Sabtu, 18 Oktober 2008

Merajut Jaringan Membidik Rancangan Kebijakan

Layaknya sebuah proses politik, pembahasan sebuah rancangan undang-undang di DPR juga selalu mengalami dinamika. Proses yang dilalui tidak serta merta mengikuti alur legislasi yang tertuang dalam aturan penyusunan perundang-undangan, termasuk Tata Tertib (Tatib) DPR RI. Kepentingan politik sarat mewarnai hampir di seluruh pembahasan rancangan undang-undang. Tidak ada kepastian kapan sebuah rancangan undang-undang disebut prioritas. Seperti halnya tidak ada jaminan kapan pastinya sebuah rancangan undang-undang dinyatakan harus selesai dibahas. Tarik menarik kepentingan politik yang kerap terjadi dalam pembahasan rancangan undang-undang telah membawa implikasi yang sangat besar terhadap kualitas undang-undang yang dihasilkan. Rakyat, adalah korban yang paling merasakan dampak buruk produk legislasi tersebut.

Keprihatinan atas kondisi tersebut, menjadi spirit bagi Yappika untuk berkecimpung dalam proses legislasi; melakukan pengawalan, memastikan bahwa hak publik untuk turut berpartisipasi diakomodir baik dalam proses maupun dalam substansi.

Inisiatif dari sekelompok anggota DPR RI untuk mengajukan pembahasan RUU Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) – selanjutnya menjadi RUU Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (PPP) – merupakan langkah awal yang dipandang strategis oleh Yappika untuk membenahi proses legislasi. Terutama menjadi peluang jaminan hukum bagi hak partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijkan.

Yappika mulai bergerak, mengawali pertemuan bersama sejumlah LSM yang concern pada isu kebijakan, melakukan diskusi-diskusi kajian terhadap RUU PPP. Jaringan pun terbentuk. Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) selanjutnya menjadi media gerakan sejumlh LSM yang dikomandani oleh Yappika untuk melakukan advokasi, mempengaruhi proses pembahasan dan substansi RUU PPP.

Advokasi RUU PPP berjalan sekitar 2,5 tahun. Sebagai sebuah jaringan, KKP tentu mengalami proses dinamika pasang surut. Sekalipun strategi bergerak di tiga lini yang mencakup; penguatan substansi, lobby dan penggalangan dukungan massa melalui kampanye sudah menjadi pilihan strategi yang dilakukan KKP, tidak berarti semua strategi berjalan dengan mulus. Kejenuhan, kesibukan dan beberapa hambatan lain kerap muncul, mendera anggota jaringan. Terutama karena, proses pembahasan RUU PPP di DPR RI memang tergolong berjalan lamban. Jika situasi seperti ini datang, maka Yappika sebagai sekretariat dan koordintor dituntut untuk mengambil inisiatif, membangkitkan semangat kerja tim kerja jaringan bahkan jika situasi sudah sangat mendesak, tidak jarang harus bergerak langsung , mengambil alih kerja-kerja lobby, kampanye juga mendalami sibstansi.

Dinamika yang sangat berbeda dirasakan oleh Yappika ketika pada akhir tahun 2005 diminta menjadi sekretariat Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) untuk proses advokasi di Jakarta. Sebagai jaringan yang lahir dari kebutuhan untuk mengawal pembahasan RUU Pemerintahan Aceh, maka wajar jika keangotaan JDA lebih banyak diisi oleh organisasi masyarakat sipil yang ada di Aceh dan di Jakarta yang memiliki concern terhadap Aceh. Proses politik sangat jelas mewarnai kelahiran dan pembahasan RUU PA. Kondisi ini sangat dirasakan juga oleh Yappika. Tekanan-tekanan politik dari kelompok-kelompok di luar JDA kadang muncul sebagai respon terhadap sikap JDA yang tidak jarang mempengaruhi proses-proses pembahasan RUU PA.

Jika pada peran sebelumnya, Yappika dituntut agar lebih kreatif dalam membangkitkan dinamika koalisi yang sering terganggu dengan pembahasan RUU yang berlarut-larut, sehingga tidak jarang justru Yappika mengambil peran di depan. Maka kondisi yang berbeda terjadi di dalam mengelola JDA, dimana Yappika justru dituntut untuk lebih matang, sabar dan lebih banyak mengambil peran-peran mediasi/memfasilitasi anggota JDA. Proses pembahasan RUU PA yang melaju terus tanpa jeda, membuat gerakan JDA menjadi sangat dinamis. Sikap anggota yang sering reaktif dan kadangkala frontal dalam menyikapi pembahasan RUU PA justru lebih banyak menempatkan Yappika sebagai pihak yang banyak bermain di belakang, memikirkan strategi-strategi baru dan menyediakan panggung bagi anggota jaringan sesuai peran dan kapasitasnya.

Kompetensi Yappika dalam mengelola jaringan telah menumbuhkan kepercayaan sejumlah LSM yang concern pada isu kebijakan untuk memberikan tanggung jawab pengelolaan kerja-kerja advokasi yang menjadi kepentingan bersama. Komptensi itu juga yang kembali meyakinkan sejumlah LSM untuk mempercayakan advokasi RUU pelayanan Publik (PP) kepada Yappika pada awal tahun 2006, dibawah bendera Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3). Pada saat itu Yappika msih menjadi sekretariat untuk JDA.

Masih dengan strategi bergerak di tiga lini; penguatan substansi, kampanye dan lobby, dalam mengkoordinir advokasi RUU PP, Yappika mencoba untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif baru, mempelajari strategi-strategi mana yang efektif untuk dilakukan dan strategi mana yang dianggap tidak lagi relevan.

Mengembangkan Trik, Menuai Kemenangan

Bagi sebahagian pihak, kerja-kerja advokasi mungkin saja dianggap tidak menarik. Terlalu menghabiskan energi untuk mempengaruhi kebijakan ditengah proses politik yang tidak pasti. Apalagi harus berhadapan dengan politisi yang suaranya sangat mengikuti keputusan partainya. Tapi bagi pegiat advokasi kebijakan, melihatnya bisa sangat berbeda. Di situlah letak perjuangannya, bagaimana kita bisa bermain di tengah proses politik tersebut, mencoba untuk meraih kemenangan-kemenangan kecil, dengan terus belajar mengenali dengan baik siapa sesungguhnya pihak-pihak yang sedang ingin dipengaruhi tersebut.

Yappika dan jaringan advokasinya selalu mengawali proses lobby dengan melakukan pemetaan dan analisis stakeholder. Sangatlah tidak mungkin, kita bisa mengembangkan trik lobby tanpa kita kenal siapa dan bagaimana sesungguhnya orang-orang yang sedang kita hadapi. Tahapan ini yang selalu membantu tim lobby untuk lebih siap menghadapi anggota DPR yang akan dipengaruhi.

Pemetaan stakeholder tersebut juga yang kemudian menjadi dasar bagi tim kerja di dalam jaringan, khususnya tim lobby untuk membagi peran, siapa yang lebih tepat untuk melobby siapa. Komunikasi yang intensif, trik pendekatan yang tepat, ketelatenan dan tentu saja substansi yang memadailah yang selama ini terbukti menjadi cara yang sangat efektif untuk menumbuhkan kepercayaan anggota DPR RI kepada Yappika dan tim kerja jaringan advokasinya. Inilah pintu masuk yang sangat memudahkan bagi jaringan untuk selanjutnya mempengaruhi para politisi tersebut.

Banyak kalangan mengira bahwa pekerjaan lobby adalah pekerjaan yang sangat kaku, penuh tata krama dan menjemukan. Mungkin ya, jika kita belum terlalu mengenal siapa orang yang akan dipengaruhi. Tapi, pengalaman yang dijalani Yappika dan jaringan advokasinya membuktikan ternyata dengan komunikasi yang lebih santai, bersahabat, disertai dengan joke-joke yang menyegarkan (tentunya tetap dengan kesantunan) membuat pesan-pesan yang ingin kita sampaikan menjadi lebih mudah diterima. Tidak jarang bahkan membuat mereka tergelitik untuk berbagi rahasia-rahasia kecil yang terjadi di dalam proses pembahasan RUU yang sedang kita advokasikan.

Dalam beberapa kejadian, teknis lobby kadang menuntut kita untuk melakukan hal-hal yang diluar perencanaan, trik-trik yang dilakukan justru muncul menyesuaikan aktivitas orang-orang yang ingin dipengaruhi; mengikuti ke toilet untuk membasuh tangan sambil berbincang-bincang, menemani berjalan sampai ke tempat parkir mobil sambil mendiskusikan substansi yang baru selesai dibahas atau bahkan pada kondisi-kondisi tertentu terpaksa bekerjasama dengan petugas/office boy yang menghantarakan minuman untuk menyerahkan dokumen-dokumen penting mengenai substansi yang diusulkan kepada anggota DPR yang berada dalam persidangan.

Dalam konteks berjaringan, Yappika mencob untuk menularkan pengalaman-pengalaman tersebut, sekaligus meyakinkan anggota jaringan bahwa pekerjaan lobby menuntut inisiatif dan kreatifitas yang jika kita lakukan dengan tepat bukan tidak mungkin, menghantarkan kita pada keberhasilan-keberhasilan kecil yang mewarnai proses advokasi yang dilakukan.

Pembelajaran yang Berharga

Empat kali menjadi supporting sistem bagi jaringan advokasi kebijakan, membuat Yappika banyak belajar dari pengalamannya sendiri. Belajar bagaimana melakukan advokasi kebijakan dan belajar bagaimana menjadi pengelola jaringan yang profesional. Dari proses belajar tersebut, sebenarnya Yappika bisa menentukan pilihan untuk melakukan sendiri advokasi kebijakan yang menjadi perhatiannya. Tetapi, bagi Yappika, berjaringan tidak sekedar dipandang sebagai alat/cara untuk mencapai tujuan advokasi. Berjaringan juga dipandang sebagai alat/cara untuk melakukan penguatan organisasi masyarakat sipil (OMS), melahirkan kader-kader baru aktivis OMS dalam gerakan advokasi.

Dari seluruh pengalaman tersebut, pelajaran penting yang bisa ditarik sebagai pengelola jaringan; adalah bagaimana mengaktifkan anggota/tim kerja jaringan di tengah kebosanan/kejenuhan menghadapi pembahasan RUU yang berlarut-larut, tanpa harus mengambil peran tim kerja tersebut, meskipun sebagai koordinator dan sekretariat kita mampu melakukannya. Dalam hal ini, komunikasi intens, suasana pertemuan jaringan yang berbeda, pemberian apresiasi dan bahkan kadang shock therapy penting dilakukan pengelola jaringan untuk mendinamisir anggota jaringannya.

Oleh: Ajeng Kesuma Ningrum (Manajer Divisi Advokasi & Jaringan Yappika)

sumber: www.yappika.or.id