Selasa, 07 Oktober 2008

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP AGUNG LAKSONO

Ditengah banyaknya kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran atau biasa disebut dengan kepemimpinan transaksional, Agung Laksono masih berani bicara konsep kepemimpinan transformasional disela acara Leadership Mentoring Sessions The Ary Suta Center di bilangan prapanca, Jakarta Selatan, Kamis (4/9).


Menurut Agung Laksono, DPR tidak hanya dituntut menjalankan fungsinya sebagai Legislatif, menyusun Budget dan melakukan Pengawasan, tetapi kini masyarakat menginginkan DPR lebih transparan. Masyarakat bahkan ingin ikut terlibat dalam mengambil keputusan. Di awal kepemimpinannya pada akhir 2004, pria kelahiran Semarang, 23 Maret 1949 ini menghadapi situasi yang penuh gonjang ganjing, dimana masyarakat menyoroti 3 hal, yaitu bagaimana sikap DPR dalam menyikapi isu-isu yang berkembang, bagaimana perilaku dari anggotanya, visi misinya, konsepnya, moralitasnya, dan bagaimana menjalankan kepemimpinannya.

Untuk itu kepemimpinan transformasional sangat penting dimiliki oleh setiap anggota DPR, keempat faktor itu disebut dengan idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation dan individual consideration. Namun Ketua DPR RI periode 2004-2009 ini mengingatkan untuk menjadi pemimpin transformasional yang efektif dibutuhkan suatu proses dan usaha yang sungguh-sungguh dari para anggota DPR itu sendiri, mereka harus dapat melakukan yang terbaik, memberikan teladan, selalu memotivasi dan mengembangkan semangat kerjasama, mempunyai visi yang jelas dan meyakinkan, serta memiliki kontribusi yang tinggi dalam melakukan perubahan dengan gagasan-gagasan baru.

Menanggapi fenomena buruknya moralitas beberapa anggota DPR yang ada saat ini, Agung Laksono yang juga menjabat sebagai wakil ketua umum Partai Golkar menyatakan bahwa anggota DPR adalah representatif dari masyarakat yang sebenarnya, kalau di DPR banyak anggota yang tidak benar perilakunya, berarti itu cerminan dari perilaku masyarakat itu sendiri, karena bagaimanapun juga DPR tidak merekrut anggota, masyarakatlah yang merekrut mereka, masyarakat yang memilihnya. Sedangkan syarat calon legislatif memiliki standar yang berbeda antara kelompok masyarakat yang diwakili partai yang satu dengan yang lainnya. Di partai Golkar misalnya, menurut Agung, untuk menjadi seorang calon legislatif harus memiliki kejujuran, kompetensi dan tidak bermasalah hukum. Faktor lain tentu saja harus populer atau memiliki pendukung yang kuat. Kekalahan beberapa calon pemimpin daerah yang berasal dari partai Golkar juga disebabkan oleh adanya pemilihan dari internal partai tanpa melakukan polling di masyarakat siapa yang paling populer.

Ditegaskan pula bahwa di Golkar tidak ada penjegalan, saat ini yang diterapkan oleh partai berlambang beringin itu adalah sistem suara terbanyak sehingga nomor urut sebenarnya tidak berpengaruh, penentuan final rekruitmen calon legislatif bukan pada pemimpin partai tapi dikembalikan kepada rakyat melalui suara terbanyak. Terobosan kebijakan ini memang menyebabkan sekitar 3 sampai 5 persen calon legislatif mengundurkan diri.

Mengakhiri paparannya, Agung berpesan bahwa untuk menghadapi berbagai masalah sesungguhnya menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan yang baik. Secara filosofi Agung menjelaskan bahwa kepuasan dalam hidupnya bukanlah karena kesuksesan meraih berbagai jabatan, kepuasan yang paling ia rasakan yaitu ketika ia bisa berhenti merokok. Karena melawan diri sendiri itu paling penting, banyaknya kegagalan yang dialami para pemimpin bangsa disebabkan karena tidak mampu melawan diri sendiri. *** (Wira).


sumber:www.bantenmuda.multiply.com