghormati asas praduga tidak bersalah elok-elok saja.

Namun kalau sempat terlansir sang tokoh kecipratan dana siluman, wah repot juga menepisnya. Namun ini menjadi sarana pengingat juga bagi para caleg agar tak menyelewengkan kekuasaannya. Lagipula mereka tak perlu takut karena pers harus selalu menghormati asas praduga tidak bersalah.

Pers selalu didorong untuk tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat Kalau caleg kita sosok yang bersih, berintegritas, dan berkarakter, silakan melenggang terus dengan aman menghadang deburan ombak, berkeringat diterpa mentari, dan bersyahdu dengan sentuhan rembulan.

Anda sosok terpilih, jadilah pribadi yang memegang amanah. Berkarakter kata kuncinya. Bung Hattta sempat berujar,“ Seorang politikus itu harus punya karakter. Kalau tidak punya karakter berarti tidak punya pendirian.” (Pribadi Manusia Hatta,Seri Orang Besar Jiwa Besar,2002).

Bagi parpol baru tentu memerlukan kecermatan dalam menentukan figur caleg.Mengapa? Karena mitra atau pesaingnya parpol yang telah berjibaku pada pemilu sebelumnya tentu lebih berpengalaman dan relatif memiliki stok sumber daya manusia (SDM) yang telah punya jam terbang.

Namun, jangan risau, caleg parpol baru tentu mulai dengan spirit baru, visi, dan konsep baru. Masih segar bugar, belum terkontaminasi oleh angin puting beliung, bak kita menikmati roti fresh from the oven. Masalahnya harus memiliki kepercayaan diri untuk nantinya bertatap muka dengan calon khalayak pemilih pada acara kampanye yang bersifat dialogis.

Anda perlu menguasai materi diskusi dengan baik. Jangan anggap enteng. Masyarakat kita banyak yang sudah pandai dan kritis. Kita pun boleh bersyukur bahwa ini juga bagian dari keberhasilan pembangunan kita. Warga memiliki akses untuk menikmati berbagai fasilitas dan informasi.

Mungkin untuk mengantisipasi bola liar boleh pula caleg kita didampingi oleh staf ahli.Kalau kesulitan dana jangan pula berkecil hati, tawarkan saja kepada para ahli secara sukarela agar mereka ikut meramaikan kampanye dialogis. Percayalah, masih banyak orang Indonesia yang idealis. Jauh dari sikap matre, rakus materi. Para ahli ini akan membantu Anda. Namun Anda pun harus bekerja keras, jangan tak bergairah, berleha-leha belaka.

Persaingan yang Elegan

Dalam berbagai dialog dan diskusi perlu dibuat aturan main yang elegan. Jangan pula forum tersebut tempat sumpah serapah, carut-marut, dan tuding-menuding. Forum kampanye tentu akan mengupas tuntas permasalahan yang dibincangkan. Di sana akan terlihat apakah caleg ini sanggup berargumentasi dengan logis jauh dari sikap emosional. Jangan terpancing untuk marah-marah.

Caleg harus berjiwa besar dan sanggup menjadi pendengar yang baik. Kiatnya adalah teguh dalam pendirian,lincah dalam pendekatan. Perlu diingat, kritik jurnalis kawakan Mochtar Lubis yang sempat heboh dan menjadi polemik setelah berceramah di Taman Ismail Marzuki (6/4/77) dengan tajuk “Manusia Indonesia”.

Dia menengarai,”Manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa dan demi untuk ‘survive’, bersedia mengubah pendiriannya.”

Amatan ini tentu berguna bagi caleg kita dari parpol mana pun.Jangan mudah tergiur dengan godaan dunia.Jaga reputasi Anda, jangan kecewakan pemilih dan konstituen Anda. Bukankah kita juga dibekali nasihat nenek moyang: sekali lancung ke ujian,seumur hidup orang tak percaya? Begitu pun nobody is perfect. Harus terus belajar dan jangan mengulang kesalahan.

Pemilu kali ini kita harapkan akan berjalan aman dan damai, jauh dari kecurangan dan kekerasan. Syukurlah kita tidak menjadi seperti negara Taiwan yang menurut Prof Liao Da Chi dari Universitas Sun Yat-sen menghalalkan segala cara yang tidak demokratis untuk menjatuhkan seorang pemimpin atau seperti di Thailand yang menggunakan intervensi militer (Newsweek,14/7/08).

Masyarakat kita sudah sangat letih menyaksikan bentrok fisik yang menjadi perbuatan sia-sia.Kampanye dialogis yang terbatas salah satu cara mengantisipasi keributan itu. Pengerahan massa memang dibatasi. Masyarakat kita dengan format kampanye dialogis akan semakin lebih dewasa.

Mereka diajak untuk berdiskusi dengan berargumentasi sembari saling menghormati. Karena sesungguhnya ujung dari perjalanan kampanye ini kita akan sampai pada pilihan wakil-wakil rakyat yang mumpuni dan selalu setia dengan janjinya memperjuangkan aspirasi rakyat.

Bolehlah kita becermin pada ungkapan penyair Kahlil Gibran tentang manusia kemarin dan manusia hari esok.”Apakah kamu adalah seorang politisi yang berkata pada dirinya sendiri: aku akan menggunakan negaraku untuk keuntungan diriku sendiri? Jika demikian, kamu hanyalah sebuah duri yang hidup dalam daging orang lain.

Atau kamu adalah seorang patriot yang setia, yang membisiki telinga jiwanya sendiri: aku mencintai negaraku dan melayaninya. Aku mencoba menjadi seorang pelayan yang baik. Jika demikian, kamu adalah sebuah oasis di padang gersang yang siap melepaskan dahaga bagi para musafir.” Kalau demikian halnya, akankah kita menemukan calon legislatif berkarakter seperti itu? Semoga.

Prof. Bachtiar Aly, Pakar Komunikasi Politik. (Koran Sindo)


PEMILU 2009