Sabtu, 18 Oktober 2008

Memenangkan Perda Partisipasi Perempuan

Mutmainah Korona atau biasa dipanggil Neng, setengah tidak percaya ketika dia menerima anugerah Saparina Sadli. Badannya gemetar ketika panitia meminta dia memberikan sambutan pada malam penghargaan atas pencapaian perempuan Indonesia, Jumat 24 Agustus 2007. Neng terpilih atas komitmennya terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan dan perbaikan kondisi perempuan.

Ibu tiga anak anggota Federasi Kontras Sulawesi, Solidaritas Perempuan, dan Anggota Perkumpulan Evergreen Indonesia ini berhasil mengolkan Perda No. 12/2006 tentang Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan dalam Pemerintahan Desa Lembaga kemasyarakatan Desa dan Proses pembangunan desa Kabupaten Donggala. Keberhasilan yang lain adalah digolkan Peranturan Bupati tentang alokasi anggaran kesehatan yang responsif gender untuk Kabupaten Donggala dan mendesak dibuatknya MOU dengan Pemda Kota Palu tentang penerapan anggaran yang responsif gender dan pro rakyat miskin. Neng juga dinilai sebagai perempuan yang secara konsisten mengadvokasi anggaran berbasis gender dan realokasi APBD pro perempuan.

Berawal sebagai Korban

Keterlibatan Neng di LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demorkasi) tahun 2000 membuka kesadaranya akan realitas struktur masyarakat yang selama ini telah dirasakanya tidak berpihak pada perempuan. Dari keterlibatannya di gerakan demokrasi, Neng melihat ada keterkaitan antara struktur penindasan yang terjadi didalam masyarakat dengan proses marginalissi terhadap perempuan. Dia sadar bahwa selama ini perempuan selalu didiskriditkan, tidak hanya dalam kultur namun juga hegemoni kekuasaan negara. Dengan berorganisasi, Neng sadar bahwa perubahan akan dapat dicapai tidak dengan diam tapi dengan bangkit dan berjuang melawan penindasan.

“Meskipun LMND organisasi mahasiswa, tapi dia tidak melulu membicarakan persoalan mahasiswa, tapi persoalan rakyat pada umumnya termasuk perempuan” kata Mutmainah yang dalam perjalanannya kemudian ditempatkan di Divisi Perempuan LMND.

Selain aktif di LMND, Neng juga bekerja di salahsatu Ornop lingkungan di Palu. Kegeramanannya atas perlakukan yang diskriminatif mengalami puncaknya ketika dia dinonaktifkan oleh Ornop tempat dia bekerja, ketika dia ingin menikah. Pengalaman ini juga seperti mengingatkan pada kisah pahitnya dimasa lalu ketika lolos dari perkosaan yang dilakukan oleh orang yang masih punya relasi keluarga dengan dirinya. “Saya pernah hampir menjadi korban pemerkosaan, dan penonaktifan saya ketika ingin menikah oleh organisasi yang selama ini saya hormati sebagai pejuanhg keadilan menyadarkan saya bahwa dimanapaun berada perempuan masih terpinggirkan”, ungkapnya dengan galau.

Pengalaman pribadi Neng tersebut ditambah dengan kenyataan sosial yang kurang memihak perempuan, membuatnya semakin gigih untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Keinginan kuatnya untuk merubah strutur masyarakat yang senantiasa meminggirkan perempuan menemui jalan ketika dia terlibat di acara KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) dan SP2I (Solidaritas Perjuangan Perempuan Indonesia) yang memberikan pendidikan politik perempuan. Hingga akhirnya dia mendirikan sendiri lembaga perempuan yang diberi nama KPPA (Komunitas Peduli Perempuan dan Anak).

Mengusung Perda Keterwakilan Perempuan

Gagasan KPPA mendorong lahirnya Perda keterwakilan dan pertisipasi perempuan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan program Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis (TPLD) yang diprakarsai oleh Yappika. Setidaknya, program dimaksud telah memungkinkan adanya dana hibah yang diperlukan. Betul bahwa semula inisiatif ini hanyalah sebatas mengoganisir komunitas, dalam hal ini kelompok perempuan, agar mereka dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan di desa. Target utama ketika itu adalah adanya Peraturan Desa (Perdes) yang mengakomodasi keterlibatan perempuan dalam berbagai kelembagaaan desa.

Sasaran pertama agar keinginan itu terwujud adalah dengan menumbuhkan kesadaran perempuan dan aparat desa akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam pemerintahan desa. Ternyata upaya itu positif. Pada tahap berikutnya tumbuh keinginan kaum perempuan desa untuk melakukan kontrol atas berbagai kebijakan yang ada di desa. Lalu munculah keinginan bukan hanya keterlibatan perempuan dalam kelembagaan desa, tapi juga berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan desa. Keterlibatan harus diluaskan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan desa lainnya, jelas Mutmainah Korona, yang harus menempuh jarak 200 km dari Palu menuju Donggala untuk berdiskusi dengan kaum perempuan Kulawi. Jarak yang jauh, hujan panas dan berlikungan jalan menuju Donggala tidak menyurutkan perempuan kurus kecil ini untuk memberikan kesadaran pada kaum perempuan Donggala untuk menuntut hak-hak mereka dan terlibat secara aktif dalam politik dan melakukan lobby serta bernegosiasi dengan Pemda dan DPRD Kabupaten Donggala.

Dalam perkembangannya kemudian proyek TPLD Yappika ini mengalami metamorfosa yang luar biasa bagi kelembagaan KPPA. Dari melakukan pengorganisiran masyarakat berubah menjadi pengusulan sebuah Perda. Berhubungan dengan pihak-pihak pengambil kebijakan yang selama ini tidak pernah dilakukan pun menjadi strategi perjuangan mereka. Kesadaran pemanfaatan ruang politik yang ada di eksekutif maupun legislatif mulai terbuka, karena di sana-lah berbagai kebijakan dibuat. Mau tidak mau mereka harus memasuki ruang politik dan mempengaruhi proses politik yang ada, agar kebijakan yang muncul sesuai dengan kehendak masyarakat.

Dengan dana proyek TPLD Yappika inilah KPPA kemudian mempelopori sebuah gagasan untuk mendorong perempuan terlibat dalam pembangunan. KPPA telah mengeser peran-peran perempuan yang hanya terlibat di dalam urusan domestik, bergeser ke urusan yang lebih politis, dengan duduk dalam lembaga-lembaga desa dan terlibat dalam proses pembangunan di desanya.

Kehadiran Perda pro perempuan di Donggala seperti angin segar ditengah maraknya perda yang mendiskriditkan perempuan diberbagai daerah. Perda yang pro perempuan di Donggala memberikan ruang partisipasi bagi perempuan untuk terlibat dalam lembaga pemerintahan desa dan pembangunan daerah. Keberhasilan memenangkan Perda Keterwakilan dan Partisipasi Partisipasi Perempuan di Kabupaten Donggala tentu saja sebuah kemenangan demokratis yang penting di tengah maraknya Perda yang
antiperempuan di beberapa daerah lain.

Nengpun sadar bahwa dengan disahkannya perda bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Masih banyak tantangan yang menghadang di depan. "Saat ini saya juga sedang terlibat dalam merancang substansi inti Perda untuk pemenuhan hak anak Sulawesi Tengah yang sedang digodong di DPRD Provinsi Sulawesi Tengah," ujar Neng yang baru-baru ini juga disibukan menyusun naskah akademik Perda anti perdanganan perempuan dan anak Sulawesi Tengah. Naskah akademik ini sudah diterima di DPRD dan dijadwalkan dimasukkan dalam pembahasan triwulan berikutnya.

Untuk mempersiapkan perempuan merebut ruang politik, Neng dan kawan-kawannya di KPPA membuat Sikolah Mombine (Sekolah perempuan) yang merupakan laboratorium pendidikan politik untuk perempuan. Disinilah dibuatkan kurikulum pendidikan khusus untuk perempuan demi menyiapkan kader perempuan desa sektoral yang termajinalkan untuk dapat bersuara. Selain itu untuk mempersiapkan kader aktivis perempuan, KPPA juga membuatBanua Nu Ngana (Rumah Anak) sebagai media pendidikan anak alternatif dan pengembangan kurikulum pendidikan gender, humanisme, pluralisme dan perdamaian di usia dini. “Harapan saya, anak-anak bisa belajar di Banua Nu Ngana tentang banyak hal dan ini akan menjadi vokal point bagi anak-anak lain dan anak-anak ini dapat menjadi penerus perjuangan feminis dan kesetaraan gender di mana datang”,ujar Neng dengan nada optimis. **NH

sumber: www.yappika.or.id