Sabtu, 18 Oktober 2008

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH: MEMPERTANYAKAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Cerita sukses dan keberhasilan beberapa pemerintahan daerah paska diberlakukannya otonomi daerah telah membuktikan bahwa desentralisasi memberi dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Kabupaten Jembrana, misalkan, sebuah kabupaten yang dahulu tidak terkenal dan bahkan tergolong miskin di provinsi Bali, dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun telah menjelma menjadi kabupaten percontohan bagi penyelenggara pemerintahan daerah belakangan ini dengan pendapatan asli daerah (PAD) meningkat drastis dan signifikan. Kegigihan dan ketekunan Bupati Jembrana yang melakukan berbagai gebrakan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas yaitu pendidikan gratis, asuransi kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, membuktikan hasilnya pada dukungan nyata masyarakat dalam Pilkada tahun 2006 kepada Bupati Winasa untuk melanjutkan kepemimpinannya.

Hal yang sama juga terjadi pada Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Bupati Untung melakukan reformasi pada struktur birokrasi pemerintahan agar memudahkan penyelenggaraan pelayanan yang terpadu. Tujuannya sangat jelas, mudahnya pelayanan memiliki implikasi bagi kepercayaan kepada pemerintah. Peningkatan pendapatan daerah pun secara perlahan meningkat seiring dengan kepercayaan masyarakat dan investasi terhadap pelayanan yang diberikan. Dalam hal politik, kepercayaan tersebut diwujudkan dengan terpilihnya kembali Bupati Untung dalam Pilkada tahun 2006.

Dua daerah yang terkenal dengan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut memiliki karakter yang juga hampir sama yaitu memiliki kepemimpinan pemerintahan yang kuat disertai political will dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat luas. Hal ini ditandai dengan komitmen yang luar biasa dari pemimpin daerah tersebut sedari awal dengan melakukan reformasi dan restrukturisasi birokrasi untuk menunjang berbagai kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Namun demikian, kedua daerah tersebut masih menyisakan persoalan dalam hal tiadanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Sebagian besar program dan kegiatan pembangunan daerah berasal dari inisiatif pemerintah, baik dari kepala daerah ataupun jajarannya. Pembangunan model top down yang dikembangkan oleh kedua daerah tersebut memang terbukti efektif dikarenakan figur kepala daerah yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat. Persoalannya kemudian, seberapa besar dan luas masyarakat dilibatkan dalam setiap pembangunan yang ada di daerah tersebut? Dan seberapa besar pula pemerintah daerah memahami seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat di masing-masing daerah? Artinya bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pembangunan masih perlu dieksplorasi lebih lanjut kenyataan di kedua daerah ini.

Partisipasi dalam Pembuatan Kebijakan

Demokrasi perwakilan yang menekankan pentingnya perwakilan dari berbagai unsur masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan tengah dikritik. Keinginan masyarakat untuk terlibat dan tahu secara rinci mengenai proses pembuatan kebijakan tidak menjadi menarik manakala hal ini dinafikkan oleh para anggota legislatif dan pihak eksekutif bahwa yang mempunyai kewenangan atas proses pemutusan kebijakan adalah mereka atas dasar mandat dari rakyat. Akibatnya yang terjadi adalah masyarakat menjadi penonton di pinggir arena pembuatan kebijakan, dan hanya berperan baik sebagai penerima manfaat dan juga yang dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan.[1]

Ide dalam perluasan partisipasi berasal dari Juergen Habermas yang memberi inspirasi bahwa perlu adanya ruang publik yang otonom di luar dari domain negara sebagai prasyarat pelibatan aktivitas masyarakat yang tidak semudahnya mendapat legitimasi terhadap sistem politik.[2] Ruang publik tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana debat opini, bersuara dan menyeleraskan posisi yang sama dengan argumentasi yang rasional. Habermas sebenarnya berkeingan agar setiap individu menjadi aktor yang penting dan berarti dalam komunitas politik.

Penekanan Habermas sebenarnya adalah tersedianya ruang publik yang ada dan terjamin di dalam konstitusi. Karena negara sebagai aktor dan institusi politik punya kewenangan yang luar biasa dalam mengarahkan maksud dan tujuan pembangunan, dengan atau tanpa keterlibatan masyarakat. Padahal objek dan penerima manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dalam hal tersebut, masyarakat sudah waktunya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dengan memanfaatkan ruang publik yang disampaikan oleh Habermas tadi. Pada masa lampau, untuk mengatasi adanya kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai tindakan politik dalam rangka memperkuat partisipasi dimana kelompok marjinal diberi kesempatan dan ruang untuk menyuarakan aspirasinya. Di samping itu, penguatan kelembagaan juga dilakukan oleh pemerintah untuk menjadi lebih responsif, akuntabel dan transparan terhadap berbagai tuntutan dari masyarakat. Pertanyaannya kemudian, dimana kelompok marjinal dan kelompok miskin bisa memperoleh ruang dan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah serta dimana pemerintahan yang berubah dapat mempertanggung jawabkan akuntabilitasnya?[

Dalam beberapa tahun belakangan, konsep partisipasi politik telah berkonvergen dengan memperhatikan aspek pelibatan warga dalam formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan tersebut. Partisipasi politik yang dimaksud menjadi lebih dalam sebagai upaya warga dalam mempengaruhi pemerintah dan meminta komitmen terhadap akuntabilitasnya.[4] Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan tadinya hanyalah sebuah mekanisme konsultatif. Namun belakangan menguatnya kebutuhan dan perspektif dalam pelayanan seperti apa dan kebijakan yang semestinya harus ada, meyakinkan bahwa perlu ada peningkatan dan pendalaman partisipasi yang nantinya akan menjadi kontrol terhadap kehidupan mereka secara keseluruhan. Partisipasi warga dengan demikian dapat didefenisikan sebagai perluasan agenda masyarakat, di mana masyarakat dapat memobilisasi dan merumuskan tuntutannya.[

Dalam banyak negara, upaya pelibatan kelompok marjinal dan kelompok miskin sudah terlihat. Hanya saja hal ini meyakinkan kita bersama bahwasanya mekanisme perwakilan tidaklah efektif dapat memberi pengaruh terhadap kebutuhan dan keinginan kelompok minoritas. Penekanannya kemudian masyarakat memiliki hak atas pembangunan tidak lagi diposisikan sebagai penerima manfaat. Hak akan menjadi kenyataan bila warga negara dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut hidupnya. Laporan UNDP terlihat jelas bahwa pemilu tidak lagi cukup untuk pemenuhan hak dari warga negara. Cara baru yang mesti ditempuh adalah bagaimana menjamin hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dicabut/dilanggar dan untuk memastikan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.[6] Disini terlihat bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak-hak dari warga negara, termasuk di dalamnya turut berpartisipasi dalam pembangunan.

Refleksi

Berangkat dari konteks teori serta konsep partisipasi yang tengah berkembang belakangan, maka patut dipertimbangkan untuk mendalami lagi apakah berbagai inovasi yang dilakukan oleh pemerintahan daerah sepenuhnya melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan. Argumennya bila dikaitkan dengan cerita sukses pemerintahan daerah seperti Jembrana dan Sragen akan menjadi lebih bermakna bagi pemerintah dan juga masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan. Pemerintah daerah tahu dan mengerti apa yang dibutuhkan masyarakat dan masyarakat pun sadar bagaimana memanfaatkan ruang untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhannya kepada pemerintah daerah. Hal ini yang semestinya harus dikembangkan bagi daerah agar terciptanya keadilan bagi semua.

Oleh: Aditya Perdana (Peneliti Pusat Kajian FISIP UI)

sumber: www.yappika.or.id