Minggu, 19 Oktober 2008

Kiat Sukses Menjadi Caleg 2009

JAKARTA, KAMIS - Para calon legislatif (caleg) harus mempunyai strategi baru dalam berkampanye dan dianjurkan untuk melakukan terobosan dalam berkomunikasi selama kampanye. Oleh karenanya, ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan para caleg agar para pemilih menangkap pesan inti yang disuarakan. Demikian diungkapkan Managing Partner Veloxxe Consulting, AM Putut Prabantoro, praktisi komunikasi dan konsultan PR, di Jakarta, Kamis (16/10).

Pernyataan Putut Prabantoro ini dilatarbelakangi oleh banyaknya partai, caleg, dan calon anggota DPD yang bertarung dalam Pemilu 2009. Pesta demokrasi Indonesia ketiga, katanya setelah Reformasi ini, katanya terhitung ada 44 partai, 10.073 caleg dan juga ditambah 1132 para calon anggota DPD.

"Dalam kondisi seperti ini, kesuksesan pemilu kali ini masih merupakan tanda tanya besar mengingat ancaman para pemilih Golput cukup banyak. Menurut data yang ada Golput dalam pilkada berkisar 25% hingga 45%. Bahkan menurut perkiraan Gus Dur dalam pernyataannya pekan lalu, Golput akan mencapai 70%," katanya.

Putut Prabantoro menjelaskan bahwa demokrasi di dunia itu menjiplak budaya demokrasi bangsa Romawi. Ada peribahasa bangsa Romawi yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana pemilu itu harus dilihat. “Humana vita est alea, in qua vincere tam fortuitum quam necesse perdere – hidup manusia itu seperti permainan dadu, di mana kemenangan merupakan suatu kebetulan dan kekalahan menjadi sebuah keharusan.”

Dengan jumlah partai dan para caleg peserta pemilu sedemikian besar, para calon harus berhitung seberapa besar peluang kemenangannya. Faktor pertama yang harus diketahui oleh para caleg sebelum berkampanye adalah sistem perhitungan suara yang digunakan partai yakni nomor urut atau suara terbanyak.

Jika nomor urut yang digunakan, sistem ini akan melemahkan semangat para caleg ketika harus bertempur untuk partainya. “Masukan yang saya dapatkan di lapangan adalah, para caleg tidak akan mengikuti pemilu jika nomor urut sebagai sistem perhitungan suara. Para caleg melihat nomor urut hanya menempatkan para caleg dengan nomor urut besar sebagai poin getter (pengumpul suara/nilai) bagi nomor urut kecil atau di atasnya,” jelas Putut Prabantoro.

Menurut mantan wartawan Surya Surabaya itu, faktor-faktor seperti branding partai - personal branding - kesesuaian antara daerah asal dan dapil - media komunikasi yang digunakan - profil pemilih (dan bukan profil caleg) merupakan tantangan bagi para caleg. "Personal branding adalah yang paling utama untuk dikerjakan. Pemetaan yang akurat terhadap faktor-faktor tersebut akan sangat membantu para caleg dalam sukses berkampanye," katanya. Ditambahkan, nomor urut pada sistem suara terbanyak, tidak memberi dampak yang cukup berarti karena semua caleg mempunyai kesulitan dan kans yang sama.

Visi dan Misi Nyaris Mirip

Target utama dalam berkampanye adalah bagaimana para calon pemilih mengingat nama caleg, nomor urut, dan nama partai. Sementara itu, slogan, visi, dan misi tidak perlu ditekankan karena para pemilih tidak akan memikirkan slogan yang dibuat para caleg yang hampir mirip semua. Oleh karena itu, menurut pengamatannya, dari keseluruhan faktor yang harus ditaklukan, cara dan jenis media berkomunikasi akan sangat menentukan pencapaian target dalam berkampanye.

Berdasar pengamatan di lapangan, para caleg masih menggunakan pola lama dalam berkomunikasi, seperti spanduk dan sms. Dengan perubahan peta jumlah partai peserta pemilu dan jumlah caleg seharusnya harus diubah pola dan media komunikasi yang digunakan.

“Para caleg harus pandai menentukan media komunikasi yang tepat untuk mengedukasi pemilih agar mengingat nama caleg, partai dan nomor urut. Untuk pemilu 2009, era spanduk sudah selesai. Spanduk hanya diingat sesaat dan tidak meninggalkan ingatan (memori) yang mendalam bagi para pembacanya yang sebagian besar adalah pelintas jalan dengan kendaraan bergerak. Pembaca tidak mungkin diedukasi untuk mengingat karena pemasang spanduk tidak sedikit dan para pembaca sebagian terkonsentrasi pada jalan,“ ujar Putut Prabantoro.

Hal yang sama juga terjadi pada alat komunikasi melalui Short Message Service (SMS), Putut Prabantoro menambahkan, juga tidak bisa digunakan sepenuhnya. Bagi para caleg yang tempat tinggal adalah sama dengan daerah pilihan (dapil), ada kemungkinan untuk menggunakan SMS. SMS itu hanya salah satu alternatif komunikasi yang bisa digunakan sebagai tambahan, namun bukan yang pokok. Jika memang dipilih untuk digunakan, SMS memiliki kelemahan karena nomor yang dituju adalah acak sehingga tidak terjamin keberhasilannya dan efektifitas media ini sangat kurang dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Pada pokoknya, strategi yang dipilih harus benar-benar tepat sasaran dan tidak dapat menggunakan benchmarking atau duplikasi pola komunikasi yang digunakan caleg lain. Masyarakat pemilih kota dan desa berbeda cara berkomunikasinya dan media yang digunakan.


ABI
Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network
sumber: kompas.com

PEMILU 2009