Minggu, 19 Oktober 2008

Meragukan Kualitas Legislatif Hasil Pemilu 2009

“Tulisan ini bukan sebuah pengingkaran atas hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, namun lebih kepada pengkritisan atas inkonsistensi profesi, sekiranya politisi kita kategorikan sebagai profesi. Karena kami percaya profesi apapun selalu membutuhkan proses untuk melahirkan skil profesi yang matang. Karena sejujurnya hadirnya fenomena penyimpangan yang dilakukan partai politik dalam merekrut calon anggota legislatif, yang lebih mengutamakan popularitas ketimbang kualitas. Serta turut bersimpati kepada kawan-kawan aktivis, tokoh LSM, OKP dan Ormas yang telah berproses puluhan tahun karena tuntutan profesionalisme pilihan karir, namun pada akhirnya tidak terpakai dalam perekrutan calon politisi senayan atau diabaikan karena partai politik sedang latah untuk lebih memilih artis “pelawak dan pesohor sinetron.

Pemilu 2009, adalah pemilu yang diawal persiapan perhelatannya telah melahirkan banyak kontroversi, menarik perhatian publik, fenomena yang mengusik atau mungkin bisa dikatakan anomali. Mulai dari pra seleksi anggota KPU yang menendang figur-figur ternama dan bahkan anggota KPU incumbent, sampai muncul gugatan salah satu pengamat politik atas tidak transparannya pola seleksi calon anggota KPU. Lalu kita kembali dikejutkan dengan terpilihnya anggota KPU dan muncul persoalan terkait dengan penundaan pelantikan salah satu anggota KPU. Hingga kinerja KPU perlahan-lahan semakin diragukan bakalan bisa mulus mengawal pemilu, entah karena minim pengalaman pada level nasional atau memang lemah kinerjanya.

Tidak berhenti sampai disitu, produk calon legislatif yang dimunculkan dari tiap partai politik belakangan juga menuai banyak kritikan dan cercaan. Munculnya banyak kalangan artis yang tampil menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009, bagi banyak kalangan patut dipertanyaan kesiapan partai dalam mencetak kader-kader partai. Minimnya pengalaman berorganisasi dan pengalaman politik para artis yang banyak menempati nomor urut jadi dalam DCS anggota DPR RI pemilu 2009 melahirkan pesimisme baru akan produk legislatif 2009 yang bakalan diisi oleh kalangan pelawak, pesohor dan para pemain sinetron.

Fakta teranyar dan sungguh ironis merujuk pada hasil suvey LSI yang dikutip dari (RM dan Berpolitik.com) popularitas politisi ternyata masih jauh dibawah caleg artis yang nota bene adalah pelawak, pemain sinetron dan foto model. Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum misalnya, masih berada di bawah pelawak Eko Patrio.

Dari hasil survei tersebut, popularitas Eko yang jadi caleg dari PAN ini mengantongi 5,6 persen, Tifatul Sembiring 1,5 persen, dan Anas Urbaningrum 1,9 persen. Selebihnya, Ketua Umum PBB MS Kaban 1 persen, Pramono Anung 2,5 persen, Muhaimin Iskandar 2,9 persen. Sedangkan Ferry Mursidan Baldan menempati posisi buncit dengan tingkat popularitas 0,1 persen.

Sangat tragis nasib para aktivis kepemudaan, mahasiswa dan perempuan yang berproses begitu lama, melewati berbabagai tahapan proses, mempelajari kitab-kitab ideologi, stratag, metode persidangan, hingga menuju kematangan berpolitik dan menguasai berbagai persoalan dan dinamika kebangsaan, namun kalah bersaing karena popularitas bisa menjadi faktor yang lebih penting ketimbang kompentensi dalam mengarahkan perilaku pemilih.

Pada akhirnya Curiculum vitae menjadi tidak penting, rakyat sakit mata membaca kurikulum vitae, rakyat lebih suka melihat pelawak. Terbukti Anas Urbaninggrum mantan Ketua Umum PBHMI (periode 1997-1999) yang menjadi kebanggaan kader-kader HMI tidak populer dibanding eko Patrio-sang pelawak.

Kalau demikian situasinya kita pantas mempertanyakan kualitas produk pemilu legislatif 2009 yang meraup anggaran triliunan rupiah. Pesta rutin lima tahunan rakyat ini tidak menjanjikan harapan, justeru melahirkan pesimisme yang dalam. Kami meragukan kemampuan anggota ledislatif hasil pemilu 2009 untuk memikirkan nasib rakyat karena kualitas caleg yang tidak jelas latar belakang karir politiknya. Memang benar kata Rasulullah Muhammad SAW, jika sesuatu diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya. Dapat ditebak bahwa udah pasti legislatifnya bakalan amburadur, kalau gedung senayan isinya para pelawak dan pemain sinetron serta caleg dari latar belakangan lainnya yang selama ini tidak bersentuhan dengan substansi persoalan politik kebangsaan.

Coba kita simak petikan komentar Pakar komunikasi politik UI Effendi Ghazali mengatakan, jika ingin menjadi wakil rakyat, para politisi sekarang harus rajin mejeng di media massa, dan menjadi selebriti politik. "Selebriti politik itu artinya orang yang terus-menerus tampil di koran, televisi, dan media lainnya dengan menyuarakan isu tertentu yang menarik perhatian publik," katanya. Namun, Effendy khawatir dominasi kalangan artis dalam perolehan suara pada Pemilu 2009 ini dikhawatirkan akan membuat kualitas DPR menurun, meskipun ada caleg artis yang memiliki pendidikan tinggi.

Kalau sudah demikian faktanya, nampaknya semakin lama nasib bangsa ini semakin tidak jelas arahnya. (Allahu allam ………..)


Jay Paranddy
Aktivis Barisan Muda Merah Putih

PEMILU 2009