Sabtu, 18 Oktober 2008

Negeri Miskin, Catatan dari Jalanan

Oleh : Nisaillah

Hampir di setiap jantung transportasi di ibukota propinsi dan kota-kota besar di Indonesia semakin hari kian dipadati oleh anak-anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Dengan mimik muka memelas, anak-anak jalanan menadahkan tangan, meyakinkan para pengguna jalan bahwa dirinya telah beberapa hari tidak makan.

Gelandangan dan preman yang berkeliaran di terminal-terminal, pelabuhan, stasiun dan perempatan-perempatan jalan. Keberadaan mereka kini semakin meresahkan masyarakat dengan aksi perampokan dan penodongan dengan mayoritas korbannya adalah perempuan. Demikian pula dengan meningkatnya pengemis, dengan penampilan khas ‘orang miskin’ yang bertebaran di pemukiman-pemukiman penduduk untuk meminta sedekah. Benarkah pemandangan di atas merupakan gambaran bahwa negeri ini miskin?

Dari sebuah observasi mengenai aktivitas dan latar belakang anak-anak jalanan dan pengemis yang dilakukan di beberapa tempat yang berbeda, jawaban yang diperoleh dari hasil beberapa observasi tersebut sangat menarik, adalah bahwa sesungguhnya tidak semua alasan untuk menjadi anak jalanan adalah keterpaksaan yang disebabkan faktor ekonomi yang rendah. Terbukti dari hampir seluruh peserta dari Rumah Belajar / Rumah Singgah Anak Jalanan memiliki orang tua yang ekonominya di atas rata-rata, bersekolah dan memiliki rumah. Begitu pula anak-anak jalanan yang berada di perempatan dan terminal-terminal.

Ternyata menjadi anak jalanan adalah pilihan yang menyenangkan bagi mereka. Walau pun ada sebagian yang didorong oleh faktor ekonomi yang masih di bawah taraf sejahtera. Namun tak sedikit juga yang bermotif iseng, diajak teman, senang dapat uang sendiri karena bisa membeli apa pun yang diinginkan. Tak heran jika kita menemui beberapa anak jalanan yang masuk mall atau supermarket untuk membeli jajanan yang biasa dibeli oleh anak-anak orang kaya. Yang lebih memprihatinkan, rokok sudah menjadi teman ketika anak-anak itu ketika beristirahat. Tak berbeda dengan gelandangan dan pengemis. Tidak semua yang menjadi pengemis itu kekurangan secara ekonomi. Ada sebuah perkampungan yang cukup makmur, dengan rumah-rumah permanen, memiliki perabot rumah lengkap dengan barang-barang elektronik dan anak-anaknya pun sekolah. Tapi ternyata mata pencaharian mayoritas penduduk kampung tersebut menjadi pengemis.

Kegiatan anak-anak jalanan dan pengemis di jalan-jalan itu bukan hanya sekedar mencari sesuap nasi atau pun untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, akan tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai “profesi”, bahkan di beberapa tempat ada orang-orang yang mengorganisir dan melakukan pelatihan keahlian mencopet, meminta-minta dan mengamen, serta mengadakan perlengkapan yang dibutuhkan untuk aktivitas tersebut, baik dengan menggunakan sistem jual beli atau pun sewa.

Program Miskin

Setiap program pemerintah untuk rakyat miskin, pasti laris manis. Menjadi fenomena menarik ketika masyarakat bejubel antre untuk mendapatkan sumbangan bagi keluarga miskin. Program-program pemerintah berupa Sumbangan Langsung Tunai (SLT), konvensi minyak tanah ke gas, Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin), Beras untuk masyarakat miskin (Raskin), dan lain sebagainya. Setiap peluncuran program “miskin” dari pemerintah disosialisasikan, masyarakat sibuk menempelkan predikat miskin bagi diri dan keluarganya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah memang kemiskinan itu sendiri yang menyebabkan rakyat Indonesia menjadi miskin?, ataukah definisi miskin itu sendiri yang masih belum menemukan titik temu, sehingga orang dengan mudahnya mengaku miskin. Benarkah rakyat Indonesia mayoritas berada pada taraf “miskin”?

Coba kita lihat, sepanjang jalan protokol, berjejer bangunan pertokoan dan mall yang setiap hari dipadati pengunjung, lihatlah tempat-tempat hiburan berkelas yang tak pernah sepi dari tamu, tingginya angka penjualan tiket konser artis dunia yang bernilai jutaan rupiah, juga mobil-mobil mewah yang berderet sepanjang jalan-jalan di kota-kota besar yang telah menyebabkan kemacetan berkepanjangan, serta semakin larisnya produk-produk mewah yang dipajang di etalase-etalase pusat perbelanjaan. Dapatkah kita membuktikan bahwa sebagian dari orang-orang tersebut bukan bagian dari orang-orang yang berebut label miskin untuk mendapatkan jatah program untuk rakyat miskin dari pemerintah?

Jadi, sesungguhnya fenomema kemiskinan yang kerap kita saksikan, tidak sepenuhnya merupakan kemiskinan ekonomi dan harta. Karena mereka bukan miskin harta, melainkan miskin secara mental dan ideologi. Kemiskinan yang sudah kronis, karena telah dikonstruksi sejak jaman kolonial dan di rekontruksi dengan misi yang sama, tetapi dalam bentuk wajah yang berbeda. Indikasinya sangat jelas, fakta empiris yang kemudian dijustifikasi menjadii sebuah kelaziman yang tidak lazim secara akal sehat.

Pemiskinan Melalui Kebijakan

Kalau pada zaman Rosulullah, ketika ada pengemis yang meminta-minta, maka yang beliau berikan bukan berupa uang (hasil jadi), melainkan kapak dan nasihat (alat untuk mencari uang). Berbeda dengan masa sekarang. Ketika menghadapi permasalahan sosial dan kemiskinan, pemerintah Indonesia menyiapkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk rakyat. Begitu pula ketika menghadapi musibah, penanggulangan yang diberikan lebih banyak berupa barang-barang habis pakai. Solusi bagi permasalahan negeri ini, hampir semua program yang digulirkan berbentuk solusi instan.

Rakyat Indonesia telah diajarkan menjadi miskin sejak kecil. Sejak di bangku sekolah, anak dididik menjadi buruh / pekerja dengan motto ‘sekolah untuk kerja‘. Kita semua tahu bahwa yang namanya buruh, kesejahteraannya tergantung pada majikan, ditentukan oleh penguasa kapital. Anak telah dibiasakan dengan pilihan pasrah pada ‘pilihan ganda’, dan tidak diarahkan untuk menjadi kreatif dalam menghadapi persoalan kehidupan. Melalui kebijakan pendidikan inilah program awal pemiskinan dimulai.

Di sisi lain, keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap korporasi asing, gurita raksasa yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan harga rendah, telah menyebabkan rakyat Indonesia miskin secara permanen, karena alamnya telah rusak, sedangkan keuntungannya pihak lain yang menikmati. Hanya dapat menanggung akibat kerusakannya tanpa ada perhatian serius dalam penanggulangannya.

Joseph Stiglitz, menulis buku Globalization and Its Discontens, …globalisasi yang kini terus menerus digalakkan tampaknya hanya mengganti peran diktator gaya lama yang dikuasai para elite dengan diktator gaya baru, para saudagar uang. Untuk jutaan penduduk dunia, globalisasi tidak pernah bermanfaat. Bahkan, sebagai akibat globalisasi, jutaan orang hanya bisa menatap tanpa daya ketika sumber kehidupan mereka secara terencana dihancurkan dan masa depannya diobrak-abrik. (Kompas, Juni 2007).

Rekayasa Pemiskinan Global

Rekayasa global yang dijalankan kapitalis dalam skenario hegemoni dunia, terutama di negara-negara berkembang untuk mengeruk sumber daya alam demi menggelembungkan kepala-kepala gurita raksasa Barat. Dua target bidik dalam operasi kapitalisasi global, pendidikan dan ekonomi. Keduanya adalah target paling strategis untuk merubah dunia.

Tahap untuk penguasaan pusat syaraf ideologis adalah dengan membentuk sifat “malas” permanen pada Bangsa Indonesia secara sistemik. Karakter mudah terlena dengan kesenangan dan silau dengan gemerlap kehidupan menjadi kesempatan emas. Diciptakan manusia yang malas berpikir melalui sistem pendidikan. Dan diciptakan manusia yang malas bekerja melalui rekayasa ketergantungan ekonomi. Orang yang malas bekerja dipastikan kehidupannya tidak akan pernah maju. Dia terlena dalam kebodohan dan kesenangan semu karena kesadaran kritisnya telah terkikis.

Menjamurnya korporasi kapitalisme di Indonesia didukung oleh dua kekuatan besar. Kedua kekuatan publik ini yaitu; kebijakan pemerintah dan kampanye media massa. Sikap terbuka terhadap perubahan yang datang dari luar menjadi kesempatan bagi kapitalisme global untuk menjalankan program skenario besar kapitalisasi dunia. Misi kapitalisasi tersebut dipercepat dengan peran media massa dalam mengkampanyekan program-program mereka. Melalui tawaran kesenangan yang menggiurkan, para penganutnya lebih memilih segala sesuatu yang bersifat instans. Masih diakui bahwa media massa merupakan sarana paling efektif untuk merubah dan membentuk pola pikir masyarakat supaya apatis terhadap realitas. Inilah momen yang tepat untuk melakukan eksekusi kesadaran.

Pepatah yang mengatakan bahwa “fakir dekat dengan kufur” rupanya dimanfaatkan dengan baik untuk merusak gudang amunisi negara-negara berkembang. Kejahatan korporasi bagaikan setan haus darah. Akibat kebijakan korporasi, setiap hari 24.000 orang di seluruh dunia mati kelaparan, puluhan ribu anak-anak seperti tercekik mati karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan. Akibat lanjutan dari kejahatan korporasi ini, lebih dari separuh penduduk dunia terperangkap kemelaratan dan hanya penghasilan di bawah dua dolar AS sehari yang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Jadi jelas, sistem ekonomi dunia masa kini hanya sekedar versi baru dari sistem eksploitasi manusia yang menghasilkan perbudakan sekaligus kemelaratan. Masyarakat kapitalisme global terjebak pada labirin persaingan yang tinggi. Persaingan yang ditularkan dari ranah modal. Perusahaan-perusahaan multinasional berlomba-lomba menciptakan strategi produksi dan pemasaran yang mampu memikat hati konsumen. Untuk memperkenalkan produk-produknya, perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan iklan sebagai media promosi. Tawaran kesenangan semu yang menggiurkan, tentu merupakan sebuah jalan mulus menggaet mangsa.

Umat Islam seolah merasakan dunia ini adalah surga. Tampak tak ada surga lain yang seindah surga di dunia ini. Peran media dalam membentuk sifat konsumtif dan budaya hedonis sangatlah efektif. Gemerlap maya ini secara terus menerus dengan gencar dikampanyekan melalui media, diperkuat melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang seolah berpihak kepada masyarakat tetapi sebenarnya adalah program besar pemiskinan global dengan melakukan rekayasa ketergantungan.

Banyak isu yang diciptakan untuk mewujudkan rekayasa ketergantungan digulirkan ke tengah masyarakat yang sedang dilanda krisis. Seperti isu terorisme, flu burung, HIV-AIDs, pemanasan global, tsunami, dan masih banyak lagi. Isu-isu tersebut sepintas tampak alamiah. Memproduksi “konsumsi” artinya menciptakan kebutuhan-kebutuhan artifisial. Masyarakat dikonstruksi secara sosial untuk mengelilingi diri mereka dengan barang-barang mewah, untuk memenuhi segala bentuk hasrat (prestise, status, simbol). Dengan hanya ditemani benda-benda di sekitarnya, individu dalam masyarakat cenderung mengisolasi dirinya dari lingkungan sosialnya. Sikap yang berkembang kemudian adalah “hedonisme” atau sikap mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa perlu pemahaman apa itu tujuan sosial dan tujuan hidup bersama (Nee, Sisos 2007).

Kapitalisme dibangun di atas fondasi sikap individualisme tak berjiwa. Jonathon Porrit dalam Seeing Green; The Politics of Explained (1990) mengatakan bahwa kapitalisme global dibangun di atas landasan filsafat “materialisme tak berjiwa” (mindless materialism) maksudnya sebuah keyakinan yang kering, yang meyakini bahwa kekayaan meterial sebagai sumber kebahagiaan sehingga menjadi tujuan hidup, dan tidak ada makna bagi kehidupan selain lewat pemenuhan materi. Pemiskinan global ini secara sistematis dimulai dengan menjadikan materi sebagai tolak ukur sehingga terjadi kesenjangan kelas antara Si kaya dan Si miskin, antara pengusaha dan karyawan, antara majikan dan buruh. Pada proses selanjutnya terjadilah pelaziman terhadap penindasan sosial.

Kembali kepada pertanyaan awal, apakah negeri ini benar-benar miskin? Ataukah kita yang akan selamanya menjadikan negeri ini miskin dengan cara berpikir dan bertindak yang miskin?

sumber: voice of banten