Sabtu, 18 Oktober 2008

Program BOS Belum Mengenai Sasaran

Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sudah satu tahun terakhir digembar-gemborkan pemerintah, tampaknya belum memenuhi harapan masyarakat tentang pendidikan bermutu dan gratis. Pasalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan Yappika yang mencakup 15 Kabupaten di 8 Propinsi, sebanyak 62.20% dari 1031 responden mengatakan, keluarga mereka yang bersekolah di tingkat SD dan SMP masih dikenai berbagai biaya pendidikan. Terutama di wilayah Sumatra Barat, Banten, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan.


"Anak saya tahun ini masuk SD, untuk uang masuknya saja, saya sudah merogoh kocek sebesar 500 ribu",� ungkap Joko (29), salah seorang wali murid. Selain biaya pendidikan tersebut, orang tua murid juga dikenakan bermacam biaya, antara lain SPP, biaya ujian, pendaftaran ulang, uang seragam, pembangunan sekolah, dan uang bangku. Dari semua jenis biaya yang harus mereka tanggung, biaya pembelian buku dan seragam sekolah menempati tingkat teratas.


Dana BOS sedianya untuk membebaskan biaya pendidikan (baca: gratis), sebagaimana yang diiklankan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di berbagai media elektronik. Kenyataan yang ada, pendidikan malah semakin mahal dan memicu adanya dana-dana lain yang terbilang tidak murah. Hal ini menjadi indikasi lemahnya pengawasan layanan pendidikan di negara kita, karena masih banyak pungutan yang memberatkan masyarakat. Dalam hal ini, keberadaan dan fungsi komite sekolah yang seharusnya melakukan kontrol terhadap kebijakan sekolah patut dipertanyakan.


Program BOS merupakan realisasi dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang disahkan DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan ditandatangani Presiden pada tanggal 8 Juli 2003. Isi UUSPN sudah sesuai dengan Konvensi Internasional bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, 2000. Konvensi tersebut menyatakan bahwa semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya.


Salah satu butir UUSPN adalah "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun"� (Pasal 2 Ayat 1). Butir tersebut menyatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan setingkat SD sampai dengan SMP secara cuma-cuma, atau minimal murah (Kompas, 5/8/2004). Namun sampai saat ini, pemerintah belum berhasil menciptakan pendidikan gratis. Untuk pendidikan yang murah pun pemerintah belum mampu, sebagaimana hasil penelitian Yappika yang dilaksanakan awal tahun 2006 ini, sebanyak 54.10% responden menilai bahwa biaya pendidikan yang dipungut oleh sekolah terlalu mahal. Penilaian ini dinyatakan oleh masyarakat yang berpenghasilan di bawah 1 juta rupiah sampai 3 juta rupiah per bulan.


Oleh: Abdul Hamid, Relawan Yappika.