Minggu, 19 Oktober 2008

Kesimpulan, Pemilu 2009 & Demokrasi

Menjadi sebuah pertanyaan yang cukup mendasar, apakah reformasi yang telah kita jalani selama kurang lebih 10 tahun terakhir adalah sesuatu yang telah gagal. Reformasi, yang tadinya dibangga-banggakan sebagai jalan terang dan pintu masuk kepada era baru pemerintahan yang mengutamakan rakyat dan mau mendengar segala keluhannya melalui lonceng pagi parlemen ternyata, menurut banyak orang adalah sistem yang gagal. Demokrasi itu mahal, Demokrasi itu bodoh, Demokrasi itu terlalu bebas, terlalu liar! Kata orang. Kembali menjadi satu pertanyaan, benarkah tuduhan akan keberhasilan Demokrasi di Indonesia ini benar adanya? Tergantung dari sudut pandang dalam memandang permasalahan, jawaban dari pertanyaan diatas bisa benar atau salah. Tapi apa sebenarnya dasar dari kesimpulan bahwa reformasi yang menghasilkan Demokrasi dan membebaskan rakyat dari rezim otoriter Soeharto telah dan hanya menghasilkan kegagalan?


Well, salah satu dasar yang jelas atas opini ini adalah banyaknya koruptor yang tertangkap. Menurut banyak orang, jaman Soeharto damai, kriminalitas lebih terkontrol, koruptor yang keluar masuk penjara hampir tidak ada, bisa dibilang setiap harinya televisi hanya mengabarkan berita yang menciptakan opini di luar negeri sedang terjadi keributan dengan skala massal sementara di Indonesia semuanya adem ayem. Gemah ripah loh jinawi, seperti senyum sang Smiling General Soeharto. Ada lagi yang mendasarkan kesimpulannya bahwa Demokrasi telah gagal ke mahalnya harga sembilan bahan pokok atau sembako. BBM, yang dalam 5 tahun terakhir telah naik tidak kurang dari dua kali dan seringnya terjadi kelangkaan keperluan dasar membuktikan bahwa pemerintah saat ini telah gagal dalam menjalankan fungsi micro-managementnya. Mereka tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tidak seperti Soeharto, yang tiap minggunya rajin menyapa kaum menengah kebawah lewat acara Dari desa ke Desa dan pidatonya di Istana yang bisa serentak memberhentikan seluruh tayangan televisi. Kaget, mereka bahwa pemerintah kini hanya muncul di TV untuk mengomentari isu-isu negatif dan isu positif yang pada akhirnya akan dikomentari negatif juga. Jujur, kadang kita kelewat cepat menelan mentah-mentah air rangkuman yang setiap harinya dikabarkan di televisi. Kalau TV dengan tendensinya menciptakan suatu isu sebagai sesuatu yang negatif, maka ya, ia adalah jelas negatif. Kalau TV melakukan pemberitaan yang sifatnya netral atau positif maka ia bisa berarti positif atau negatif. Jarang dapat kita temukan komentar yang muncul di TV dari rakyat lewat hubungan hotline sebagai komentar yang dalam, penuh pemikiran dan kebijaksanaan. Kebanyakan adalah ungkapan emosi, tumpahan masalah dan perkiraan atau interpretasi yang berlebihan. Semakin sering seseorang muncul di TV dengan imej positif, maka ia adalah seorang yang positif.


Contoh yang paling jelas bisa kita lihat dari iklan salah satu kandidat Capres dari satu partai politik yang menayangkan iklan berkali-kali dalam sehari dengan teks penuh retorika yang sangat jelas adalah hapalan. Lucunya, retorika ini betul-betul mentah, apalagi ditambah dengan kehadiran sang pengisi suara yang membisikkan nama partai berkali-kali ditengah kalimat, seakan ingin menciptakan kesan magis. Sepertinya saking inginnya si kandidat menjadi Presiden, ia memenuhi satu spot iklan itu dengan list issue yang akan ia selesaikan saat ia menjadi Presiden. Pembahasannya pendek dan cepat, walau sama sekali tidak padat. Karakternya muncul justru seperti pengemis setengah gila dengan safari berharga jutaan rupiah yang muncul tiba-tiba berteriak kalau ia bisa membuat orang terbang dalam sekejap tanpa menjelaskan caranya. Wow. Bayangkan bagaimana excitednya para penonton yang memang mendambakan agar bisa terbang selama bertahun-tahun. Mereka sekejap percaya. Padahal belum dijelaskan caranya. Mereka juga tidak ingin tahu apa saja yang sebenarnya sudah dilakukan si kandidat di pengalaman masa lalunya. Apa memang di masa lalu ia mamnpu menerbangkan orang ke angkasa atau mengirim darah muda masa depan ke alam baka?


Cerita mudahnya rakyat kita dibohongi oleh penampilan dan retorika memang bukan barang baru. Bahkan Presiden pun, dalam langkahnya untuk mendapat popularitas dan “pengalaman” untuk memenangkan pemilu berikutnya, bisa dibohongi oleh “penemu” jadi-jadian yang ternyata memang cuma jadi-jadian. Dan woop, secepat kilat Presiden disalahkan, semua orang disalahkan, minta ganti rugi, padahal sendirinya sudah gagal mempelajari dan menciptakan kesimpulan yang benar. Salah duga, salah kata, kena tipu. Bukan maksud untuk menyalahkan petani yang mungkin dalam kenyataan tekhnisnya memang sudah rumit hidupnya dengan kesulitan hingga menginginkan sesuatu yang cepat dan mudah, tapi kadang kita harus bertanggung jawab atas keputusan kita sendiri. SBY-JK kini disumpah-sumpah bagai kambing bau yang berlari ditengah barisan massa, lalu kenapa mereka mendapat suara mayoritas saat pemilu kemarin? Bukankah kita semua harusnya sudah tahu bahwa dua orang ini di masa lalu bukanlah orang yang memprioritaskan rakyat sebagai segalanya? Media pun sepertinya tidak pernah mau memasuki sisi rumit dari mempelajari masa lalu seorang kandidat. Mungkin karena takut kehilangan penonton yang malas melihat kerumitan ditengah hidup yang sudah penuh kerumitan, tapi memberitakan salah satu kandidat tidur dirumah nelayan tidak akan membantu rakyat untuk menciptakan penilaian yang fair. Ia hanya menimbulkan simpati, meminta darah popularitas untuk diminum! Ini membuat kampanye pemilu 2009 seperti ajang pencarian idola yang tidak mementingkan isu, hanya menarik simpati rakyat. Jelas, bahwa kita semua selalu terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan berdasarkan emosi dan simpati, bukan berdasarkan logika dan data. Padahal yang kita akan pilih disini bukan sarung guling, tapi Presiden.


sumber: setengahmateng.com

PEMILU 2009